December 9, 2024

August Mellaz: Proporsional Tertutup Lebih Pas, tapi….

August Mellaz merupakan salah satu pengamat pemilu yang berperhatian khusus pada sistem pemilu. Beberapa publikasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ditulis olehnya menjelaskan sejumlah variabel sistem pemilu. Belakangan, ia berperhatian mempelajari lebih sistem pemilu yang diterapkan di Jerman. Rumahpemilu.org penting menuangkan penjelasan “netral”-nya sebagai pengamat yang menggunakan penginderaan jauh dari dinamika advokasi kodifikasi undang-undang pemilu di Indonesia. Berikut hasil penjelasannya dalam diskusi di Sekretariat Bersama, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (18/9).

Sistem pemilu apa yang cocok untuk Indonesia?

Sistem yang cocok sebenarnya adalah sistem yang sudah dimiliki. Bagi saya, proporsional tertutup lebih pas dalam konteks Indonesia. Prinsip seperti Jerman dapat dipakai tanpa mengubah elemen-elemen teknis. Orang sering kali mengklasifikasi sistem di Jerman adalah MMP, tetapi ahli pemilu bisa berbeda.

Kalau kita bilang sistem pemilu Indonesia adalah proporsional, apa iya proporsional. Di penerapan sistem pemilu di Indonesia, tidak pernah terjadi proporsional. Partai besar yang suaranya lebih 10%, bisa mendapat selisih lebih kursi 15%, sedangkan partai kecil hilang proporsional kursinya. Partai politik hendaknya diganjar kursi tidak kurang dari proporsi yang didapatkan. Bisa saja kebutuhan kita cuma mengubah beberap variabel di dalam sistem pemilu untuk mendekatkan ke makna proporsional.

Bisa lebih dijelaskan, kenapa proporsional tertutup lebih pas?

Sistem tertutup lebih pas dalam kontes Indonesia karena sampai sekarang, kita belum bisa memotret pemilih berdasarkan ideologis. Partai politik pun belum punya data base pendukung berdasarkan kelas. Setelah partai matang berideologi dan punya data base dukungan, sistem terbuka berkepentingan mendisiplinkannya.

Tak ada sistem yang cocok di Indonesia kecuali sistem proporsional. Nah, apakah kita mau terbuka atau tertutup tergantung dinamika zaman. Setiap negara nyama dengan zonanya masing-masing.

Apa perbedaan mendasar, suatu sistem pemilu dikatakan proporsional atau bukan?

Prinsip proporsional merujuk pada pakar sistem pemilu, Douglas W. Rae (1967). Prinsipnya, sedapat mungkin partai mendapatkan kursi berdasarkan proporsi suara yang seimbang. Artinya, jika kursi yang didapat sama dengan proporsi suara yang diperoleh, berarti proporsional.

Jadi, kurang lebihnya berdasarkan garis proporsional yang dibentuk variabel suara dan kursi. Tapi, pengalamannya, akan bermasalah jika kursi yang didapat malah di bawah garis proporsional. Jika kursi yang didapat di atas garis proporsional, tak jadi masalah.

Berdasarkan pengalaman di dua pemilu terakhir, sebagian dari pihak yang berkepentingan, ingin kembali ke sistem pemilu proporsional daftar tertutup. Pihak yang ingin proporsional daftar terbuka juga kuat berpendapat. Tanggapannya?

Masing-masing sistem punya kelebihan dan kekurangannya. Yang saya sayangkan, perdebatannya hanya pada soal tertutup/terbuka. Padahal itu hanya salah satu variabel dalam sistem pemilu. Sejak 1999-2014 sistem pemilu masih sekedar tertutup atau terbuka, padahal dari sisi literatur masih banyak sistem.

Seharusnya?

Politik sebagai konsep dan politik sebagai praksis seharusnya bisa berjalan seiring. Kalau LSM mengerti pemilu idealnya memunculkan alternatif-alternatif. Keputusan menjadi rejim DPR dan Pemerintah.

Apakah pernah LSM/pakar pemilu merumuskan sistem pemilu berdasar kebutuhan anggota DPR? DPR menginput banyak masalah, kemudian LSM memformulasikan sistem apa yang bisa menjawab, kemudian dikembalikan lagi ke DPR, alternatif apa yang muncul? Tugas LSM adalah memperkaya alternatif sistem pemilu.

Jika pembahasan sistem dikaitkan dengan konteks pemilu serentak?

Pemilu serentak menjawab persoalan presidential di negara-negara Amerika Latin. Ada kecenderungan pemilu eksekutif dan legislatif dilakukan bersamaan, pada hari sama, surat suara sama. Akan muncul coattail effect, yaitu: partai pengusung presiden yang dipilih pemilih akan ikut dipilih sehingga terbentuk partai atau koalisi mayoritas di parlemen.

Penting untuk menguatkan coattail effect itu. Yang diusung oleh partai politik untuk calon presiden lebih berdampak dibandingkan partai politik itu sendiri. Di Indonesia, ada kecenderungan besar tak disiplinnya pemilih. Pemilih berbeda pilihan partai dalam memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. []