August 8, 2024
Menimbang Penting-tidaknya Revisi UU Pilpres --- Peneliti senior CSIS J Kristiadi (tengah) dan peneliti Perludem Veri Junaidi memaparkan pandangannya terkait penting tidaknya mengubah UU Piplres dalam diskusi 'Revisi UU Pilpres: Rutinitas ataukah Transaksional?' di Gedung YLBHI, Jakarta, Rabu (24/7/2013). Menurut J Kristiadi, wacana sebagian anggota DPR untuk mengubah UU Pilpres tidak substansial. Sementara Veri Junaidi berpendapat bahwa rencana revisi UU Piplres sebatas mengutak-atik presidential treshold. (Ari Saputra/detikcom)

Veri Junaidi: Pansus RUU Pemilu Perlu Perbaiki 22 Pasal Inkonstitusional

Dalam menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu, pemerintah terkesan buru-buru. Beberapa pasal masih mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menemukan 22 pasal yang inkonstitusional dan berpotensi diuji materi kembali ke MK.

Pasal-pasal inkonstitusional itu ditemukan setelah KoDe Inisiatif menyisir 111 putusan MK tentang kepemiluan pada periode 2003-2016 yang 24 putusan di antaranya mengabulkan permohonan. Berikut wawancara Rumah Pemilu dengan Veri Junaidi, Ketua Kode Inisiatif, tentang 22 pasal inkonstitusional tersebut.

Apa saja isu yang diatur oleh 22 pasal inkonstitusional?

Isu pencalonan presiden; penentuan kemenangan presiden; metode pemberian hak suara dan penentuan keterpilihan calon pada pemilu legislatif; penyiaran hasil survei di masa tenang; afirmasi perempuan pada pemilihan legislatif; dan persyaratan menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Mengenai isu pencalonan presiden, mengapa inkonstitusional?

Ada dua pasal yang bertentangan dengan Putusan MK. Pertama, Pasal 203 ayat (5) mengatur sanksi tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya bagi partai atau gabungan partai yang tidak mengajukan calon presiden-wakil presiden. Pasal tersebut tidak adil dan bertentangan dengan prinsip pengajuan calon yang merupakan hak, bukan kewajiban, bagi masing-masing partai peserta pemilu.

Kedua, Pasal 190 dan Pasal 192. Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa hanya partai yang memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilihan legislatif sebelumnya yang dapat mengajukan paslon presiden-wakil presiden. Partai peserta pemilu yang tidak menjadi peserta pemilu sebelumnya, kalau ingin mengusung paslon, wajib bergabung dengan partai yang ikut pada pemilu sebelumnya. Nah, ini bertentangan dengan semangat pelaksanaan pemilu serentak yang ada di putusan MK No.14-PUU-XI-2013. Di putusan itu dikatakan apabila suatu partai dinyatakan lolos verifikasi untuk menjadi peserta pemilu, maka semestinya secara langsung juga berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Lalu, pasal mana mengenai penentuan kemenangan presiden yang inkonstitusional?

Pasal 395. Pasal ini inkonstitusional karena tidak mengakomodasi ketentuan syarat keterpilihan presiden dengan dua pasangan calon (paslon) yang diamanatkan Pasal 6A ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Putusan MK No.50-PUU-XII-201 juga menegaskan bahwa, pada prinsipnya, apabila hanya terdapat dua paslon, paslon terpilih adalah yang memperoleh suara 50 persen plus satu, tidak perlu mempertimbangkan syarat persebaran kemenangan seperti yang tertuang pada Pasal 395 karena syarat itu sudah pasti terpenuhi.

Inkonstitusionalitas metode pemberian hak suara dan penentuan keterpilihan calon pada pemilu legislatif terdapat di pasal berapa dan bertentangan dengan Putusan MK yang mana?

Pasal 138 ayat (2), Pasal 318 ayat (2), Pasal 329 ayat (1) huruf b, pasal 362 ayat (2), Pasal 390  ayat (2), dan Pasal 401. Pasal-pasal tersebut menjelaskan sistem proporsional terbuka terbatas yang substansinya benar-benar proporsional tertutup. Keterpilihan calon anggota DPR, DPR Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditentukan oleh perolehan suara partai, bukan suara calon.

