“Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa Pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.â€(UU No. 8/2012 Pasal 259 Ayat [1])
“dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.†(QS. An Nisaa : 3)
Salah satu kejadian menarik dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 adalah penyelesaian sengketa pemilu. Khususnya saat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa menerima permohonan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai peserta pemilu. Keputusan diketok, Partai Sutiyoso itu bersorak adakan perayaan senasional karena akan jadi peserta pemilu keempat pascareformasi. Bawaslu memahami, “Keputusan Bawaslu†bersifat terakhir (final) dan mengikat.
Lalu, banyak pihak tersontak. Saat sadar, ada bunyi ayat lanjutan pada Pasal 259 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi dasar Bawaslu merekomendasikan PKPI sebagai peserta ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). “kecuali keputusan terhadap sengketa Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.†Begitu bunyi redaksi lanjutannya.
Profesor Hukum Tata Negara, Saldi Isra (2/4’13) melihat, Bawaslu keliru memahami “Keputusan Bawaslu†dalam pertimbangan ukuran sifat akhir atau tidaknya. Penyelesaian sengketa pemilu oleh Bawaslu ada penekanan apakah sengketa pemilu dapat diselesaikan atau tidak oleh Bawaslu. Sayangnya Bawaslu alpa pada penekanan ini.
Padahal menurut Saldi, secara eksplisit UU No. 8/2012 Pasal 259 menyatakan Keputusan Bawaslu itu bersifat akhir dan mengikat kecuali terhadap sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR,DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Pertanyaannya, kenapa Bawaslu sampai tak menyadari makna dari “Keputusanâ€-nya sendiri. Lupa? Tak pernah membaca utuh? Atau tak paham?
Kepastiannya adalah, penyelesaian sengketa pemilu berada di konteks relasi antar penyelenggara pemilu yang tak padu.
Bagi penulis, kealpaan Bawaslu terhadap redaksi Pasal 259 Ayat (1) UU No. 8/2012 itu mirip dengan kealpaan pelaku poligami terhadap redaksi QS. An Nisaa/4 Ayat (3). Banyak poligamer—penulis sebut itu kepada pelaku poligami karena kelakukannya terkesan main-main dan mengedepankan nafsu—mengutip teks yang disucikan tersebut secara tak tuntas. “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.†Padahal redaksi ayat sebelum dan sesudahnya menekankan pada keadilan.
Apa sebab kealpaan (atau mungkin kesengajaan) para poligamer yang tak tuntas mengutip atau memahami ayat?
Soal dominasi relasi
Intelektual Islam Amerika Serikat, Amina Wadud berpandangan, maskulinitas konteks tanah Arab tempat membukunya Al-Quran secara kultur tak jauh beda dengan masyarakat kini. Budaya patriarki cenderung memaknai dan menyikapi relasi untuk mendomoninasi pihak yang dipandang lemah.
Poligamer merasa punya otoritas dalam relasi. Watak patriarkinya berwenang untuk mendominasi pasangan atau orang lain. Saat itu emosi bernafsu telah mengaburkan apa yang jelas dalam teks. Kejernihan pikir memahami keadaan dan teks pun hilang.
Banyak akademisi penafsir Al Quran kontemporer yang menilai QS. An Nisaa/4 Ayat (3) bukan berpesan mengajak berpoligami. Hal ini secara redaksi, jelas terang benderang.
Intelektual Islam Suriah, Muhammad Shahrur berpandangan, poligami pada QS. An Nisaa/4 bila dibaca redaksinya dari Ayat (1) hingga (12) ada dalam konteks anak yatim dan pembagian hak waris. Anak yatim yang ditinggal ayahnya mempunyai hak waris yang perlu diberikan saat dewasa. Masyarakat Arab saat itu tak mempunyai sistem jaminan sosial yang menjamin hak tumbuh dan hak waris anak yatim beserta ibunya yang berstatus janda. Maka untuk menjaga keadilan terhadap kaum lemah, menikahi saat itu adalah perlindungan serta pengangkatan status sosial dan menghindari sikap diskriminatif terhadap anak yatim dibandingkan mengasihi anak kandung.
Profesor Tafsir Al Quran dari Universitas Al Azhar Kairo Mesir asal Indonesia, Muhammad Quraish Shihab melalui Tafsir Al Misbah pun menempatkan poligami yang tak lepas perihal anak yatim. Jelas, poligami bukan untuk melampiaskan nafsu dan emosi, apalagi untuk mendominasi.
Permasalahan kealpaan teks oleh poligamer bisa ditarik ke konteks permasalahan kealpaan teks oleh Bawaslu. Ini bisa dijadikan referensi evaluasi penyelenggaraan pemilu. Hendaknya relasi antar pihak yang menyertai dasar regulasi bisa dipastikan bebas tendensi mendominasi. KPU dan Bawaslu berelasi sebagai penyelenggara pemilu. Keduanya berfungsi berdasarkan regulasi yang ditetapkan undang-undang.
Pemilu sebelumnya terlalu cukup untuk menjadi pelajaran, penyelenggara pemilu tak baik jika KPU dan Bawaslu seperti “Tom and Jerryâ€. Alih-alih bisa menghasilkan peserta pemilu dan hasil pemilu yang berkualitas, KPU sebagai panitia dan Bawaslu sebagai pengawas malah sibuk beradu. Atraksinya menambah kerumitan pemilu. Gaduh, jauh dari kedewasaan demokrasi.
Kini, relasi KPU dengan Bawaslu masih terasa berseteru. Tahapan Pemilu 2014 terus berlangsung dan masih panjang hingga pencoblosan calon anggota legislatif di 9 April 2014 diikuti penetapannya yang berlanjut ke pemilihan presiden.
Harapannya, KPU dengan Bawaslu menjadi penyelenggara yang padu dalam pemilu. Jangan lagi ada kealpaan teks regulasi yang disebabkan dari kelupaan, tak membaca utuh, tak memahami atau yang lainnya. Pemerintahan negara hukum Republik Indonesia yang sesuai hukum pada tahap pembentukannya ada di tangan penyelenggara pemilu. Jangan keliru, apa lagi menyeleweng. []
USEP HASAN SADIKIN