August 8, 2024

Wahyu Susilo: Dapil Luar Negeri Lebih Mewakili TKI

Selama ini jutaan warga negara Indonesia di luar negeri yang berhak memilih di pemilu tak sampai 20% yang menggunakan hak pilihnya. Belum diperhatikannya aspirasi dan belum ada perlakuan khusus terkait konteks geografis menjadi penyebab. Tinggi kontribusi dari TKI terhadap pemasukan negara malah tak selaras dengan pemenuhan hak selaku warga. Daerah pemilihan (dapil) khusus luar negeri menjadi salah satu solusi pengabaian aspirasi dan geografis.

Pendiri Migrant Care, Wahyu Susilo menjelaskan hasil pemantauan penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009 beserta pengupayaan dapil luar negeri di 2009 dan 2014 melalui rumusan undang-undang. Berikut hasil wawancara Usep Hasan Sadikin dari rumahpemilu.org dengan Wahyu Susilo di Jakarta 27 Desember 2012.

Sebelumnya seperti apa pengupayaan dapil khusus luar negeri?

Kami (Migrant Care) memang belum pernah mengupayakan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Migrant Care mengusulkan dapil luar negeri selama ini pada konteks pembahasan undang-undang pemilu. Usulannya pada 2007 sampai 2008 untuk Pemilu 2009 berdasarkan data Pemilu 2004. Setelah itu kami mengusulkan kembali pada undang-undang untuk Pemilu 2014 yang baru disahkan 2011 berdasarkan hasil pemantauan kami pada 2009.

Jadi kita memang belum melakukan langkah hukum ke MK. Kami memberikan dukungan penuh pengupayaan dapil luar negeri ke MK untuk Pemilu 2014. Kami berterimakasih jika aspirasi Diaspora Indonesia juga di dalamnya termasuk aspirasi politik TKI yang merupakan bagian terbesar dari WNI luar negeri.

Bisa dijelaskan perbandingan buruh migran Indonesia dengan buruh migran negara lain terkait hak politik dalam pemilu?  

Selalu saja jika kita berbicara soal buruh migran, perbandingannya dengan buruh migran Filipina. Itu yang menggelisahkan teman-teman Migrant Care. Ini bukan hanya soal tata kelola pemerintahan, tapi juga pemberian nama beserta hak politik. Filipina berbeda antara Indonesia dengan Filipina. Filipina mempunyai undang-undang khusus pemilu untuk buruh migran. Undang-undang ini mengamankan sosialisasi, regristrasi kepada para pinoy.

Bicara soal diaspora, buruh migran Filipina lebih beruntung karena semua orang Filipina di luar negeri, baik ekspatriat, penguasaha, konsultan, tenaga professional dan buruh migran, semuanya hanya punya satu nama, “pinoy”.

Kalau kita tidak.TKI ya TKI. Tapi kalau ekspatriat yang biasa saya temui di Singapura, mereka bilang mereka bukan TKI. Ini yang saya kira menyulitkan untuk bisa menyatukan.

Arti kata “pinoy” sendiri?

Orang Filipina yang ada di luar negeri. Jika di Indonesia kan disebut masing-masing. Ekspatriat tak mau disamakan dengan TKI. Mahasiswa juga maunya dipanggil mahasiswa.

Jalan keluarnya adalah menekankan pada pengakuan hak yang sama terhadap orang Indonesia yang ada di luar negeri.

Apa alasan utama pengusahaan dapil khusus luar negeri?

Buruh miran dimarjinalkan. Didiskriminasi. Kita tahu sendiri bagaimana lambatnya peyelesaian kasus-kasus TKI yang mengalami penyiksaan. Ini cerminan pengabaian hak politik mereka.

Bentuk jaminan keamanannya seperti apa jika dapil luar negeri ini bisa diwujudkan?

Saya kira akan ada produk undang-undang yang memaksa pemerintah untuk lebih aktif melindungi TKI. Selama ini pembahasan undang-undang pekerja migran atau hubungan luar negeri itu tak menyertakan perwakilan orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Apa lagi untuk bisa ada perwakilan TKI duduk di parlemen. Masih sulit.

Bisa lebih dijelaskan kaitan undang-undang yang nantinya bisa dihasilkan dari pengusahaan dapil luar negeri?

Sekarang kita punya Undang-Undang tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Tetapi terbukti, sekitar hampir delapan tahun undang-undang ini berlaku, kekerasan terhadap TKI tetap ada. Ini terjadi karena pada saat pembuatan undang-undang, tak ada pelibatan TKI. Tak ada konsultasi publik oleh parlemen dengan TKI kita yang ada di luar negeri. Jadi, undang-undang itu dibuat bukan oleh pihak yang merasakan penderitaan.

