November 15, 2024

Yenny Soetjipto: Keliling 30 Negara, KPU Boros dan Turunkan Kepercayaan Publik

Kunjungan semua Komisioner Komisi Pemilihan Umum dengan dalih evaluasi penyelenggaraan pemilu ke luar negeri menuai kontroversi. Pasalnya, hal itu mengagetkan kita di tengah hiruk pikuk pembahasan RUU Pilkada yang salah satunya didorong pentingnya isu efisiensi anggaran.

Selain itu, beberapa kelompok masyarakat menilai, selama dua bulan ke 30 negara dinilai menghabiskan banyak uang negara dan tak memiliki sensitivitas atas kondisi kesejahteraan rakyat. Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan Yenny Soetjipto, Sekretaris Jenderal Seknas FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) melalui sambungan telepon (23/9) yang ikut mengkritisi kunjungan Komisioner KPU ke 30 negara.

KPU menggunakan uang negara dalam jumlah besar keliling ke 30 negara dengan dalih evaluasi penyelenggaraan pilpres di luar negeri. Apa tepat?

Kalau kita nilai dari sisi efisiensi, jelas ini tak efisien. Evaluasi yang dilakukan KPU tak perlu ke luar negeri dengan melakukan semacam studi banding sama seperti yang dilakukan kementerian/lembaga negara lainnya.  Hal itu akibat output dari penyerapan anggaran yang sudah direncanakan dari awal.

Kita mesti mempertanyakan relevansinya dengan substansi evaluasi kerja penyelenggaraan pilpres dari KPU. Yang perlu atau mendesak untuk dibahas, bagaimana melakukan efisiensi di dalam penyelenggaraan pemilu. Terbalik dengan itu, kunjungan ke 30 negara merupakan bentuk pemborosan yang merugikan rakyat.

Sejauh mana pentingnya perspektif efisiensi dan sensitivitas dalam penyerapan APBN untuk program kegiatan lembaga negara? Bagaimanapun yang digunakan adalah uang rakyat.

Perspektif efisiensi dan sensitivitas atas kepentingan dan kesejahteraan rakyat penting sekali. Selama ini di dalam kementerian/lembaga negara selalu menunjukkan kesenjangan antara alokasi anggaran untuk masyarakat dengan alokasi untuk birokrasi.

Pada masa pemerintahan SBY, hampir semua alokasi itu terserap untuk belanja pegawai dan barang hingga sebesar 40% – 50%. Terutama, alokasi terbesar digunakan untuk perjalanan dinas para pejabatnya. Begitupun belanja modal, notabene yang seharusnya untuk infrastruktur kepentingan masyarakat, justru tersedot ke birokrasi.

Saya contohkan soal perjalanan dinas. Di dalam alokasi perjalanan dinas mengalami peningkatan cukup signifikan. Angka yang kami rilis di tahun 2013 saja, belanja perjalanan dinas naik dari 18 triliun rupiah menjadi 21 triliun rupiah. Keinginan untuk mengatasi kesenjangan alokasi antar wilayah dan antara laki-laki dan perempuan di program-program kegiatan justru melekat di kewenangan kementerian/lembaga itu sendiri. Komisioner KPU bisa saja menolak pagu anggaran yang telah ditetapkan jika dinilai boros dan tak berpihak kepada rakyat.

Kami nilai boros karena uang yang masuk ke alokasi belanja-belanja kunjungan ke luar negeri secara rombongan semestinya masuk ke alokasi anggaran yang diperuntukan untuk kesejahteraan rakyat. Itu yang menjadi catatan pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada pemerintahan SBY.

Persoalannya, dengan dalih evaluasi pilpres, KPU melakukan kunjungan ke 30 negara, menunjukan lembaga itu, sama seperti lembaga negara lainnya, belum memiliki format atau bentuk evaluasi kinerja yang sinergis dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Mereka terus berupaya melakukan evaluasi kinerja dengan cara penyerapan anggaran. Selama itu, tak pernah mengutamakan dampak program kegiatan ke rakyat.

Dalam konteks KPU, apa format evaluasi yang dibutuhkan KPU agar mengedepankan efisiensi dan tak melakukan pemborosan uang rakyat?

