November 27, 2024

UU Pemilu Baru Tak Lebih Baik

Undang-undang pemilu untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 hasil Paripurna (21/7) tak lebih baik dibanding UU Pemilu yang digunakan dalam Pemilu 2014. UU Pemilu Baru yang akan digunakan dalam penyelengaraan pemilu serentak pertama Indonesia malah menghasilkan sejumlah ketentuan yang tak sesuai dengan tujuan pemilu serentak. Capaian berharga dari revisi dan penggabungan UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, serta UU Penyelenggara Pemilu ini adalah regulasi yang memang lebih dikondisikan untuk teknis keserentakan.

“Sangat disayangkan DPR dan Pemerintah mengambil pilihan Paket A. Salah satunya untuk tetap memberlakukan ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik sebesar 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara Pemilu DPR,” kata direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini kepada rumahpemilu.org, 21/7 dini hari.

Menurut Titi, mestinya Pemerintah punya pilihan objektif yang membawa kemanfaatan. UU Pemilu yang dihasilkan seharusnya tak hanya konstitusional menjamin tapi juga berkontribusi kelancaran pemilu 2019.

UU Pemilu Baru tak menjamin secara konstitusi karena rentan digugat di Mahkamah Konstitusi. Belum tiga jam UU Pemilu Baru disepakati Paripurna, Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra. Praktisi hukum ini menilai ambang batas pencalonan presiden menentang konsitusi, Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45.

“Pengusulan capres dan cawapres oleh parpol peserta pemilu harus dilakukan sebelum pemilu DPR dan DPRD. Baik  pemilu dilaksanakan serentak maupun tdk serentak, presidential treshold mestinya tidak ada,” jelas Yusril (21/7).

Kursi DPR bertambah

Di luar ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden, penambahan kursi DPR menjadi ketentuan yang memperburuk. Pada Pasal 186, kursi Dewan Perwakilan Rakyat bertambah dari 560 jadi 575 kursi. Padahal tujuan undang-undang pemilu adalah meningkatkan proporsionalitas sistem pemilu proporsional yang berangkat dari keadaan tak proporsionalnya alokasi kursi di sejumlah daerah pilihan serta tak proporsionalnya hasil pemilu.

Direktur eksekutif Pusat Kajian Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari menekankan, penambahan kursi DPR kontradiktif terhadap tujuan UU Pemilu yaitu penguatan pemerintahan presidensial. Perbaikan DPR yang dibutuhkan adalah kinerja DPR bukan jumlah kursi. Kinerja DPR bisa ditingkatkan melalui peningkatan akuntabilitas dewan terpilih dengan mengubah besaran daerah pemilihan (dapil) dan alokasinya untuk lebih proporsional.

“Bertambahnya penduduk, tak kuat jadi dasar. Banyak negara yang jumlah anggota DPR-nya tak sesuai dengan rumus perbandingan jumlah penduduk. India, jumlah penduduknya 1 miliar (empat kali dari penduduk Indonesia) tapi jumlah kursi DPR-nya lebih sedikit,” jelas Feri Amsari.

Konsekuensi pemborosan anggaran

Soal anggaran, capaian rancangan undang-undang pemilu pun berkonsekuensi pemborosan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Selain penambahan anggaran untuk penggajian dan tunjangan anggota dewan beserta staf terkait jumlah kursi DPR yang bertambah, penambahan pun terjadi dari ketentuan UU pemilu di aspek penyelenggara dan teknis penyelenggaraan pemilu.

Di aspek penyelenggara pemilu, UU pemilu mengubah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten/Kota menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota. Status pengawas pemilu ini berubah dari adhoc (kepanitaan sementara) menjadi permanen.

Ketentuan itu kontradiktif dengan konsekuensi penyederhanaan kelembagaan pemilu dalam pemilu serentak. Merujuk UU Pilkada (10/2015), setelah 2019 semua bentuk pemilu diselenggarakan dalam satu tahun. Pilkada provinsi, pilkada kabupaten/kota, pemilu presiden—wakil presiden, pemilu DPR, pemilu DPD, dan pemilu DPRD diselenggarakan semuanya di 2024. Kesekretariatan kelembagaan pangawas pemilu malah permanen padahal hanya relevan di tahun pemilu.

“Banyak orang lupa atau tak perhatikan bahwa Bawaslu dari pusat sampai kabupaten/kota tak perlu permanen. Pertama, soal prinsip pengawasan pemilu yang sejatinya milik masyarakat sipil. Kedua, soal keserentakan pemilu yang berkonsekuensi kepada penyederhanaan kelembagaan,” kata anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Arif Wibowo.

