Disahkannya Undang-Undang No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dinilai merupakan kemunduran demokrasi. Salah satunya mengenai keterwakilan perempuan di DPR. Hasil afirmasi perempuan di Pemilu 2009 untuk menambah jumlah perempuan di parlemen yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi, tak dijadikan dasar anggota dewan mempertimbangkan komposisi gender dalam kepemimpinan parlemen. Keadaan ini mendorong gerakan perempuan mengajukan permohonan pembahasan ulang UU No.17/2014 di MK (19/8). Berikut hasil wawancara rumahpemilu.org dengan aktivis isu perempuan di pemilu, Yuda Irlang selaku koordinator tim pemohon selepas pengajuan permohonan di Mahkamah Konstitusi (19/8).
Apa permasalahan UU MD3 No. 17/2014 menurut afirmasi perempuan di pemilu?
DPR melalui UU MD3 ini jelas menghilangkan hak konstitusional perempuan. Sebagai warga negara perempuan punya hak sama berpartisipasi di bidang politik dan hukum. Untuk bisa ke DPR, perempuan sudah diberi perlindungan sangat banyak di peraturan perundangan. Salah satu yang kita dobrak dan advokasi ke KPU akhirnya keluar PKPU yang mengatur 30 persen jumlah caleg di semua daerah pemilihan adalah persyaratan yang harus dipenuhi partai. Hasil revisi UU MD3 menutup peluang perempuan untuk ikut serta menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan.
Perempuan itu jumlahnya hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia. Kalau perempuan tak diangkat atau diabaikan eksistensinya akan menjadi beban pembangunan.
Bagaimana hasil dari peraturan dan perundangan mengenai pencalonan perempuan caleg di pileg?
Perempuan berjumlah 30 persen di dalam daftar caleg. Yang masuk parlemen persentasenya kurang dari 18 persen. Di UU MD3 ini, bunyinya kan dicalonkan tiga orang fraksi. Padahal, fraksi mana yang punya sensitifitas gender dan memberi ruang kepada perempuan? Ini masalah serius. Sedangkan permasalahan perempuan sangat luar biasa. Keterlibatan perempuan dalam semua aspek pembangunan dihambat.
Kita bisa bandingkan untuk DPD. Kita lihat, DKI Jakarta siapa yang suaranya terbanyak. Perempuan. Di banyak tempat itu suara perempuan banyak. Kita tahu, DPD adalah perseorangan, bukan patai. Jadi tak terlalu berat dibandingkan ditentukan partai.
Bisa lebih dijelaskan sulitnya perempuan berkedudukan setara masuk dan duduk di kepemimpinan parlemen?
Anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota dicalonkan partai. Di sana ada dominasi oleh para elite partai yang adalah laki-laki. Kalau tak didobrak dengan UU partai yang mengatur syarat pembentukan partai harus 30 persen secara kepengurusan dan pencalonan dewan ya akan sulit perempuan jadi caleg dan masuk parlemen.
30 persen merupakan kebijakan khusus sementara. Sementara belum terjadi kesetaraan laki-laki dan perempuan maka harus diambil kebijakan khusus sementara atau yang kita kenal afirmative action. Angka 30 persen merupakan angka minimal. Percepatan peningkatan kesejahteraan perempuan baru bisa terjadi apabila jumlah perempuan dalam pengambilan kebijakan minimal ada 30 persen. Jangankan 30 persen. Sekarang 18 pesen saja masih kurang di DPR. Dan disikat lagi oleh UU MD3 yang sangat bias gender.
Apa bentuk sensitif gendernya UU ini sebelum direvisi?
Pada UU sebelumnya ada sensitif gender yang sangat signifikan. Ada beberapa pasal seluruhnya ayat dua dikatakan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan. Itu yang dihapuskan kalimatnya. Jadi sangat diskriminatif. Sudah diatur di sana, sudah tertera di sana, tapi dihapus. Mindsetlaki-laki yang dominan di DPR menafikan dan menghilangkan hak konstitusional perempuan. Ini sangat berbahaya.
Memang hanya beberapa pasal yang mengatur pada alat kelengkapan dewan. Setidaknya ini perlu dikembalikan pada yang lama. Harus tetap ada keterwakilan perempuan.
UU sekarang dinilai aktivis perempuan tak sensitif gender, apa karena perempuan legislator tak dilibatkan dalam penyusunan/pengesahan-nya?
Tidak dilibatkan. Bahkan kita (perwakilan masyarakat) sudah melakukan pemantauan tapi memang sulit, tertutup. Anggota pansus saja yang kami kontak tidak tahu pasal itu hilang. Ini memang dibuat sedemikian rupa.
Di DPR ada dua orang di pansus. Eva Sundari dari PDIP. Tapi dia terlibat aktif dalam kampanye pilpres. Satu lagi Nurul Arifin. Dia juga terlibat aktif dalan kampanye pilpres. Bukan kecolongan. Menurut saya memang ada skenario untuk mempercepat saat semua orang lengah.
Pembahasan itu terkesan amat sangat tertutup. Mereka berpindah-pindah dari hotel ke hotel lain. Kita sulit mengikuti mereka. Saat saya ikuti sendiri bahwa itu masih ada isu keterwakilan perempuan di sana. Mendadak sontak memanfaatkan momentum di mana seluruh bangsa indoneaia agak lengah karena fokus pada pilpres.
Apa dampak UU MD3 No.17/2014 ini jika dibiarkan?
Kita menghadapi tantangan berat. 2015 berakhir MDGs dan diteruskannya dengan pemebangunan berkelanjutan yang terkait peningkatan kualitas kehidupan ibu dan anak. Tahun 2020 sudah keterbukaan ekonomi yang dahsyat. Bagaimana perempuan di tingkat akar rumput menghadapi 2020. Ini peringatan tak hanya bagi anggota dewan tapi juga eksekutif dan seluruh komponen masyarakat.
Keadaannya di pemilu, rekrutmen anggota atau calon anggota dewan itu merupakan hak partai. Hanya partai yang bisa melakukan rekrutmen caleg. Kaderisasi dalam setiap partai, baik partai lama maupun baru ternyata kedodoran. Untuk mengejar menang memperebutkan kursi sebanyak mungkin maka dilakukan rekrutmen instan. Siapa saja yang bisa dapat kursi apakah itu dari artis karena popularitas atau dia pengusaha atau apa saja. Instan sekali. Dan orang yang seperti ini direkrut dari kalangan pengusaha. Atau dari keluarga elite.
Elite penguasa daerah, partai dengan demikian berpotensi turunnya kualitas legislasi DPR dan ini mengerikan untuk bangsa. Perempuan bukannya tunduk tapi kalau dia akan bersuara lantang direkrut oleh partainya. Kalau dia mau tetap jadi anggota dewan, dicopot keanggotaannya dari partai, sudah selesai. Dominasi partai dahsyat sekali. Ini dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga tidak ada pilihan. Semua tunduk. []