September 13, 2024

Lia Wulandari: Bantuan APBN untuk Partai Agar Partai Mandiri

Wacana penambahan bantuan keuangan partai dari APBN mengemuka saat beberapa anggota dewan berpendapat perlu direalisasikannya wacana ini. Menjadi meluas saat Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan, bantuan keuangan partai perlu ditambah menjadi 1 triliun rupiah perpartai. Kepentingan kuasa dari anggota dewan dan tak berdasarnya hitung-hitungan angka 1 trilun sang menteri membuat wacana penambahan bantuan keuangan partai dari APBN menjadi terdistorsi. Tentu saja sensitifnya isu ini juga cenderung tak jernihnya diterima publik mengingat masih buruknya citra partai.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) membahas penambahan bantuan keuangan partai dari APBN ke dalam tiga buku trilogi bantuan keuangan partai. Berjudul “Bantuan Keuangan Partai Politik”, “Anomali Dana Bantuan Partai Politik”, dan “Basa-Basi Dana Kampanye” buku ini merupakan hasil studi referensi penerapan pendanaan partai di sejumlah negara. Salah satu yang belum banyak dibahas, meskipun sudah diterapkan, adalah pendanaan partai dari APBN. Untuk memperjelas substansi wacana ini rumahpemilu.org mewawancarai salah satu peneliti dan penulis isu dana bantuan partai, Lia Wulandari di Tebet (10/3).

Latar belakangnya apa perlunya negara memberikan dan menambahkan dana dari APBN kepada partai parlemen?

Banyaknya kasus korupsi para politisi di legislatif dan eksekutif, nasional maupun daerah, semakin menyadarkan kita untuk terus menata pendanaan partai. Di luar soal moral, kasus korupsi membentuk sistem politik yang memaksa mereka mengambil uang yang bukan haknya. Ini terlihat antara lain pada orang-orang yang sebelum memasuki dunia politik memiliki catatan sebagai orang baik, namun beberapa tahun setelah berkecimpung di dunia politik menjadi rakus dan jahat.

Partai sebagai organisasi yang dapat mengantarkan para politisi menduduki jabatan legislatif maupun eksekutif, membutuhkan dana besar untuk memenangkan perebutan kursi jabatan publik dalam pemilu. Kampanye tidak cukup hanya keluar masuk rumah penduduk, menghadiri banyak pertemuan, memasang poster dan spanduk, tetapi juga tampil di media massa, khususnya koran dan televisi.

Selama ini dari mana semua dana itu dikumpulkan?

Dengan banyaknya kasus korupsi yang membelit politisi, kini kita tak ragu lagi mengatakan, bahwa sebagian atau sebagian besar dana itu dikumpulkan oleh para kader partai yang duduk di legislatif maupun eksekutif, dengan cara-cara illegal. Seorang anggota DPR bahkan ada yang mengatakan, mereka yang tertangkap adalah mereka yang rakus, ceroboh, atau apes saja. Yang secukupnya, hati-hati dan pintar, tetap selamat.

Secara wajar atau legal, bagaimana partai mendapatkan dana?

Menurut undang-undang, sumber keuangan partai adalah iuran anggota, penyumbang dan bantuan negara. Sejak warga negara dibebaskan mendirikan partai menjelang Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009, belum ada satu pun partai berhasil mengumpulkan iuran anggota. Kebanyakan dana datang dari para penyumbang, baik penyumbang perseorangan maupun badan usaha. Namun jika daftar penyumbang partai dan daftar penyumbang dana kampanye ditelusuri, maka jumlah dana yang dilaporkan tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan perkiraan biaya riil partai per tahun, atau biaya kampanye pada masa pemilu.

Itu artinya, dana yang dikumpulkan partai, baik untuk membiayai operasional tahunan maupun untuk kampanye sebagian besar berasal dari sumber illegal. Pertama, dana itu berasal dari para penyumbang, tetapi nilai melampaui batas yang ditentukan oleh undang-undang sehingga partai politik tidak melaporkannya secara terbuka. Kedua, dana itu dikumpulkan para kader partai di legislatif dan eksekutif, yang memiliki wewenang mengambil keputusan dan kebijakan.

Bagaimana dengan bantuan atau subsidi negara yang diberikan untuk partai? Apa masalahnya selama ini?

Dalam praktek politik pasca-Orde Baru, bantuan keuangan partai tak mendapatkan perhatian serius. Nilai bantuannya tidak seberapa. Berdasarkan penelitian Perludem, nilai bantuan keuangan partai dari APBN hanya 1,3% dari total kebutuhan operasional partai pertahun. Tentu jika diperbandingkan dengan kebutuhan dana kampanye setiap partai, nilai itu jauh lebih kecil lagi.

Tujuannya apa APBN perlu diberikan untuk partai?

Tujuan bantuan keuangan partai agar partai mandiri. Jika pendanaan jauh lebih banyak dari pendanaan illegal yang bersumber dari pengusaha bermasalah, kemandirian partai sulit dijamin. Jika pendanaan dari rakyat melalui APBN sangat rendah, partai cenderung memperhatikan kepentingan penyumbang daripada kepentingan anggota atau rakyat dalam mengambil keputusan atau kebijakan.

Apabila hal itu terjadi, maka posisi dan fungsi partai sebagai wahana memerjuangkan kepentingan anggota atau rakyat, menjadi tidak nyata. Di sinilah nilai strategis bantuan keuangan partai dari negara: mampu menjaga kemandirian partai demi memperjuangkan kepentingan anggota dan rakyat. Namun jika bantuan keuangan partai politik dari APBN hanya 1,3% total kebutuhan partai per tahun, apa arti bantuan itu? Jelas, bantuan sebesar itu tidak berarti apa-apa dalam menjaga kemandirian partai.

Apakah itu berarti bantuan kuangan partai politik perlu dinaikkan?

Ya. Perlu dinaikan.

Sampai berapa besar kenaikannya dan bagaimana metode menentukan besaran bantuannya?

Perludem sudah membahasnya dalam tiga buku, “Bantuan Keuangan Partai Politik”, “Anomali Keuangan Partai Politik”, dan “Basa-Basi Dana Kampanye”. Singkatnya, bantuan keuangan partai dari APBN diberikan bertahap setiap pemilu berakhir berlanjut ke pemilu berikutnya sampai negara relatif bisa menutupi 30 persen pendanaan partai setiap tahunnya.

Bagaimana kaitannya dengan pemilu?

Apabila ditelusuri lebih lanjut tampak, bahwa partai yang mampu berkampanye secara masif adalah partai berdana kampanye sangat banyak. Dana tersebut digunakan untuk memajang alat peraga, menyebar brosur, memasang poster spanduk dan baliho, mengadakan pertemuan terbatas, menggelar rapat umum, hingga memasang iklan di media massa. Dengan demikian besaran dana kampanye mempunyai korelasi positif dengan masivitas dan intensitas kampanye, yang mana hal ini kemudian berpengaruh terhadap perilaku pemilih dalam memberikan suara.

Dengan kata lain, besaran dana kampanye berpengaruh terhadap perolehan suara dan kursi. Pada titik inilah diperlukan pengaturan dana kampanye agar penyelenggaraan pemilu tidak saja melaksanakan prinsip kebebasan, tetapi juga menerapkan prinsip kesetaraan. Maksudnya, pengelolaan dana kampanye perlu diatur agar peserta pemilu yang kaya tidak mematikan kesempatan berkampanye peserta pemilu yang miskin.