November 27, 2024

Adelline Syahda: Tidak Boleh Ada Standar Ganda dalam Penentuan Calon Terpilih

Sistem pemilu terbuka terbatas diwacanakan akan jadi salah satu opsi sistem yang akan di-voting. Sistem pemilu terbuka terbatas diajukan sebagai jalan tengah karena sejumlah fraksi ingin pemilu legislatif memakai sistem proporsional terbuka. Fraksi lain menginginkan sistem proporsional tertutup.

Dalam perkembangannya, sistem proporsional terbuka terbatas mengarah pada perubahan formula penetapan calon terpilih. Jika pemilih di daerah pemilihan lebih banyak memilih lambang partai, pemenang pileg ditetapkan lewat nomor urut caleg (sistem tertutup). Namun, kalau yang lebih banyak dipilih adalah caleg, yang mendapatkan kursi di dapil itu adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak itu (sistem terbuka). Soal pemberian suara, pemilih bebas memilih tanda gambar partai atau calon anggota legislatif.

Adelline Syahda, peneliti pada Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, memandang ada potensi rumusan sistem ini inkonstitusional. Berikut wawancara lengkap dengan Adelline (15/5).

KoDe pernah menyatakan sistem pemilu terbuka terbatas inkonstitusional. Mengapa dinilai inkonstitusional?

Itu terkait dengan pernyataan sikap kami terhadap ketentuan pada Pasal 138 ayat (2) draft Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang disusun pemerintah. Inskonstitusional karena sebelumnya pernah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusan No. 22—24/PUU-VI/2008. Penetapan calon terpilih itu didasarkan pada perolehan suara terbanyak secara berurutan bukan atas nomor urut partai terkecil yang telah ditetapkan oleh partai.

Mengapa penetapan calon berdasarkan nomor urut dinilai inkonstitusional?

Ini bentuk pemasungan terhadap suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihan dan mengabaikan legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak. Ini berkaitan dengan format suara yang memuat tanda gambar partai, nomor urut partai, serta nomor urut dan nama calon. Tapi yang dhitung coblosnya pada tanda gambar partai saja.

Dalam perkembangan hingga hari ini, sistem proporsional terbuka terbatas mengarah pada perubahan formula penetapan calon terpilih…

Penafsiran sistem terbuka terbatas itu memang belum clear benar karena pembahasannya tertutup. Tapi sandaran tetap harus ke putusan MK.

Jika pemilih di daerah pemilihan lebih banyak memilih lambang partai, pemenang pileg ditetapkan lewat nomor urut caleg. Namun, jika yang lebih banyak dipilih adalah caleg, yang mendapatkan kursi di dapil itu adalah caleg yang memperoleh suara terbanyak itu. Masih inkonstitusional kah?

Kondisi yang masih diperdebatkan ini menurut saya masih potensial inkonstitusional karena dia bersifat opsional untuk memilih tanda partai atau caleg. Nah, ketika penetapan calon terpilih didasarkan pada perolehan syarat nomor urut partai, tidak kepada suara terbanyak ini potensial sekali inkonstitusionalnya.

Sebenarnya apa substansi putusan MK tersebut?

Di pendapat hukum Mahkamah jelas pemenangnya atas suara terbanyak. Bahkan jauh-jauh hari MK sudah bilang memberlakukan ketentuan hukum yang tidak sama atas keadaan yang sama itu sama tidak adilnya. Tidak boleh ada standar ganda dalam penentuan calon terpilih—di satu sisi menggunakan nomor urut, di sisi lain menggunakan perolehan suara terbanyak. Bahkan itu melanggar prinsip keadilan bagi calon.