August 8, 2024

Wahyudi Djafar: Belum Saatnya TNI/Polri Bisa Memilih

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi adanya celah ketidakpastian hukum mengenai hak pilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014. Pemohon mengajukan uji materi Pasal 260 Undang-undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dibuat untuk penyelenggaraan Pemilu 2009. Pasal 260 UU No. 42 Tahun 2008 itu berbeda pengaturannya dengan pasal 326 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Aktivis HAM dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar menilai dalam konteks pemilu legislatif, hak anggota TNI dan Polri dibatasi. Sementara itu, tidak ada larangan penggunaan hak politik sehingga memungkinkan untuk ditafsirkan TNI dan Polri boleh memilih. Berikut petikan wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Maharddhika dengan Wahyudi Djafar yang juga merupakan kuasa hukum pemohon, via telepon (3/6).

Apa yang melatarbelakangi permohonan uji materi UU ini?

Permohonan itu dilatarbelakangi situasi ketidakpastian hukum akibat tidak berubahnya UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Jika membaca ketentuan di pasal 260 UU ini, ditegaskan bahwa anggota TNI dan Polri tidak menggunakan hak pilih pada Pilpres 2009. Jika kita maknai secara gramatikal, itu berarti bahwa Pilpres 2014, mereka memiliki hak pilih. Atau hak pilihnya bisa digunakan. Ini menciptakan situasi ketidakpastian hukum. Jika kita membaca pasal 32 UU Pemilu Legislatif 2014, mereka ditangguhkan hak pilihnya. Belum bisa menggunakan hak pilih pada 2014.

Selain itu, jika kita membaca UU TNI dan Polri, masih sangat tegas dikatakan bahwa militer profesional dan anggota Polisi masih dilarang untuk berpolitik praktis. Itu kemudian muncul polemik. Bahkan Panglima TNI mengatakan perlunya Perpu netralitas untuk mejaga pomelik ini. Itu tidak perlu lagi karena sekarang situasinya sudah clear dengan putusan MK itu. MK sudah mengatakan bahwa pada pilres 2014, Tni dan Polri belum menggunakn hak pilih.

Apakah itu berarti persoalan redaksional saja yang bermasalah?

Ya, hanya persoalan redaksi di UU Pilres 2008 itu. Di dalam proses perdebatan di parlemen, DPR dan pemerintah waktu itu hanya menyorot persoalan makro seperti presidential threshold dan sebagainya. Tapi dia tidak meihat masalah yang muncul akibat ketidaksesuaian gramatikal dengan situasi kontes hari ini. Ketentuan hak pilih TNI dan Polri terlewat. Di situ kemudian kita bawa ke MK.

Di permohonan, kami jelaskan belum saatnya TNI dan Polri menggunakan hak pilih pada pilpres 2014. Kita melihat situasi reformasi kelembagaan TNI dan Polri dalam konteks reformasi keamanan itu belum selesai. Ada persoalan yang bisa menjadikan TNI dan Polri tidak netral dan belum layak untuk diberikan hak pilih pada 2014.

Nantinya, hak pilih ini mungkin bisa direview kembali pembatasannya dengan perubahan politik dan hukum. Dengan catatan, reformasi kelembagaan di institusi ini sudah selesai. Mereka bisa memastikan, sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, untuk menjaga netralitasnya serta tidak ada lagi struktur komando teritorial seperti struktur dari tingkat pusat, Kodam, Korem, Kodim, Koramil, sampai Babinsa. Itu sangat berbahaya bagi proses pemilu dan demokrasi itu sendiri.

Bagaimana penilaian Anda terhadap pemilu dulu yang berikan hak pilih pada TNI dan Polri?

Jika kita belajar dari pengalaman orde baru, setiap menjelang pemilihan umum itu selalu ada pelatihan intelejen teritorial. Fungsi intelejen teritorial ini mengarahkan pemilih mendukung partai berkuasa. Jika dibiarkan akan mengganggu independensi pemilu dan demokrasi itu sendiri. Sebelum proses reformasi kelembagaan ini rampung, hak pilih pada TNI dan Polri jangan diberikan dulu.

Kita ini punya sejarah panjang soal keterlibatan militer dalam politik. Dalam Pemilu 1955 , TNI diberikan hak pilih aktif untuk menyalurkan hak pilihnya. Perlu dicatat, meskipun beberapa hal mengatakan pemilu 1955 dianggap pemilu paling demokratis, muncul riak-riak persoalan akibat pemberian hak pilih pada TNI. Waktu itu ada perseteruan dari penyelenggara pemilu. Panitia pemilihan umum mengatakan bahwa perwira TNI dilarang mencalonkan diri di parlemen. TNI dilarang berkampanye dengan menggunakan atribut mereka. Itu ditentang oleh kalangan tentara.

Atau, ada beberapa elemen dalam tubuh tentara mendirikan partai atau berafiliasi dalam satu partai tertentu untuk ikut pemilihan umum. Ada dukungan secara langsung juga dari Pangdam dan Kodam Siliwangi dan Sriwijaya terhadap partai tertentu. Itu muncul situasi seperti itu akibat pemberian hak itu.

Situasi ini diredam orde baru. Militer tidak diberikan hak pilih sama sekali. Tapi ada konsep dwi fungsi ABRI. Mereka tidak diberikan hak pilih, tapi ada Perwakilan di dpr 70—100 orang. Setelah reformasi kita membaca ada TAP MPR No. 7 tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. TAP MPR ini adalah pernyataan resmi dr negara yang mengakhiri keterlibatan militer dalam politik. Di situ kita akhiri.

Apakah memungkinan TNI dan Polri mendapat hak pilih dalam pemilu mendatang?

Sampai hari ini kita masih menempatkan militer di pihak yang netral dan kita masih berusaha untuk terus menguatakan supremasi sipil. Jika dalam lima tahun ke depan supremasi sipil menguat dan tentara sudah benar-benarprofesional tidak turut serta dalam urusan sipil, mungkin kita bisa buka peluang hak pilih bagi TNI dan Polri.

Sangat tergantung pada proses reformasi kelembagaan di institusi mereka. Mungkin 2019 sudah bisa dibuka kalau selesai. Artinya, jelas posisi TNI dalam konsep bernegara sebagai kekuatan pertahanan dan penguatan keamanan. Tidak ada friksi internal di dua lembaga ini. Supremasi sipil sudah benar-benar tegak. Sipil menjadi pemegang kendali atas seluruh proses demokrasi sendiri.

Jika berkaca di beberapa negara, ada dua gerbong besar. Pertama negara yang memberikan hak pilihnya itu kepada militer seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Australia. Ada juga yang seperti Indonesia yang sama sekali tidak memberikan hak pilih. Tetapi selain dua gerbong itu, ada model berjenjang. Sersan ke atas diberikan hak pilih. Sersan ke bawah tidak mempunyai hak memilih. Model seperti itu diberlakukan di Brazil. Nantinya, bisa kita kembangkan di Indonesia. []