November 15, 2024

17 Tahun Pembunuhan Munir dan Keraguan Berdemokrasi

Kasus pembunuhan Munir Said Thalib sudah 17 tahun tanpa capaian keadilan berarti. Angka ini dalam undang-undang pemilu, sama dengan usia warga negara pertama kali mendapat hak pilih. Demokrasi yang bermakna pemerintahan rakyat berdaulat menjadi paradoks dalam angka 17 tahun bagi Indonesia. Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengakui kedaulatan hak hidup warga tapi penyelenggara negaranya tidak cukup melindungi bahkan malah membunuhnya.

Paradoksal konstitusi itu makin terasa karena sejak Munir tewas pada 7 September 2004, hampir semua warga negara berusia lebih dari 17 tahun terus kembali memilih penyelenggara negaranya. Padahal, yang dipilih masuk pemerintahan belum hadirkan keadilan Munir. Pemilu 2009, 2014, dan 2019. Bahkan Pemilu Presiden 2004 bisa dihitung karena kematian Munir ada pada konteks pemungutan suara putaran dua pemilihan presiden secara langsung pertama Indonesia.

Kita bisa berbeda pandangan tentang HAM dan konsep etika bernegara lainnya. Tapi, (pejabat) negara yang membunuh warganya semestinya objektif kita simpulkan sebagai kejahatan luar biasa sehingga tidak bisa diperdebatkan.

Apa yang dialami Munir pun bisa menjadi puncak gunung es kejahatan pejabat negara terhadap warganya. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontra-S) melaporkan, sepanjang Juni 2018 sampai Mei 2019 saja, ada 643 kasus kejahatan oleh negara (651 tewas, 247 luka-luka, dan 856 ditangkap). Sikap pembiaran negara ini pun berlaku bagi pelanggaran HAM oleh Orde Baru. Pemerintahan hasil pemilu pasca-Reformasi semestinya jadi bagian dari kepercayaan berdemokrasi yang bisa mengadili pelanggaran HAM.

Pertanyaannya, bagaimana kita tetap yakin pada demokrasi saat bagian pemerintahan hasil pemilu begitu meyakinkan membunuh warganya? Bagaimana kita bisa percaya diri berdemokrasi saat pemerintahan hasil pemilu berikutnya tidak mengadili para pejabat negara yang membunuh warganya?

Mungkinkah demokrasi bisa tuntas menyelesaikan Kasus Munir? Demokrasi berlangsung dengan pemilihan langsung oleh rakyat, salahkah kalau kita berharap perubahan bisa juga langsung dicapai?

Kesadaran

Politics is a strong and slow boring of hard boards. Begitu perkataan Max Weber yang dikutip R. William Liddle saat menjelaskan demokrasi dalam esai “Politik sebagai Perjuangan atau Pengeboran?” (2009). Di Amerika Serikat sendiri, saat antusiasme demokrasi memuncak dengan terpilihnya Barack Obama, capaian ini tidak dengan serta merta menghilangkan diskriminasi rasial dan kejahatan negara melalui Kepolisian. Ini mengingatkan kita bahwa kesadaran pertama berdemokrasi adalah kesabaran.

Lalu, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam “How Democracies Die” (2018) pun menyadarkan kita bahwa, sejumlah capaian baik dalam berdemokrasi bagi suatu negara, bisa mengalami kemunduran bahkan mati. Buku ini memang tidak menyinggung kasus Indonesia tapi di banyak negara kemunduran demokrasi justru dimulai dari pemilu. Mekanisme mayoritas sebagai pemenang dan penghasil undang-undang menjadi mengerikan saat kontestasi menghadapkan dua pihak dominan mengatasnamakan satu identitas yang menegasikan identitas lainnya.

Sehingga yang terjadi, dalam pesta demokrasi, banyak dari kita larut untuk memenangkan satu identitas, bukan nilai-nilai demokratis itu sendiri. Paula Becker dan Jean-Aime A. Ravelson dalam “What is Democracy?” (2008) menuliskan “kebebasan dan hak-hak dasar” pada bagian pertama sebagai elemen kunci bagi organisasi negara demokrasi. Menyusul setelahnya adalah pemilu sebagai transisi pemerintahan secara berkala. Secara teknis, ini bisa jadi pegangan kita untuk menilai omong kosong sejumlah partai politik dan calon yang menjanjikan kebebasan serta HAM tapi tidak lebih banyak/dulu disebut dibanding mengatasnamakan suatu identitas. Kita harus sadari, dalam politik kepulauan nusantara, bhinneka tunggal Pancasila dan Ke-Islaman Yang Maha Esa selalu jadi perhatian pemenangan yang melupakan kebebasan dan HAM.

