Perdebatan terkait beberapa isu krusial di dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu mulai meruncing. Salah satunya adalah ambang batas kursi atau suara untuk pencalonan presiden dan wakil presiden.
Sikap politik beberapa fraksi di DPR pun mulai berubah. Awalnya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), dan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mendorong untuk menghilangkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Artinya, dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 yang akan diselenggarakan serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, semua partai politik peserta pemilu dapat mengajukan pasangan calon presiden.
Namun, sikap politik Fraksi PKB dan Hanura mulai bergeser. Fraksi PKB mengusulkan ambang batas pencalonan presiden dengan angka 25 persen kursi atau 25 persen suara sah pemilu sebelumnya (Pemilu 2014). Sementara Fraksi Hanura mengusulkan angka 40 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu nasional (Kompas, 30/1).
Konsekuensi
Penyelenggaraan pemilu serentak memberikan konsekuensi untuk mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden. Konsekuensi utama adalah ambang batas kursi atau suara yang jadi prasyarat bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil tidak bisa diterapkan lagi. Argumentasi yang paling sederhana adalah ketika pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan serentak, tidak ada lagi basis kursi DPR atau suara sah pemilu legislatif yang menjadi dasar atau batasan untuk partai politik atau gabungan partai politik yang hendak mencalonkan pasangan calon presiden.
Di samping itu, Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 menyebutkan, ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkanoleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Jika merujuk Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan terakhir Pemilu 2014, pelaksanaan pemilihan presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota).
Perbedaan waktu pelaksanaan tersebut berangkat dari pemaknaan frasa ”sebelum pelaksanaan pemilihan umum” di dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 oleh para pembentuk undang-undang. Namun, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, makna frasa ”sebelum pelaksanaan pemilihan umum” menjadi sebelum pelaksanaan pemilu serentak.
Pemilu serentak yang dimaksud di sini adalah jenis pemilu yang disebutkan di dalam Pasal 22E Ayat (2) UUD NRI 1945, yakni ”Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Artinya, semua partai politik yang sudah lolos menjadi peserta Pemilu 2019 dapat mengajukan pasangan calon presiden. Hal ini sesuai dengan pemaknaan pemilu serentak sebagaimana tafsir sistematis konstitusi, yang kemudian diperkuat dengan putusan MK.
Jika hendak dimaknai lebih jauh, penyaringan bagi partai politik yang hendak mengajukan pasangan calon presiden sudah dilakukan ketika verifikasi partai politik calon peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain sebagai konsekuensi pemilu serentak, verifikasi partai politik calon peserta pemilu semakin menegaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden tidak bisa diatur lagi.
Keadilan pemilu
Namun, keinginan beberapa partai politik dan pemerintah untuk ”mengambil” ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dari hasil Pemilu 2014 tidak dapat dibenarkan. Ada dua alasan utama mengapa demikian. Pertama, hasil Pemilu 2014 adalah hasil dari serangkaian proses yang sangat panjang. Mulai dari pendaftaran peserta pemilu, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, perselisihan hasil suara di MK, sampai kemudian menjadi hasil akhir Pemilu 2014.
Menjadi tidak relevan jika hasil Pemilu 2014 ”tiba-tiba” dijadikan rujukan untuk menjadi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 2019. Di samping itu, hasil Pemilu 2014 didapat dari total pemilih dan kondisi sosial politik yang berbeda dengan Pemilu 2019. Dengan demikian, hasil Pemilu 2014 tidak bisa dijadikan dasar persyaratan pelaksanaan Pemilu 2019, khususnya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Kedua, jika ambang batas pencalonan presiden diambil dari hasil Pemilu 2014, partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ini tentu tidak sesuai dengan prinsip keadilan pemilu (electoral justice), di mana setiap peserta pemilu punya hak pencalonan (candidacy right) yang sama.
Karena itu, para pembentuk undang-undang perlu konsisten dengan makna dan hakikat pelaksanaan pemilu serentak. Pedomannya adalah UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur perihal penyelenggaraan pemilu serentak.
Meskipun terdapat putusan MK yang menyatakan ambang batas pencalonan presiden itu adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy), para pembentuk undang-undang tentu tidak bisa membaca putusan tersebut dari satu sudut pandang saja. Konsekuensi logis dari penyelenggaraan pemilu serentak yang membuat ambang batas pencalonan presiden tidak bisa diterapkan lagi adalah hal utama yang mesti diperhatikan agar seluruh norma yang diatur di dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu menjadi norma yang konstitusional.
FADLI RAMADHANIL, PENELITI HUKUM PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI (PERLUDEM)
http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/02/08/Ambang-Batas-Pencalonan-Presiden-dan-Pemilu-2019