August 8, 2024

Difabelisme untuk Pemilu Inklusif

“Gus Dur pernah jadi Presiden tapi Megawati cuma menggantinya.”

Tempatkan Gusdur sebagai penyandang disabilitas dan Megawati sebagai perempuan. Keberhasilan sebagai presiden pernah dicapai warga berstigma cacat tapi belum bagi yang bervagina. Padahal secara umum, penyandang disabilitas di pemilu tragis berkeadaan. Selain didiskriminasi “Yang Normal”, penyandang disabilitas pun jauh lebih didiskriminasi dibanding perempuan.

Pertanyaannya, kenapa dalam pemilu Indonesia ada afirmasi perempuan tapi tak ada afirmasi disabilitas? Padahal, jika kita jelaskan perlunya kepedulian, posisi penyandang disabilitas lebih mudah dapat simpatik dibanding perempuan.

Menjelaskan pentingnya afirmasi perempuan gampang dituduh sebagai westernisasi. Tapi yang menarik, afirmasi perempuan terus mendapat capaian positif di setiap undang-undang pemilu diganti. Tak sedikit yang masih beranggapan kesetaraan gender bukan budaya Indonesia tapi perempuan terus mendapat afirmasi menjadi penyelenggara pemilu bahkan peserta pemilu dan terpilih.

Soal jumlah

Penyandang disabilitas tak diafirmasi karena masih dianggap sebagai minoritas. Perempuan jauh lebih berhasil diafirmasi karena jumlahnya 50% dari total warga negara atau jumlah pemilih. Pemilu secara teknis merupakan konversi suara menjadi kursi. Sehingga, keberhargaan aspirasi atau keterwakilan cenderung dimaknai logika suara terbanyak.

Terlepas buruknya pendataan, warga disabilitas masih kecil di mata statistik. Pilkada Serentak 2015 sebagai pemilu pertama yang mempublikasikan online pemilih disabilitas, mencatat hanya ada 128.839 pemilih. Jika dibanding dengan total pemilih 100.374.317, kekuatan kedaulatan rakyat disabilitas hanya 0,12%. Di Pilkada Serentak 2017, dari total pemilih 41.210.248, hanya ada 50.108 (0,12%) pemilih disabilitas.

International Labour Organization (ILO) menginfokan, ada sekitar 15% penyandang disabilitas dari seluru manusia di dunia. Jika pendudukan Indonesia berjumlah 237.641.326, diperkirakan ada 35.646.199 (15%) penyandang disabilitas. Pusdatin Kementerian Sosial menginfokan, pada 2010 penyandang disabilitas berjumlah 11,580,117 (4,8%) orang dengan rincian 3,474,035 (pada penglihatan), 3,010,830 (pada fisik), 2,547,626 (pada pendengaran), 1,389,614 (pada mental) dan 1,158,012 (penyandang disabilitas kronis).

Angka dari ILO itu yang harus jadi rujukan, bukan Kemensos. Sehingga, penting mendefinisikan ulang, apa itu penyandang disabilitas. Tapi sayangnya UU No.8/2016 terlalu membatasi pengertian penyandang disabilitas.

Pasal 1 Bab Ketentuan Umum nomor 1 mengartikan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Selain hanya soal keterbatasan, pengertian penyandang disabilitas itu dipersempit di bagian Penjelasan. Padahal Pasal 4 cukup baik membagi ragam disabilitas menjadi: a. penyandang disabilitas fisik; b. penyandang disabilitas intelektual; c. penyandang disabilitas mental; dan/atau d. penyandang disabilitas sensorik.

“Penyandang Disabilitas fisik” adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil. “Penyandang Disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.

“Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif. “Penyandang Disabilitas sensorik” adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.

Sempit makna itu berkonsekuensi statistik, menempatkan penyandang disabilitas sebagai warga minoritas. Bagaimana dengan disabilitas lainnya? Bagaimana dengan diskriminasi standar publik dalam pendidikan masal dan fasilitas umum yang dialami warga cerdas istimewa, asperger syndrome, indigo, buta warna, manula, dan yang lainnya? Mengapa ini luput dalam penjelasan spesifik disabilitas?

Minoritas dalam statistik cenderung dipandang sebelah mata pembuat kebijakan untuk mendapatkan afirmasi elektoral. Pada kebutuhan perwakilan parlemen, jika penduduk Indonesia 237.641.326 dan kursi DPR adalah 560, maka satu kursi senilai 424.359 penduduk. Berarti 35.646.199 penyandang disabilitas (ILO) senilai dengan 27 kursi DPR. Tapi persoalannya, jumlah penyandang disabilitas tak ada dalam satu daerah pemilihan (dapil). Diasporanya membuat perbandingan nilai kursi kehilangan relevansi.