Fraksi PDIP merupakan satu-satunya fraksi yang menolak mempermanenkan lembaga penyelenggara pemilu. Menurut Arif, Komisi Pemilihan Umum cukup sampai provinsi saja. Dan Bawaslu dari pusat sampai kabupaten/kota, semua adhoc. Dasarnya adalah original intent konstitusi. Dalam Pasal 22E Ayat (5), yang dimaksud “komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri adalah KPU. Tak ada pembahasan konstitusi saat itu mengenai Bawaslu.

Pada aspek teknis penyelenggaraan pemilu, pelatihan saksi yang dibiayai APBN pun bertolak belakang dengan tujuan efisiensi pemilu serentak. Pelatihan saksi ini sebelumnya berkonsep dana saksi yang ingin diperoleh partai politik peserta pemilu (P4). Melalui kritik publik, Pemerintah menawarkan dana saksi berubah menjadi pelatihan saksi yang dananya diberikan kepada Bawaslu, bukan P4. Tapi tetap, ketentuan UU Pemilu ini akan menjadi bagian pembengkakan APBN.

Pemborosan anggaran pun terjadi di aspek kontestasi. Sumbangan maksimal untuk peserta pemilu yang sebelumnya terlalu tinggi malah ditingkatkan. Pada UU No.8/2012, sumbangan maksimal perseorangan sebesar Rp 1 miliar dan sumbangan maksimal badan usaha sebesar Rp 7,5 miliar. Pada UU Pemilu Baru Pasal 327 tertera sumbangan maksimal ditingkatkan, dari perseorangan maksimal Rp 2,5 miliar sedangkan dari badan usaha maksimal Rp 25 miliar.

Sedikit membaik

Soal sistem pemilu, UU Pemilu Baru pun sedikit membaik. Metode penghitungan suara yang sebelumnya menggunakan kuota Hare berubah menjadi Saint Lague Murni. Kuota Hare selama ini cenderung menguntungkan parpol kecil yang berdampak pada disproporsional antara perolehan suara dengan perolehan kursi.

Saint Lague memungkinkan peningkatan proporsionalitas pemilu DPR yang menggunakan sistem pemilu proporsional. Sehingga, pilihan metode konversi yang membagi perolehan suara dengan bilangan 1, 3, 5, 7, dst ini sesuai dengan prinsip proporsional UU Pemilu (Pasal 3 huruf g).

Selain itu, variabel sistem yang dicapai lebih buruk. Salah satunya ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Pasal 414 menandakan, ambang batas parlemen yang menjadi sumber masalah tak prosporsionalnya hasil pemilu dengan perolehan kursi malah dinaikan. Di Pemilu 2014 dengan ambang batas parlemen 3,5% menghasilkan disproporsinalitas yang tinggi dan banyaknya suara terbuang akibat dua partai politik peserta pemilu yang tak masuk parlemen (PBB dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/PKPI).

Dengan meningkatnya ambang batas menjadi 4%, Pemilu 2019 berarti akan makin banyak menghanguskan suara pemilih. Padahal prinsip sistem pemilu prosporsional adalah one person, one vote, one value (opovov).

Besaran daerah pemilihan tetap dipilih 3-10 kursi (Pasal 187). Artinya, tujuan penguatan presidensial dalam bentuk parlemen yang kondusif mendukung pemerintah terpilih tak akan tercapai. DPR yang tercipta tetap tinggi fragmentasi partai. Partai di DPR bisa jadi akan kembali ada 10 partai seperti hasil Pemilu 2014.

Dari ketentuan yang secara umum tak lebih baik itu, capaian berharga UU Pemilu hanyalah sebatas teknis keserentakan. UU Pemilu lama lahir di konteks dan diperuntukan penyelenggaraan Pemilu presiden-wakil presiden yang terpisah dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. UU Pemilu Baru dibuat sebagai realisasi Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyerukan penyelenggaraan Pemilu 2019 secara serentak.

“UU Pemilu Lama tak didesain untuk pemilu serentak. UU Pemilu Baru sudah berbentuk kodifikasi tapi ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan verifikasi partai politik peserta pemilu ada kemungkinan berubah berdasar Putusan MK. KPU harus mengantisipasi segala kemungkinan dengan menyiapkan ragam alternatif PKPU,” kata Titi. []

USEP HASAN SADIKIN