Terasa betul, undang-undang itu tak operasional karena tak menyertakan pengalaman konkret dari korban. Saya rasa dasar pengalaman merupakan hal yang penting di dalam penyusunan undang-undang. Ini bukan saja berlaku pada undang-undang TKI. Undang-undang lain penting menyertakan pengalaman konkret korban sebagai acuan.

Jika dapil khusus luar negeri ini dipenuhi, bagaimana mendorong masyarakat Indonesia di luar negeri menyikapi dapil ini dengan baik?

Sepengetahuan saya, sudah ada konsolidasi dari masyarakat Indonesia di luar negeri untuk menggunakan hak politiknya. Khususnya di Malaysia dan Arab Saudi. Mereka mampu mengartikulasikan kepentingan politiknya. Mereka pun sadar jika tuntutan dapil luar negeri ini dipenuhi MK tapi dapil ini nantinya tak diisi orang yang mengakomodir kepentingan mereka, buat apa?

Bagaimana mendorong para TKI sendiri yang menjadi wakil dari dapil khusus luar negeri itu?

Tadi memang disebutkan, teman-teman Diaspora Indonesia tak punya ambisi politik untuk menjadi anggota dewan. Ini harus dihormati. Meskipun punya ambisi jadi anggota dewan pun merupakan hal wajar. Menurut saya ini tak lepas dari masyarakat kita yang trauma terhadap partai dan prilaku anggota dewan. Ketika sedang memperjuangkan hak politiknya selalu membatasi diri ini tak terkait dengan misi politik mendapatkan kursi.

Idealnya, wakil untuk dapil luar negeri itu memang WNI luar negeri. Sepengetahuan saya, sudah ada caleg partai PKB dan PKS misalnya, yang memang tinggal di luar negeri dan berkampanye untuk konstituen WNI luar negeri.

Selama ini perwakilan partai untuk memperhatikan konstituennya di luar negeri seperti apa?

Pengalaman kami dari pemantauan kampanye pemilu Indonesia di Singapura, Malaysia dan Hongkong, sudah ada perhatian terhadap permasalahan dan kepentingan TKI yang diperbincangkan caleg dari partai. Realitas ini memperlihatkan, kita sudah siap sebenarnya jika ada dapil luar negeri.

Persoalan nanti proporsi dapil luar negeri itu seperti apa, itu bahasan berikutnya. Yang penting ditegaskan saat ini, dapil luar negeri merupakan hak politik yang harusnya diberikan negara kepada warganya di luar negeri.

Jika memang sudah ada perhatian permasalahan TKI dalam kampanye di luar negeri oleh caleg dari partai, penyebabnya apa sehingga aspirasi TKI belum diperhatikan di parlemen? Karena caleg tersebut tak terpilihkah?

Pertama memang karena tak terpilih. Kedua, kalau pun terpilih, infrastruktur partai lebih mendorong kepentingan elite partai. Setahu saya, Dapil Jakarta II (Pusat dan Selatan) tempat suara WNI luar negeri ditampung, itu diisi ellite partai.

Partai harusnya bisa menetapkan wakilnya yang benar-benar aspiratif. Permasalahan utama lainnya, selama ini yang mengisi Dapil Jakarta II resisten terhadap dapil luar negeri. Konstituen mereka akan tergrogoti bila dapil dirubah.

Contoh, salah satu wakil dapil tersebut bisa menang hanya dari suara buruh migran di satu perkebunan sawit. Dari kisaran 20 ribu suara yang dibutuhkan, dia mendapat lebih dari 40 ribu suara para buruh kebun di Malaysia.

Selama ini adakah kaderisasi politik terhadap TKI untuk masuk ke parlemen?

Kami mengupayakan kontrak politik kepada caleg yang konsern pada permasalahan buruh, khususnya buruh migrant. Caleg itu harus menyuarakan permasalahan TKI ke parlemen. Caleg yang punya kedekatan pengalaman, seperti daerahnya merupakan penyuplai TKI atau keluarganya yang menjadi TKI, bisa menjalankan kontrak itu lumayan bagus.

Setiap pemilu, Migrant Care memantau caleg yang berpotensi dan punya perhatian terhadap permasalahan TKI. Kami menawarkan kontrak politik. Lintas partai.

Bagaimana kinerja anggota dewan Dapil Jakarta II selama ini?

Anggota dewan dari Dapil Jakarta II ada Oki Asokawati, tak terlalu banyak ngomong soal TKI. Ada dari Partai Demokrat, Nova Rianti, di strukturnya memang di Komisi 9. Tapi lebih banyak membahas RUU Kesehatan.

Saya pikir dapil luar negeri merupakan keharusan. Idealnya wakilnya dari WNI luar negeri. []