September 13, 2024

Yenny Soetjipto: Fiskal Daerah Terbatas, Pilkada Harus dari APBN

Pembiayaan pilkada melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ternyata menuai sejumlah masalah. Berdasarkan studi yang dilakukan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), pembiayaan pilkada bersumber APBD menjadi permasalahan karena ruang fiskal daerah yang terbatas. Pembiayaan pilkada menjadi beban bagi APBD. Pemda lalu mengalihkan belanja langsung yang awalnya untuk kepentingan publik, menjadi biaya menanggung pilkada.

Selain itu, siklus anggaran yang tak sesuai dengan siklus tahapan pilkada membuat tak tersedianya anggaran penyelenggaraan pilkada. Agar penggaran pilkada bisa dipastikan terkait siklus tahapan pilkada dan tak membebani daerah, Seknas Fitra mengusulkan pilkada dibiayai APBN dan penyelenggaraan Pilkada 2015 diundur ke 2016. Untuk mengetahui lebih rinci hasil studi ini, berikut penjelasan sekretaris umum Seknas Fitra, Yenny Sutjipto dalam diskusi “Memastikan Anggaran Pilkada” di Cikini, Jakarta Selatan (14/4) yang diliput jurnalis rumahpemilu.org, Debora Blandina Sinambela.

Apa dasar permasalahan jika pilkada dibiayai dari APBD?

Pada dasarnya daerah berkemampuan fiskal terbatas. Pembiayaan penyelenggaraan pilkada menjadi beban karena dapat menguras sumber pembiayaan lain. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah menyebabkan daerah harus mengurangi belanja publiknya, seperti pendidikan dan kesehatan untuk membiayai pilkada. Kasus Kabupaten Ogan Ilir menarik karena pilkada diselenggarakan menggunakan gaji ke-13 pegawai. Dengan pendanaan APBN, daerah tetap dapat mengalokasikan belanja publiknya.

Anggaran pilkada kabupaten/kota untuk satu kali putaran berkisar antara Rp. 5 miliar sampai 28 miliar. Besarnya anggaran dipengaruhi jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan kondisi geografis. Sementara pada tingkat provinsi anggaran pilkada antara Rp. 60 miliar sampai Rp. 78 miliar.

Bagaimana penjelasan rinci dari keterbatasan fiskal tersebut?

Seperti diketahui, sebagian besar daerah, memiliki ketergantungan terhadap dana perimbangan dari pusat. Rata-rata 70 persen sumber pembiayaan APBD berasal dari dana perimbangan. Komponen dana perimbangan, seperti Dana Alokasi Umum dialokasikan untuk belanja pegawai dan Dana Alokasi Khusus telah ditetapkan peruntukannya.

Praktis, ruang fiskal daerah atau keleluasaan daerah dalam mengalokasikan anggarannya, berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Bukan Pajak, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sementara daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah dan daerah perkotaan, umumnya memiliki ruang fiskal yang lebih luas. Keterbatasan ruang fiskal daerah, membuat terbatasnya pendanaan bagi daerah untuk memprioritaskan pembangunan. Pembiayaan pilkada praktis mengurangi ruang fiskal yang berasal dari PAD dan DBH.

Penurunan belanja terlihat pada belanja langsung  secara keseluruhan, termasuk belanja langsung untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini terjadi baik di daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi maupun di daerah dengan kapasitas fiskal rendah.

Di konteks penyelenggaraan Pilkada 2015, selain fiskal apa masalah lain sehingga Pilkada 2015 dari segi anggaran dinilai tak siap?

Tidak sinkronya antara tahapan pilkada dengan siklus anggaran. Banyak daerah yang belum mempersiapkan anggaran pilkada berdasarkan komposisi fiskal daerah. Sehingga, tahapan pilkada 2015 tak sinkron dengan kesiapan anggaran.

Selain itu, kita telah gagal memasukan penyelenggaraan Pilkada 2015 dalam rancangan APBN. Pilkada lebih memungkinkan melalui APBN jika diselenggarakan pada 2016.

Selain soal fiskal daerah yang terbatas dan sinkronisasi kesiapan anggaran terhadap tahapan, apa urgensi pembiyaan pilkada harus melalui APBN?

Adanya tarik menarik antara aktor daerah dalam pembahasan anggaran dengan KPU. Aktor kunci dalam pembahasan anggaran terdiri dari Kepala Daerah, Sekretaris Daerah, DPRD, dan KPU di daerah sebagai kuasa pengguna anggaran. KPU di daerah seringkali tersandera dengan penentuan anggaran pilkada karena bergantung pada persetujuan kepala daerah yang seringkali juga merupakan calon petahana (incumbent), serta partai pendukungnya di DPRD.

Seperti apa gambaran pengaruh kepala daerah terhadap penyusunan anggaran pilkada?

Calon yang tengah memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah yang ikut bertarung dalam pemilihan dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya. Jika petahana, kepala daerah dan wakilnya maju dan bertarung dalam paket yang sendiri-sendiri, pengaruh petahana menjadi kurang leluasa karena masing-masing pihak terlibat saling mengawasi antar calon.

Lalu, apa dampaknya bagi KPU di daerah?

Ketergantungan KPU provinsi dan kabupaten/kota semakin membuat posisi tawar KPU dalam penyelenggaraan pilkada lemah. Pendanaan pilkada pada APBD, membuat KPU “tersandera” dalam mengusulkan anggaran pada aktor politik daerah yang memiliki kepentingan terhadap pilkada. Anggaran pilkada menjadi ajang tawar-menawar yang dapat mempengaruhi independensi KPU. Tidak dapat dipungkiri, kepala daerah pada posisi petahana, dan partai politik pendukungnya memiliki pengaruh kuat dalam anggaran pilkada.

Bagaimana mekanisme pembiayaan pilkada dari APBN?

Mekanisme pembiayaan pilkada dari APBN tidak berbeda dengan penyelenggaraan pemilu presiden. KPU menganggarkan biaya penyelenggaraan pilkada pada satker KPU di daerah yang menyelenggarakan pilkada. Berdasarkan usulan KPU penyelenggara dengan mempertimbangkan DPT, kondisi geografis dan indeks kemahalan harga. []