Hal ini ditunjukkan dengan penjelasan mengenai suara sah, yaitu surat suara yang terdapat bekas coblos pada tanda gambar atau nomor urut partai. Sedangkan surat suara yang tanda coblosnya ada pada nomor urut atau gambar calon, dianggap tidak sah.

Ini bertentangan dengan putusan MK No.22-PUU-IV-2008 Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) yang menegaskan bahwa dasar penetapan calon terpilih adalah berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan oleh partai.

Kemudian, mengenai isu penyiaran hasil survei di masa tenang. Apa yang membuat regulasinya inkonstitusional?

Oke, jadi, di Pasal 428 ayat (2) dan (6), Pasal 483, serta Pasal 254 ayat (5) terdapat larangan untuk  menyiarkan hasil survey atau jajak pendapat kepemiluan pada masa tenang. Penyiaran dinilai dapat menguntungkan atau merugikan peserta pemilu sehingga dimasukkan dalam kategori tindak pidana pemilu. Sanksinya, kurungan penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak 12 juta rupiah.

Putusan MK No. 24-PUU-XII-2014 telah mengatakan bahwa jajak pendapat yang dilakukan dengan metode ilmiah adalah bentuk pendidikan dan pengawasan pemilu, sehingga tidak patut dan tidak termasuk kategori tindak pidana pemilu. Pengaturan tersebut juga bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F yang menyatakan bahwa berita informasi merupakan hak setiap warga negara.

Selanjutnya, pasal berapa soal afirmasi perempuan pada pemilihan legislatif yang ditemukan bertentangan dengan putusan MK atau UUD?

Begini, penjelasan Pasal 214 ayat (2) yang memuat frase “atau” merupakan penjelasan copy paste dari penjelasan Pasal 56 ayat (2) di UU. No.8 Tahun 2012. Penjelasan Pasal 56 tersebut sudah dibatalkan oleh MK di Putusan No.20-PUU-XI-2013 Pasal 28H ayat (2). Jadi, seharusnya, penjelasan Pasal 214 ayat (2) menggunakan frase “dan/atau” bukan “atau” saja. Hal ini harus diperbaiki, karena kalau hanya “atau”, maknanya adalah hanya satu perempuan calon legislatif (caleg) yang berhak menempati nomor urut kecil.

Terakhir, mengenai persyaratan menjadi anggota KPU/Bawaslu. Apa yang bermasalah?

Ada tiga pasal bermasalah secara konstitusi mengenai persyaratan KPU/Bawaslu. Pertama, Pasal 89 ayat (1) huruf (b) yang menyatakan bahwa syarat usia minimal adalah 45 tahun. Pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Syarat tersebut tidak ramah generasi muda.

Kedua, Pasal 30 ayat (3). Pasal tersebut menerangkan bahwa anggota KPU, baik pusat maupun daerah, yang mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima atau diberhentikan secara tidak hormat, wajib mengembalikan uang kehormatan sebanyak dua kali lipat dari yang diterima. Pasal itu inkonstitusional sebagaimana dijelaskan MK dalam putusan No. 80/PUU-IX-2011.

Ketiga, Pasal 14 ayat (1) huruf i, ini bertentangan dengan putusan MK No.81/PUU-IX-2011. Syarat mengundurkan diri dari keanggotaan parpol, jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah pada saat mendaftar sebagai calon anggota KPU/Bawaslu telah dinyatakan MK inkonstitusional. Calon anggota harus mengundurkan diri dari keanggotaan yang telah disebutkan minimal lima tahun pada saat mendaftar.

RUU Pemilu segera dibahas di DPR. Apa yang sebaiknya dilakukan pada 22 pasal ini?

22 pasal inkonstitusional yang kami temukan menunjukkan bahwa Pemerintah kurang perhatian terhadap RUU Pemilu. Regulasi yang bertentangan dengan putusan MK mengapa masih dimuat? Apakah pemerintah tidak cek putusan-putusan MK saat perumusan RUU?

Saya harap Pansus segera mengoreksi kesalahan 22 pasal tersebut dan memperbaikinya. Sebab, kalau tetap dipertahankan, lalu disahkan, pasti akan ada judicial review (JR). Nah JR ini berpotensi mengganggu tahapan Pemilu 2019.