Pilkada Langsung dan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian capaian Reformasi. Substansinya penguatan otonomi daerah sebagai Agenda Reformasi. Belakangan dua capaian Reformasi tersebut dikritik banyak pihak. Pilkada Langsung dinilai mendorong dinasti politik menguat, politik uang dan korupsi di daerah, kerusuhan antarpihak, dan konflik berdasar hasil pilkada yang selalu tak bisa diterima.
MK yang berkewenangan menyelesaikan sengketa pilkada dikritik karena menjadi abai terhadap tanggungjawab konstitusional, salah satunya menangani gugatan UUD. Terakhir ketakpercayaan terhadap MK yang menangani sengketa pilkada menguat setelah Ketua MK, Akil Mochtar ditangkap KPK karena terlibat pengaturan hasil sidang MK.
Survei Charta Politika menyimpulkan masyarakat (responden) tetap menginginkan Pilkada Langsung. Kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota diinginkan masyarakat sebagai penentu keterpilihannya, bukan DPRD. Ini makin menumbuhkan harapan dan semangat menegakan amanah Reformasi. Berikut hasil wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Nelvia Gustina kepada direktur riset Charta Politika, Yunarto Wijaya di tempat kerjanya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (9/12).
Bisa dijelaskan latar belakang dan tujuan survei?
Terus terang survei ini mengambil momentum RUU Pilkada yang akan disahkan. RUU Pilkada yang baru, revisi dari 32 tahun 2004, sudah lama tak disahkan. UU pemerintah daerah dulunya. Nah, sekarang khusus akan dibuat RUU mengenai pilkada yang terpisah dengan RUU Pemda, yang ternyata diundur Februari 2014. Kami melihat ada beberapa pasal yang sangat krusial bersinggungan dengan konsep otonomi daerah di level kabupaten/kota.
Yang kedua, inkonsistensi sikap yang terlalu cepat berubah. Dari pernyataan Kemendagri yang kita lihat bulan Juni, Mendagri masih mengatakan, Pilkada Provinsi dikembalikan ke DPRD tetapi kemudian bulan September Mendagri sudah berubah usulan dengan mengatakan, yang perlu dikembalikan adalah di level kabupaten/kota yang berpotensi konflik. Padahal dalam perubahan metode pilkada kita harus berbicara mengenai apakah itu sesuai dengan konsep otonomi daerah kita dan sistem presidensial.
Ketiga, ingin mengetahui apakah data yang dikeluarkan Depdagri untuk mengembalikan pilkada ke DPRD, sesuai atau tidak. Nah, kemarin kami meminta terlebih dahulu bagaimana respon publik terhadap pilkada sendiri. Apakah betul ini diinginkan masyarakat atau klaim elite.
Temuan-temuan apa yang menarik di survei ini?
Temuan ini tak merepresentasikan seluruh segmen populasi masyarakat Indonesia. Kita hanya menggunakan populasi pengguna telepon. Hampir tiga perempatnya menginginkan pilkada tetap secara langsung. Walaupun ada temuan-temuan lain yang juga dikatakan sesuai dengan usulan Depdagri seperti politik dinasti. Mereka juga sebagian besar (60 persen) menginginkan pembatasan hubungan kekerabatan (politik dinasti).
Survei menyimpulkan massa tak setuju kepala daerah dipilih DPRD, bisa dijelaskan metode survei dan sebaran sampelnya?
Metode surveinya menggunakan telepolling. Telepolling menganggap pengguna telepon sebagai populasi. Kita memang hanya memilih 9 kota besar sebagai representasi seperti banyak media massa melakukan. Kita lakukan dengan 600 responden. Kita mendapatkan margin error 4 persen.
Dilakukan di 9 kota besar, Medan, Palembang, Jakarta Timur, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar. Dan kita gunakan metode random sampling sehinga kemudian secara proporsional itu bisa dipertanggungjawabkan. Kita sertakan juga data-data demografi didasarkan pada responden yang sudah kita telepon, sehingga kami kemudian berani mempertanggungjawabkan data ini secara metodologi.
Alasannya dipilih DPRD karena pilkada langsung banyak masalah, salah satunya mahal. Charta Politika punya jawaban apa berdasarkan survei?
Di sini kami temukan bukan dalam bentuk survei tapi hasil studi literatur yang kami lakukan termasuk data-data yang dirilis Depdagri. Ada beberapa poin yang digunakan atau minimal kita lacak dari pernyataan Mendagri atau jubir Depdagri. Mengapa mereka mengembalikan ke DPRD. Pertama ada masalah konflik sosial. Kita lihat, berdasarkan data yang dirilis Depdagri, konflik sosial setiap pilkada itu kecil sekali. Bisa dibilang tak mencapai 5 persen. Tak bisa digeneralisir untuk menyimpulkan pilkada rentan konflik.
Kedua, soal mahal. Mahal itu ada di dua sisi. Pertama, mahal karena ada penggunaan APBD dan APBN. Kedua, mahal karena ada biaya politik uang. Yang dikatakan Mendagri, karena pemilih kita belum rasional. Pertanyaannya, masalah politik uang di masyarakat ketika dikembalikan ke DPRD apakah ada sebuah jaminan, ongkos politik lebih murah.
Korupsi terjadi di level elite. Logika penyuapan lebih sulit dikontrol. Lalu dimonopoli segelintir elite berjumlah 50-100 orang di level DPRD. Jangan-jangan jauh lebih mahal.
