Kenapa pilkada serentak pada 2015 sebaiknya diundur di 2016?
Jika dipaksakan akan menimbulkan berbagai masalah. Sebaiknya rencana pilkada serentak pada Desember 2015 diundur menjadi Juni 2016. Akan ada komplikasi hukum. KPU telah merencakan, hari H pemungutan suara pada 16 Desember 2015. Dengan jadwal tersebut, maka pelantikan calon terpilih akan dilakukan pada 2 Januari 2016 jika tidak ada perselisihan hasil pilkada; pada 22 Januari 2016 jika ada perselisihan hasil tanpa kasasi; dan pada 6 Februari 2016 jika ada perselisihan hasil sampai kasasi.
Selanjutnya, jika terjadi putaran kedua, hari H pemungutan suara akan jatuh pada 23 Maret 2016 sehingga pelantikan calon terpilihnya pada April 2016. Di sinilah komplikasi hukum itu terjadi: pelaksanaan tahapan pilkada yang melampaui 2015 berarti melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (2) Perppu No 1/2014.
Selain itu, apa lagi masalahnya?
Kondisi alam. Sepanjang Desember musim hujan yang sering membawa banjir dan tanah longsor sehingga bisa menggagalkan pemungutan suara. Berdasarkan perhitungan iklim dan cuaca, Juni lebih aman karena lautan tenang, udara cerah. Sebaiknya diundur di Juni 2016.
Ketiga, keamanan. Pilkada serentak lebih membutuhkan personil kepolisian secara bersamaan. Butuh waktu buat KPU dan kepolisian serta TNI untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya kekerasan dan kerusuhan. Kehadiran TNI bisa munculkan prasangka macam-macam, jika tidak dipersiapkan hati-hati.
Keempat, kepentingan penyelenggara. Pilkada yang baik memerlukan perencanaan dan persiapan panjang. Berdasarkan pengalaman banyak negara, undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu seharusnya sudah disahkan dua tahun sebelum hari H.
Perppu No 1/2014 akan disahkan menjadi undang-undang pada Januari 2015, sehngga jika pilkada serentak dilaksanakan Desember 2015, KPU punya waktu kurang dari satu tahun untuk perencanaan dan persiapan. Jelas ini tidak cukup. Juga perlu diingat, ini kali pertama Indonesia menyelenggarakan pilkada serentak.
Bagaimana dengan anggaran pilkada yang dibiayai APBD?
Perppu No 1/2014 menyebutkan, pilkada serentak 2015 dibiayai APBD. Padahal, banyak kepala daerah memainkan APBD untuk mengintervensi KPU daerah, karena mereka mencalonkan lagi atau menjagokan calon lain. Pengalaman Provinsi Lampung menunjukkan hal ini. Dampaknya, pilkada yang semestinya digelar pertengah 2013 mundur ke April 2014.
Selain itu, pilkada pada Desember tidak pararel dengan siklus anggaran, karena biasanya pada dua pekan terakhir Desember sudah tidak ada lagi pengeluaran tahun berjalan, sementara memasuki Januari, anggara belum cair. Oleh karena itu, secara teknis penganggaran, penyelenggaraan pilkada Desember sangat menyulitkan penyelenggara dan pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan dana negara.
Fraksi partai di parlemen ada yang mendukung pengunduran ada yang tetap ingin pilkada serentak di 2015, bagaimana sebetulnya kesiapan partai untuk pilkada serentak?
Siklus pemilu selama ini telah menciptakan konflik internal partai berkelanjutan. Pencalonan pemilu legislatif dan pencalonan pemilu presiden menimbulkan perpecahan antarkader. Sebetulnya ini bukan khas Indonesia. Yang jadi masalah di sini, setelah pemilu legislatif dan pemilu presiden, partai tidak punya waktu untuk konsolidasi, sebab belum tuntas menyelesaikan konflik internal akibat pencalonan pemilu legislatif dan pemilu presiden, perpecahan kembali melanda pengurus daerah akibat pencalonan kepala daerah.
Pilkada terjadi sepanjang empat tahun, maka sepanjang itu juga partai sibuk mengurus konflik internal. Dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, partai butuh waktu setidaknya dua tahun untuk menuntaskan konsolidasi internal sebelum mengikuti pemilu berikutnya.
Bagaimana dengan pemilih?
Kegagalan konsolidasi tak hanya merugikan partai sendiri, tetapi juga pemilih dan masyarakat. Indonesia baru saja menyelenggarakan pemilu legislatif dan presiden di 2014. Pemilih butuh waktu agar mampu bersikap rasional dalam memberikan suara: memilih kembali (ganjaran) atau tidak memilih kembali (hukuman) terhadap mereka yang terpilih pada pemilu terakhir.
Tentu saja kinerja anggota legislatif dan pejabat eksekutif terpilih pada Pemilu 2014 belum terlihat pada 2015, sehingga pemilih sulit memberikan ganjaran dan hukuman dengan tepat. Jika pilkada serentak dipaksakan pada Desember 2015, pemilih cenderung mengedepankan sentimen dalam memberikan suara, sehingga pilkada sulit menghasilkan kepala daerah berkualitas.
Selain itu, jarak setahun antara pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada serentak, membuat pemilih jenuh sehingga angka partisipasi bisa turun. Padahal bagi negara yang sedang membangun demokrasi, tingginya partisipasi pemilih diperlukan untuk menjaga legitimasi pemerintahan.
Jadi, berdasarkan pertimbangan pentingnya pengubahan siklus, ketentuan apa dalam Perppu No.1/2014 yang perlu diubah?
Pilkada serentak Desember 2015 menjadi pilkada serentak Juni 2016, dan pemajuan pilkada serentak Desember 2018 menjadi pilkada serentak Juni 2017, maka ketentuan Pasal 201 ayat (1) dan ayat (2) Perppu No 1/2014 harus direvisi. Inilah revisi terbatas yang pertama dan utama yang harus dilakukan agar penyelenggaraan pilkada serentak bisa berjalan baik sekaligus menuju pembangunan siklus pemilu lima tahunan yang ideal.
Jika dua pasal tersebut direvisi, tidak hanya KPU dan jajarannya yang punya waktu mempersiapkan penyelenggaraan pilkada serentak Juni 2016, tetapi pembuat undang-undang juga punya waktu untuk merevisi ketentuan-ketentuan lain dalam Perppu No 1/2014 yang dianggap penting untuk direvisi dalam waktu singkat. []