August 8, 2024

DJAYADI HANAN: Coattail Effect Akan Terdistribusi Secara Tak Proporsional

Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Djayadi Hanan menulis artikel di rubrik Opini Kompas (8/2) mengenai efek ekor jas (coattail effect) dalam Pemilu Serentak 2019. Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting ini membandingkan penerapan pemilu serentak di negara Amerika Latin dengan konteks Indonesia. Di Pemilu Serentak 2019 nanti, coattail effect lebih kuat dibanding Jokowi Effect atau Prabowo Effect yang menarik elektabilitas PDIP dan Gerindra sebagai partai politik pengusung utama di Pemilu 2014 yang belum serentak. Tapi, syarat ambang batas pencalonan presiden 20% kursi DPR atau 25% suara pemilu sebelumnya mendorong coattail effect yang tak proporsional.

Berikut penjelasan Djayadi Hanan yang disusun rumahpemilu.org dengan format tanya jawab:

Apa yang membedakan pemilu serentak dengan pemilu tak serentak sebelumnya?

Coattail effect adalah salah satu pertanyaan penting semua aktor politik di Indonesia menjelang Pemilu Serentak 2019. Kajian ilmiah mengenai efek ekor jas (EEJ) umumnya didasarkan pada penelitian pemilu serentak dalam sistem presidensial dua partai seperti, utamanya, di Amerika Serikat.

Kesimpulan umumnya terdapat hubungan positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon. Sebaliknya, seorang calon presiden atau presiden yang tidak populer dengan tingkat elektabilitas yang rendah akan memberikan dampak negatif kepada perolehan suara partai yang mengajukan dia sebagai calon presiden.

Terhadap partai pengusung yang bukan partai asal calon presiden, apa pengaruh elektoral yang dibawa seorang calon presiden?

Meskipun masih terbatas jumlahnya, kajian ilmiah juga menunjukkan adanya hubungan positif antara calon presiden dan kekuatan elektoral partai-partai anggota koalisi pengusung calon presiden. Namun, ada syaratnya, partai-partai koalisi yang bukan partai sang calon presiden harus menunjukkan asosiasi yang kuat dengan sang calon. Dengan kata lain, partai yang dianggap paling kuat asosiasinya dengan calon presidenlah yang akan memperoleh dampak dari popularitas dan elektabilitas sang calon.

Ada kajian atau praktek pemilunya?

Penelitian mengenai coattail effect di Brasil dan Chile oleh Andre Borges dan Mathiu Turgeon pada 2017 ada temuan menarik. Mereka menamakannya diffused coattail effect yang dapat kita terjemahkan bebas sebagai EEJ yang terdistribusi secara tidak proporsional. Dalam pemilu serentak di Brasil dan Chile, partai yang dianggap partai formatur koalisi (pembentuk koalisi, yakni presiden) memperoleh dampak EEJ paling besar. Adapun partai-partai anggota koalisi lainnya memperoleh dampak EEJ tergantung pada kuat lemahnya asosiasi mereka dengan sang formatur koalisi di mata publik pemilih.

Bagaimana kaitan itu semua dengan syarat ambang batas pencalonan presiden?

Karena ketentuan soal ambang batas pencalonan presiden 20 persen telah ditetapkan final oleh Mahkamah Konstitusi, pasti pencalonan presiden dalam pemilu serentak 2019 akan berbentuk koalisi. Dengan asumsi koalisi Presiden Jokowi solid, maka hanya akan ada dua kubu calon presiden, yaitu kubu Jokowi dan kubu Prabowo Subianto.

Partai di luar PDIP dan Gerindra, berpengaruhkan dengan mengusung Jokowi atau Prabowo?

Dalam survei eksperimen oleh SMRC pada Desember 2017 ditemukan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara mencalonkan Jokowi dan tingkat elektabilitas Golkar. Jika Golkar mencalonkan Jokowi, elektabilitas Golkar meningkat, jika tidak mencalonkan Jokowi atau mencalonkan yang lain, elektabilitas Golkar cenderung stagnan atau menurun.

Di luar itu, partai-partai oposisi mungkin juga akan mulai memperjelas bangunan asosiasinya dengan calon nomor dua terpopuler saat ini, yaitu Prabowo, atau calon lain yang dianggap bagian dari kubu Prabowo. Dari kecenderungan semua itu coattail effect akan terdistribusi secara tak proporsional. []