Bandingkan dengan 4,6 juta WNI luar negeri yang tersebar di banyak negara.  Aspirasi dapil khusus luar negerinya terus bertepuk sebelah tangan. Kebutuhan konteks globalisasi WNI luar negeri selama ini ditempatkan di dapil DKI Jakarta II, menyatu dengan warga ibu kota negara yang persoalannya macet dan banjir.

Memang, ada inspirasi dapil khusus suku Maori di Selandia Baru yang mengatasi sebaran penduduknya agar jumlahnya tetap relevan dikonversi jadi kursi. Tapi disabilitas Indonesia ada dalam sistem presidensial yang mengedepankan efektivitas dibanding keragaman. Selain itu, upaya afirmasi kelompok/masyarakat tertentu untuk duduk di parlemen seperti balelo terhadap utusan golongan yang ditentang Reformasi. Akan ada berapa banyak lagi identitas minoritas dalam keragaman Indonesia yang meminta afirmasi dapil, pencalonan, atau kursi khusus?

Belajar dari feminisme

Meningkatkan jumlah penyandang disabilitas yang tersebar dan tak solid ini perlu belajar dengan gerakan perempuan, feminisme. Afirmasi perempuan di pemilu ada dan cukup berhasil diterapkan beserta kemajuan capaian representasi. Wujudnya bisa melalui persentase minimal dalam keanggotaan partai, pencalonan legislator, bahkan kuota kursi di parlemen.

Caranya dengan mengkonsepsikan pengalaman kolektif identitas tubuh yang didiskriminasi. Pengalaman tak akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan hak politik beserta pelecehan dan kekerasan yang dialami perempuan diyakini secara kolektif terjadi karena identitas gender dan seksnya. Pengalaman diketahui melalui penuturan korban antar perempuan. Akumulasinya lalu menghasilkan ikatan kolektif, solidaritas perempuan.

Lalu, apa identitas kolektif penyandang disabilitas? Jawabannya adalah (bagian) tubuh “yang tak normal”. Karena (dianggap) kurang/hilang bagian dan fungsi tubuhnya, penyandang disabilitas tak bisa mengakses atau tak diberikan akses terhadap pendidikan, perkerjaan, dan jabatan politik. Karena “ketaknormalannya”, penyandang disabilitas pun mengalami kekerasan ruang publik. Fasilitas umum tersedia memaksanya menjadi “normal” dengan ancaman kecelakaan dan kematian.

Maka penyandang disabilitas penting mempertimbangkan kembali istilah difabel/difable (different ability). Difabel bermakna menjadi berdaya dan setara. Relatif  lain dengan dis-ability yang cenderung melemahkan dan direndahkan karena “tak berkemampuan”. Sehingga difabel menjadi sebuah isme, bukan cuma istilah teknis. Ini paradigma kesetaraan untuk keadilan berdasar pengalaman korban kebertubuhan yang berbeda keadaan dan fungsi tapi ditidaknormalkan secara hirarkis.

Semua yang ada dalam masing-masing diri punya perbedaan. Sayangnya, ada perbedaan yang dikonsepsikan normal atau lebih baik yang mengatur kehidupan publik. Standar umum sebetulnya dibuat oleh salah satu perbedaan yang disebut “normal”. Sehingga yang berbeda dari standar umum menjadi tak bisa mengakses segala hak publik karena semua fasilitas umum dibangun berdasarkan normalisme.

Berdasar konsep perbedaan difabelisme ini maka inklusivitas menjadi lebih luas merangkul perbedaan keadaan/fungsi kebertubuhan kita. Difabel bukan saja soal penyandang disabilitas yang bersifat hilang atau kurang. Misal, difabel intelektual bukan saja yang rendah IQ-nya tapi juga yang terlalu tinggi IQ-nya karena juga mengalami diskriminasi dalam normalisme.

Difabel fisik bukan saja soal kurang/hilangnya bagian tubuh diri manusia tapi juga soal fungsi yang berbeda seperti tubuh yang berlebihan terdorong melakukan aktivitas fisik, manula, dan perbedaan fungsi tubuh lainnya. Difabel sensorik tak hanya soal yang kurang atau hilang kerja pancainderanya. Difabel sensorik termasuk juga di dalamnya seorang buta warna, tak bisa mencium aroma (hidungnya), kulit terlalu sensitif cahaya, dan lainnya.

