September 13, 2024

Konsolidasi UU Pemilu yang Demokratis

Pemilu sebagai syarat pemerintahan demokrasi harus disertakan kata “demokratis” untuk memang menjamin “dari, oleh, dan untuk rakyat”. (Rancangan) undang-undang pemilu bukan saja dimulai dengan merumuskan tapi juga mengkonsolidasikan para pihak yang mewakili masyarakat sipil: rakyat, pemilik kedaulatan. Menentukan wakil-wakil rakyat diharapkan tak menghilangkan inklusivitas pemilu untuk lebih partisipatif dan representatif.

Rancangan UU Pemilu versi Pemerintah lebih menggambarkan capaian yang bertambah buruk. Regulasi yang digunakan untuk penyelenggaraan pemilu serentak ini mengistimewakan posisi partai parlemen dalam pencalonan presiden. Kepesertaan partai di pemilu pun bersyarat mempunyai kesekretariatan di seluruh provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan dengan keanggotaan minimal 30 orang tiap kesekretariatan.

“Syarat itu jelas diskriminatif bagi representasi politik masyarakat di luar parlemen. Politik jalur partai hanya diperuntukan cukong karena mendirikan partai dan mengikuti pemilu intinya harus punya uang yang sangat banyak,” kata aktivis lingkungan, Dian Abraham dalam “Konsolidasi Masyarakat Sipil untuk UU Pemilu Demokratis” di PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat (13/10).

Aktivis KPBI, Michel Oncom berpendapat, UU pemilu sekarang menempatkan buruh sebagai kekuatan massa yang ditransaksikan. Padahal kelas pekerja merupakan bagian besar dari warga negara. Identitas ini tak terepresentasikan dalam kepesertaan pemilu, apalagi keterpilihan.

Syarat pencalonan presiden dan kepesertaan partai di pemilu serentak itu sangat berbeda dengan RUU Pemilu versi masyarakat sipil. Dalam desain pemilu serentak nasional dan lokal, semua partai politik (dalam dan luar parlemen) bisa mencalonkan pemimpin eksekutif. Partai luar parlemen dan partai baru bisa ikut pemilu dengan syarat jumlah keanggotaan senilai harga kursi di DPR atau DPRD, sesuai daerah pemilihan yang dipilih.

Selain itu RUU Pemilu versi Pemirintah pun sudah menulis pilihan sistem pemilu, proporsional terbuka terbatas. Sistem ini pada dasarnya merupakan sistem proporsional tertutup tapi menampilkan daftar calon di surat suara yang hanya bisa dilihat, bukan dipilih. Pemilih hanya dibolehkan memilih lambang partai dan keterpilihan calon berdasarkan nomor urut calon.

Peneliti Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Fariz Panghegar menambahkan, jika sistem pemilu hanya memilih partai, rekrutmen yang representatif jauh lebih sulit dipenuhi. Representasi buruh, perempuan, disabilitas, atau identitas marjinal lain kecil kemungkinan dicalonkan internal partai yang oligarkis.

“Memang secara pribadi buruh, perempuan, atau disabilitas punya uang banyak untuk bisa ada dalam daftar calon tertutup itu,” kata Faris.

Pencalonan DPR melalui pemilu hanya disediakan konstitusi melalui partai politik. UUD bertuliskan, peserta pemilu DPR dan DPRD dalah partai politik. Keadan konstitusi yang juga melemahkan kewenangan DPD menjadikan fungsi legislatif di poros parlemen Indonesia dimonopoli DPR.

Pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nasional (Aman) berpendapat, pemilu Indonesia tak partisipatif dan representatif karena jauh berjarak dengan politik keseharian masyarakat. Nilai dan tradisi bangsa bermusyawarah tak terhubung dengan aktivitas memilih berprinsip one man, one vote, one value (opovov).

“Tak sesuainya pemilu dengan budaya musyawarah di masyarakat adat dan desa membuat pemilu diketahui manfaatnya. Pemerintahan terpilih juga tak dirasakan manfaatnya,” kata Aman.

Ketua Bidang Politik PP Muhammadiyah, Busrho Muqodas menanggapi, masih jauhnya pemilu dengan masyarakat disebabkan dua hal. Pertama, konsolidasi demokrasi masyarakat sipil sendiri yang belum baik. Kedua, partai politik tak menjalankan fungsi pendidikan politik di masyarakat.

“Penting bagi NGO yang ada di isu akar rumput untuk mengkonsolidasikan masyarakat sipil dengan isu pemilu. Selain itu, partai yang juga menerima anggaran dari negara harus dipertanyakan fungsi pendidikan politiknya,” kata Busrho.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alfons Kurnia Palma berpendapat, undang-undang yang dihasilkan menggambarkan proses dan perlibatan para pihak. Jika prosesnya tergesa-gesa atau buruk, undang-undang yang dihasilkan pun berantakan. Jika perlibatannya hanya segelintir pihak, undang-undang menjadi eksklusif atau elitis sehingga tak dirasakan manfaat dan keberpihakannya kepada rakyat.

Ketua LP3ES menyarankan, advokasi UU Pemilu di kalangan masyarakat sipil lebih partisipatif dan representatif. Untuk memenuhi ini dilakukan cara-cara yang lebih inklusif. Mensosialisasikan atau mengkampanyekan dengan bahasa yang mudah.

Naskah akademik dan Rancangan Kodifikasi UU Pemilu Pemilu versi masyarakat sipil dirumuskan sekitar 2 tahun. Salah satu tujuan yang dituliskan dalam RUU Pemilu ini adalah meningkatkan derajat keterwakilan.

Selain dengan memudahkan syarat kepesertaan pemilu, peningkatan derajat keterwakilan setidaknya diwujudkan dengan pilihan sistem pemilu proporsional daftar terbuka. Metode penghitungan suara menjadi kursi yang dipilih pun tak bias partai besar atau partai kecil. []

USEP HASAN SADIKIN