KPU perlu melakukan inovasi di dalam lembaga mereka sendiri. KPU diharapkan sensitif melihat alokasi anggaran yang dapat memberikan kontribusi cukup berarti di dalam demokrasi, terutama dalam pemilu. Tak ada relevansinya dengan evaluasi ke 30 negara.

Yang harusnya dikedepankan, KPU membuat evaluasi mengenai efisiensi di dalam pembiayaan penyelenggaraan pilpres, pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Saat sekarang tepat jika KPU memberikan rekomendasi soal efisiensi penyelenggaraan pemilu dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR yang masih berlangsung.

FITRA saja bisa melakukan hal itu sepanjang tahun 2009 mengenai pembiayaan pilkada. Hal ini seharusnya yang menjadi pekerjaan rumah KPU, bagaimana melakukan efisiensi di dalam menyelenggarakan pemilu, terutama pilkada. Tetapi, ini tak dilakukan KPU.

Kami melihatnya, langkah komisioner KPU yang bersedia keliling ke 30 negara itu memunculkan ketakpercayaan publik di saat kita mendorong pembiayaan pilkada yang lebih efisien dan demokratis. Seharusnya, mereka dapat memberikan andil masukan di dalam penyusunan RUU Pilkada.

Apa yang membuat kementerian/lembaga negara melakukan penyusunan anggaran yang diserap tak efisien, cenderung boros?

Semua berawal dari proses perencanaan dalam penyusunan anggaran untuk APBN. Mereka tak membuat perencanaan yang baik. Di dalam perencanaan, mereka harus bisa mengukur output, input, outcome, sampai ke impact-nya agar efisien dan menyentuh kepentingan rakyat.

Di dalam penyusunan anggaran, mereka tak mempunyai arti ideologis dalam melihat APBN. Secara ideologis, APBN itu instrumen untuk menyejahterakan rakyat, bukan menyejahterakan pejabat. Mereka selalu terjebak pada persoalan teknokratis. Hal itu lama ditanamkan di dalam kementerian/lembaga. Akibatnya, lebih banyak terlihat kesenjangan alokasi anggaran untuk belanja pegawai dan barang, kemudian jatuh kepada fasilitas-fasilitas birokrasi. KPU juga mengalami itu.

Komisioner KPU ini bisa menolak dan mengembalikan suatu pagu anggaran negara jika dinilai boros dan tak sensitif kepada kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Komentar anda?

Benar. Saya sependapat. Perlu diketahui, KPU punya mata anggaran sendiri. Yang merencanakan program kegiatan di suatu kementerian/lembaga negara melekat pada lembaga itu sendiri. Setelah KPU menyusun rancangan anggarannya, mereka kemudian mengusulkan ke kementerian umum. Setelah itu, diusulkan ke DPR. Mulai dari KPU sampai ke DPR nampaknya tak mengedepankan ideologi APBN soal kepentingan rakyat.

Jelas sekali, ada perencanaan yang buruk di tubuh KPU. Disinyalir mata anggaran ini diusulkan dari sekretariatnya atau komisionernya. Saya rasa ini dari sekretariatnya. Sama modelnya di DPR. Di dalam perencanaan kunjungan kerja anggota DPR, yang menyusun sekretariatnya. Hanya saja, kontrol di dalam perencanaan lemah. Pada saat sekretariat mengusulkan program kegiatan, kontrol untuk perencanaan itu tak berjalan. Seolah, tiba-tiba muncul kegiatan kunjungan kerja ke luar negeri.

Kita juga menyorot fungsi budgeting di Komisi II DPR yang tak difungsikan. Pada saat sekretariat KPU coba menyusun anggaran itu, anggota DPR semestinya langsung mempertanyakan urgensinya. Sehingga, menyebabkan inefisiensi program kegiatan di tubuh KPU. Hal itu bisa saja dihubungkan satu niat dengan komisioner yang memang mau keliling ke 30 negara itu.

Sekali lagi, para komisioner itu bisa menolaknya dan mengatakan ke publik, hal itu tak perlu. Justru seperti ini yang dapat mempertahankan kepercayaan publik terhadap lembaga KPU. [HS]