Jika anggapannya lebih mahal karena penggunaan APBD dan APBN, kita kembali saja ke pemilu orde baru yang jauh lebih murah. Atau pemilu di 1999 yang memilih presiden tak perlu dilakukan secara langsung karena dalam pembiayaan APBN besarnya luar biasa. Pemilu mahal karena pilihan kita. Kita ingin sistem presidensial ditegakkan.
Bagaimana dengan penanganan politik dinasti. Mana yang bisa lebih menangani, langsung atau tak langsung?
Politik dinasti bukan masalah pilkada. Politik dinasti itu masalah yang terjadi dalam budaya politik kita. Dia bukan hanya terjadi dalam atau karena pemilihan langsung. Dia terjadi juga dalam sistem kepartaian kita. Terjadi juga kalau pemilu kita dikembalikan ke DPRD. Terjadi juga dikonteks pemilihan caleg, siapa yang bisa menjadi caleg? Terjadi juga di level yang lebih kualitatif, siapa yang menjadi nomor urut satu? Tak ada hubungannya dengan pilkada langsung dan rancangan undang-undangnya.
Kita pun bisa rujuk sistem kepartaian. Bagaimana mungkin kita membongkar sistem politik dinasti hanya untuk undang-undang pilkada tapi partai yang berkuasa memberikan contoh ayah dan anak bisa menjadi sekjen dan seorang ketua umum tanpa ada proses demokrasi. Partai yang menurut survei elektabiltasnya tertinggi, PDIP bisa memberikan konsep formatur tunggal terhadap ketumnya tanpa mekanisme demokrasi dalam susunan kabinet dan partai.
Saya setuju ada langkah darurat untuk membatasi ini satu periode. Tetapi apakah ini akan menjadi solusi jangka panjang? Saya pikir tidak. Sebagai contoh kalau tujuan akhirnya membatasi politik dinasti ini adalah membatasi terjadinya KKN, mungkin saja bisa dibatasi karena ayah saya, ibu saya, anak saya, istri saya, suami saya tak boleh menjadi pengganti saya sebagai seorang kepala daerah. Tapi saya memilih sopir saya yang juga memiliki tingkat kepatuhan sama dengan saya. Apakah itu tidak memungkinkan terjadinya peluang KKN.
Bagaimana soal kerusuhan atau sengketa hasil pilkada yang banyak terjadi di pilkada langsung. Responden bisa menerima ini?
Bukan berarti menerimanya pilkada langsung berarti masyarakat menerima kerusuhan. Saya ulangi, kerushan yang terjadi di pilkada tak sampai 5 persen dari keseluruhan daerah. Jakarta apakah terjadi kerusuhan? Tidak. Palembang terjadi proses bakar-bakaran, karena selisihnya 8 suara misalnya. Itu terjadi. Tapi mayoritas masyarakat Palembang menginginkan pilkada langsung.
Saya melihat sebetulnya konflik horizontal, pertama tidak terjadi secara besar seperti yang dikatakan Depdagri. Depdagri membantahnya sendiri dengan rilis yang dikeluarkan oleh Depdagri setiap tahun. Yang kedua masyarakat saya pikir cukup dewasa untuk melihat mana yang bisa mekanismekah atau kemudian kedewasaankah yang kemudian menyebabkan itu. Jadi jangan salahkan masyarakat sekali lagi. Jangan seakan-akan masyarakat bodoh sekali menerima konflik horizontal tidak ada sama sekali hubungannya. Depdagri juga harus melihat ketika mayarakat tetap dengan pilkada langsung. Itu berarti ada keuntungan apa yang coba bisa di dapat oleh masyarakat. Itu juga harus dilihat. Masyarakat menerima konflik horizontal tapi juga berarti masyarakat melihat keuntungnnya masih lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang didapat. Saya pikir sederhana itu.
Bahasan penyelesaian sengketa pilkada terbagi dua, tetap di MK atau kembali ke MA, survei membahas itu? Bagaimana hasilnya?
Survei membahas. Hasil survei berimbang. Tapi tak timpang. Masih banyak yang menginginkan di MK. Walau pun kita tahu suasana psikologis ada dalam ketidakpercaya terhadap MK.
Saya cenderung setuju tetap di MK. Kita bisa telaah masa lalu. Dulu keputusan mengenai pilkada ditentukan PTUN, pengadilan tinggi kemudian MA. Ketika banyak terjadi kasus-kasus yang tak selesai atau bahkan dicurigai terjadi politik uang, dibentuklah MK. Lalu ketika terjadi kasus ketua MK, kita mau mengembalikan lagi ke MA. Padahal dulu kita sadar secara sistem tak boleh DPRD memilih kepala daerah karena berarti ada monopoli, oligopoli, oligarki, dan syarat politik uang. Kembali ke pemilihan kepala daerah melalui DPRD seperti logika putus asa. Menyelesaikan masalah, masuk lingkaran setan.
Pertanyaannya, lalu bagaimana menilai kasus Akil Mochtar? Ya selesaikan masalah itu secara ad hoc. Ada korupsi di tubuh MK. Silahkan selesaikan bagaimana lembaga berkewenangan luar biasa ini (extra ordinary) ini dibuat menjadi bersih. Tapi jangan kemudian kembalikan ke MA. []