Pendidikan inklusif

Seiring perluasan makna dan solidaritas difabel, pemilu inklusif harus dimaknai sesuai dan seiring dengan pendidikan inklusif. Lebih banyak penyelenggara pendidikan justru mempraktekan normalisme dan diskriminasi terhadap peserta didik. Sehingga, sifat inklusif yang sejatinya ada di dalam pendidikan harus disertakan setelahnya untuk membedakan yang inklusif dengan yang eksklusif/diskriminatif.

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang sistem dan segala pihak di dalamnya terbuka dan merangkul semua keragaman dengan pendekatan empatik. Ini pendidikan dari, oleh, dan untuk semua. Segala identitas dan keadaan manusia di dunia ini diterima berproses didik dengan menempatkan segala pihak di dalamnya sebagai subjek didik.

Ada saling aksi dan saling reaksi antar pendidik, peserta didik, dan masyarakat. Tak ada tembok imajiner antara sekolah dan masyarakat luar sekolah. Tak ada asumsi lingkungan sekolah lebih baik dari lingkungan masyarakat yang selama ini sekolah harus disucikan dari pengaruh masyarakat.

Banyak bentuk eksklusivitas kita temukan atau alami di sekolah. Yang peringkat atau nilai UN/NEM-nya tinggi masuk kelas unggulan. Ada stereotipe IPA lebih unggul dibanding IPS. Perempuan dipisah dengan laki-laki. Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucho tak disediakan layanan pendidikan agama di sekolah negeri. Tak diterimanya siswa beragama Ahmadiyah. Celetuk dan ledek “kribo” dan “hitam” untuk siswa Papua. Atau umpatan “maho” bagi lelaki kemayu atau stigma berdosa bagi LGBT.

Seiring itu, kaum difabel dipisahkan dari sekolah umum untuk masuk sekolah luar biasa (SLB). Kaum difabel dianggap mengganggu proses didik reguler. Yang cacat dinilai menghambat target prestasi dan kelulusan sekolah untuk dibanggakan ke khalayak.

Bersinergi dengan pendidikan inklusif, pemilu inklusif merupakan pesta demokrasi untuk semua, termasuk kaum difabel. Sehingga pemilu inklusif bukanlah sebatas adanya tamplate Braille, halusnya jalan, TPS bebas got, atau posisi kotak suara yang bisa dijangkau pengguna kursi roda. Lebih dari itu, pemilu inklusif berarti menyertakan perspektif keterbukaan yang empatik terhadap semua ragam identitas, tanpa kecuali.

Di pemilu inklusif, “dari, oleh, dan untuk rakyat” diterapkan utuh. Semua difabel berhak pilih masuk daftar pemilih. Semua difabel terdaftar di DPT dilayani dengan baik di TPS. Semua difabel berhak dan berkesempatan menjadi penyelenggara pemilu di segala tingkatan. Tak ada undang-undang dan PKPU yang mendiskriminasi difabel berhak pilih. Dan di pemilu inklusif, difabel tak dilarang mencalonkan jadi peserta pemilu dan memungkinkan terpilih.

Untuk terus berada dalam proses dan mencapai inklusivitas itu kaum difabel dengan difabelisme bisa memengaruhi perumusan UU pemilu. Pada 2019 dan seterusnya, pemilu presiden akan diserentakan dengan pemilu parlemen (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) dalam satu hari pemungutan suara. Saat itu, kaum difabel makin tak diperhatikan dalam kepemiluan Indonesia yang makin kompleks. Perbincangan dan sorotan media lebih banyak soal siapa saja pasangan calon presiden-wakil presiden yang tak mungkin kaum difabel menjadi salah satu kandidatnya.

Kaum difabel pun strategis menguatkan solidaritas memengaruhi UU partai politik. Berdasarkan kekuatan jumlah, kaum difabel bisa bernegosiasi terhadap partai politik mengenai agenda kesetaraan difabel. Di luar itu, penting kaum difabel bergabung dan terlibat menjadi anggota partai politik dan kaderisasinya.

Seperti pendidikan inklusif, pemilu inklusif pun tak akan cepat terwujud. Yang baik dan bermanfaat dalam proses didik terwujud bukan dengan “simsalabim”. Kita pun memilih demokrasi bukan sebagai baslem caspleng keadilan bernegara tapi karena kebebasan, kesetaraan, dan keragaman terjamin sebagai prasyarat keadilan. Kehebatan pendidikan dan pemilu adalah daya tahan pembelajarannya untuk terus merasa kurang dan memperbaiki. Bukan merasa normal, apalagi sempurna. []

USEP HASAN SADIKIN

Difabel (buta) warna