Kelembagaan

Saat kita berkesadaran bahwa pendidikan dalam arti formal dan kultural jadi kunci kualitas demokrasi, semua tulisan tersebut merekomendasikan kita untuk tidak melupakan kelembagaan demokrasi. Pertama, partai politik. Kedua, triaspolitika (eksekutif, legislatif, dan yudisial).

Rekomendasi itu tidak dikecualikan bagi Indonesia. Belum pulih kekecewaan kita terhadap partai politik karena Orde Baru dan pemilu Luber (lubangi beringin)-nya, kita banyak mengubah cara pencalonan personal yang menjauhi perhatian terhadap partai politik. Kepala pemerintahan bernama presiden, dipilih langsung. Pun begitu dengan kepala pemerintahan daerah melalui pilkada langsung. Lalu pencalonan DPR dan DPRD diubah menjadi proporsional daftar calon (terbuka). Ingatan politik pengoranisasian partai yang berkelindan massa pada 1955 dan 1999 diubah menjadi politik (individu) orang baik.

Padahal tatanan politik Indonesia bertopang pada partai politik. Konstitusi mengunci, presiden dan wakil presiden harus diusung partai politik, lengkap dengan ketentuan undang-undang tentang ambang batas pencalonan 25% suara atau 20% kursi partai. Pasal 22E ayat (3) pun menegaskan bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik (bukan caleg yang bisa dipilih langsung). Lalu presiden yang diusung partai dan DPR yang merupakan fraksi partai politik berwenang memilih hakim-hakim pada kekuasaan yudisial.

Makin lama partai politik tidak diperhatikan dalam demokratisasi pasca-Reformasi, partai politik dibuat amat sulit sebagai badan hukum dan peserta pemilu. Membentuk partai politik dan menjadi peserta pemilu, setidaknya harus punya kantor dan kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan. Malah pada Mei 2021, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan: partai-partai yang ada di DPR tidak perlu diverifikasi secara faktual untuk menjadi peserta pemilu berikutnya.

Semua itu menyimpulkan, kebuntuan keadilan Munir dan kasus HAM lainnya ada pada keadaan politik yang tidak evaluatif dan rendah pertanggungjawaban. Partai politik dan calonnya lebih banyak yang buruk, dan itu-itu saja. Jika pemilu Orde Baru kita tahu pemenangnya selalu sama, pemilu pasca-Reformasi pun kita tahu kualitas pemerintahan terpilihnya tidak jauh berbeda.

Seiring pengupayaan keadilan Munir pada kelembagaan yudisial, gerakan HAM makin penting untuk lebih berperhatian pada partai politik, pemilu, dan parlemen. Tentu bukan dengan reklame besar “Kepak Sayap Hak Asasi Manusia” tapi dengan menjamin prinsip-prinsip HAM diimplementasikan dalam kelembagaan demokrasi. Pertama, mengevaluasi orang-orang yang ada di pemerintahan dan partai politik melalui pemilu. Kedua, merevisi ketentuan undang-undang partai politik dan pemilu mengenai pembentukan, pendanaan, dan kepesertaan pemilu bagi partai politik sebagai jaminan inklusif hak berserikat dan hak dipilih. Ketiga, melakukan reformasi politik masyarakat sipil yang terhubung dengan partai politik sehingga sentimen antipartai bisa dihilangkan.

Tanpa semua itu, partai politik terus dikuasi atau dipimpin segelintir orang yang jadi bagian dari pelaku atau pembiaran pembunuhan Munir dan kasus HAM lainnya. 17 tahun, daluwarsa, bahkan mungkin selamanya. Kelompok yang tidak memandang penting HAM biasa menyindir bahwa pembelaan korban sebagai upaya yang Baper dan nggak move on. Karena itu, gerakan HAM harus lebih holistik untuk bisa berdaya mengisi pemilu, parlemen, dan partai politik. []

USEP HASAN SADIKIN