November 6, 2024

Yenny Soetjipto: Pastikan Dulu Pilkada Serentak Masuk APBNP 2016

Penyelenggaraan Pilkada 2017 akan mengulang kesalahan prinsipil yang sama dengan Pilkada 2015. Merujuk rancangan revisi undang-undang pilkada versi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pembiayaan Pilkada 2017 kembali berdasar APBD. Hal ini pun kemungkinan disetujui DPR. Sebagian berpendapat karena siklus APBN tak sesuai dengan tahapan pilkada. Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarul Zaman mengatakan, jika Pilkada 2017 dibiayai APBN akan menimbulkan kecemburuan dari 269 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2015 lalu.

Dari keadaan itu, rumahpemilu.org mewawancarai Koordinator Seknas FITRA, Yenny Soetjpto melalui telepon (14/4). FITRA merupakan LSM antikorupsi yang menangani secara spesifik isu anggaran. Riset FITRA mengenai anggaran pilkada sejak 2010 menjadi dasar argumentasi mengapa pentingnya pilkada dibiayai APBN, bukan APBD. Berikut penjelasan Yenny:

Pembiayaannya Pilkada 2017 berkemungkinan besar berdasarkan APBD. Salah satunya alasannya karena Pilkada 2017 tak mungkin lagi dibiayai APBN yang siklusnya tak sesuai tahapan pilkada. Betulkah?

Tidak betul itu. Pilkada 2017 masih sangat mungkin bisa dibiayai APBN. Pembiayaan Pilkada bisa dimasukan dalam APBN Perubahan 2016. Jadi, sangat relevan jika kita ngotot untuk mengubah pembiayaan Pilkada 2017 dari APBD ke APBN dalam fase revisi UU Pilkada ini.

Ketua Komisi II mengatakan, jika Pilkada 2017 dibiayai APBN, 269 daerah Pilkada 2015 akan “teriak”. Benarkah?

Saya pikir tidak ya. Karena pada dasarnya ruang fiskal daerah itu sangat terbatas. Jika murni soal kesadaran ini, tak akan ada daerah yang cemburu. Pemerintah pusat bisa meyakinkan bahwa pilkada sebelumnya memang sangat sulit diupayakan pilkada dibiayai APBN. Terus diyakinkan, pilkada 2017 dan 2018 tahapannya bisa disesuaikan dengan siklus APBN.

Sebagian pemerintah daerah dan KPU di daerah menyatakan anggaran Pilkada 2017 sudah siap. Betulkah siap?

Tentu perlu dijelaskan dan ditinjau, siap ini maksudnya apa. Apakah sudah dicairkan? Apakah anggaran tidak mengambil dari slot pendidikan dan kesehatan? Karena ingat, sebagian besar daerah ruang fiskalnya terbatas. Riset FITRA membuktikan, pilkada diabiayai APBD dengan mengorbankan slot sektor publik.

Kepala daerah yang mencalonkan lagi di pilkada tak akan mau membiayai pilkada dari slot kelembagaan Pemda karena ia ingin mendapat dukungan ANS dan kerja birokrasi. Kelembagaan Pemda sepert dinas dan lainnya pun tak mau dikurangi anggaran kelembagaannya. Sehingga yang dikorbankan adalah masyarakat daerah dengan cara mengurangi anggaran sector publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Jadi baiknya dalam revisi UU Pilkada ini bagaimana?

Pastikan dalam revisi untuk mengubah pembiayaan dari APBD menjadi APBN. Lalu, pastikan dulu pilkada masuk APBNP 2016. Mau tak mau harus memastikan komitmen Presiden dan Kementerian Keuangan. Setelah ini dipastikan, tahapan Pilkada 2017 harus disesuaikan dengan siklus APBNP 2016 dan RAPBN 2017.

Memang harus dengan komitmen presiden ya?

Iya. Ini urusan demokrasi lokal yang juga berkait pemerintahan nasional. Pemerintah ingin pilkada serentak efisien, ya harusnya dibiayai APBN. Kami sudah menghitung, paling mahal 2 triliun untuk semua daerah. Dengan APBN standardisasinya bisa dipastikan. Berapa jumlah anggaran untuk setiap pemilihnya. Berapa anggaran untuk tiap karakter luasan daerahnya. Jumlah petugas TPS dan penyelenggara lainnya juga bisa diefisienkan anggarannya.

Jika kita berkomitmen dengan upaya pencegahan korupsi di pemerintahan daerah, jelas pembiayaan pilkada dari APBN sebuah keharusan. Kedua, pilkada dibiayai APBN melindungi sumber daya APBD tetap terdistribusikan ke sektor publik. Hak masyarakat mendapatkan layanan dasar dari Pemda tak dijadikan alat politik kepentingan elite.