September 13, 2024

Fadli Ramadhanil: Islah Terbatas Tidak Masuk Akal

Salah satu hasil rapat terakhir antara pemerintah, partai, dan penyelenggara pemilu, adalah KPU bisa menerima pencalonan dari partai yang bersengketa jika mereka melakukan islah terbatas. Maksud islah terbatas adalah pencalonan dari partai yang terpecah bisa diterima sepanjang mereka mengusung calon yang sama. Dalam rapat konsultasi bersama DPR RI pekan lalu, KPU RI juga mengusulkan solusi ini sebagai hasil rapat terbatas dengan pemerintah, Bawaslu, dan DKPP.

Namun pertanyaannya, apa yang menjadi alat verifikasi KPU dengan dua kepengurusan. Menerima pencalonan dari dua pihak, meski mengajukan calon yang sama, berarti mengakui adanya dua pengurus partai. Ada potensi pelanggaran UU 8/2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Berikut wawancara Jurnalis rumahpemilu.org, Debora Blandina, dengan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengenai gagasan ini.

Bagaimana pandangan Anda tentang islah terbatas?

Kalau mereka mau islah terbatas silahkan saja. Sudah lama islah diusulkan kepada kedua partai ini, bahkan jauh sebelum usulan seperti sekarang ini muncul, mereka seharusnya sudah islah. Tetapi, islah itu bukan semata-mata untuk proses kontestasi pilkada saja. Kalau memang mau mencalonkan dalam pilkada, silahkan membentuk kepengurusan baru sebelum masa pencalonan dimulai dan daftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusi (Kemenkumham).

Ruang itu sudah dibuka di Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 9 tentang Pencalonan. Yang pasti, prosedurnya adalah kalau mereka ingin mengajukan calon bersama mesti membentuk satu kepengurusan baru dan mendaftarkan ulang di Kemenkumham. Seluruh proses peradilan mereka hentikan. Itu bisa dilakukan dan semestinya itu yang ditempuh.

Islah terbatas yang dimaksud bahwa KPU menerima pencalonan dari dua kepengurusan yang mengusung calon yang sama..

Nah, sekarang menguat ke arah dua partai yang sedang bersengketa, kedua pengurusnya bisa mencalonkan. Ini yang menurut saya tidak masuk akal.

Letak tidak masuk akalnya dimana?

Bagaimana mungkin satu partai punya dua kepengurusan? Ini kan merusak yang namanya institusional partai itu sendiri. Partai politik itu punya satu kepengurusan, tidak ada di belahan dunia manapun ada partai dengan dua kepengurusan.

Beberapa potensi persoalan yang bisa muncul seandainya dua kubu ini punya arah koalisi berbeda bagaimana? Misalnya kubu A ingin berkoalisi dengan kelompok sana, sementara kubu B ingin koalisi dengan kubu yang lain. Bagaimana nanti mencari titik temunya?

Kemudian bagi KPU, seandainya ini diterima maka SK Kemenkumham mana yang akan dirujuk oleh KPU untuk verifikasi kepengurusan dengan dua kepengurusan? Partai politik pengurusnya cuma satu. Sementara berdasarkan UU 8/2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, alat verifikasi adalah SK Kumham dengan satu kepegurusan yang tercatat.

Kalau KPU ingin merujuk SK Kemenkumham tercatat, kenapa harus menerima dua-dua kepengurusan. Cukup menerima satu saja dengan memakai yang tercatat. Untuk apa mengakomodir kedua partai yang bersengketa. Kalau mau proses yang seperti itu berarti melanggar UU. Apalagi kalau usulan ini datangnya dari KPU, berarti KPU melanggar UU dan merusak kemandirian mereka.

Terkait tekanan berbagai pihak, bagaimana semestinya sikap KPU?

Mau ada tekanan dan intimidasi itu silakan saja. Semestinya KPU tidak boleh tunduk dari tekanan pihak manapun. Mereka jalan saja dengan apa yang sudah ditetapkan, terutama seluruh perangkat regulasi sudah ditetapkan. Sudah tercipta ruang menjalankannya. Kondisi hari ini pun tidak membutuhkan revisi apa-apa, kecuali kalau ingin mengakomodir kepentingan dua partai ini.

Tentu itu tidak fair untuk kepentingan partai lainnya. Masa iya untuk mengakomodir kepentingan dua partai saja? Itu kan bisa dikatakan sekelompok kecil, masa iya harus mengakomodir kepentingan mereka berdua? Menurut saya ini tidak fair dan KPU telah merusak kemandirian lembaganya akan hal itu.

Bagaimana kalau KPU ada pertimbangan lain seperti melihat dampak yang mungkin muncul terhadap pelaksanaan Pilkada dengan tidak ikutnya dua partai ini? Misalnya ketersediaan calon?

Tidak mungkin tidak ada calon karena di daerah manapun, dua partai ini tidak memiliki suara dominan. Pasti akan dipaksa mereka koalisi untuk membentuk dua pasang calon, mau calonnya berapa bukan urusan KPU.

Apakah ada upaya lain yang bisa dilakukan agar dua partai ini bisa ikut pilkada, tanpa harus menabrak UU?

Kalau menurut saya tidak ada pilihan lain, kondisi hari ini sudah selesai. Urusan partai bersengketa itu bukan urusan KPU, itu yang harus dijelaskan. Biarkan saja, tugas KPU itukan menyelenggarakan pemilihan sebaik-baiknya, menyusun, merencanakan dan melaksanakan. Kalau peserta pemilu ribut dan bersengketa kan ada mekanisme tersendiri menyelesaikannya. Kenapa KPU ikut memikirkan bagaimana semestinya mengakomodir dua partai politik berkonflik ini agar bisa mencalonkan padahal itu kan bukan urusan KPU.

Menurut saya, KPU sudah keluar dari tugas yang semestinya mereka lakukan. Kalau ada kehawatiran ada partai yang tidak bisa ikut pilkada, itu bukan urusan KPU. Ini yang ada salah pemahamanan atau ingin mencoba meredam gejolak politik. Tapi kan meredem gejolak politik itu bukan urusan KPU.

Jika mekanisme pencalonan dari dua kepengurusan bisa diterima sepanjang mengusung calon yang sama ini dijalankan, terkait hasil pilkada nanti seperti apa?

Kalau menurut saya hasil pilkada akan cacat hukum karena melanggar UU. Untuk KPU, ini berbahaya untuk legitimasi pilkada keseluruhan. []