September 13, 2024

Djayadi Hanan: Peraturan dan Penyelenggara Pemilu Harus Cegah Korupsi di Pemilu

Korupsi ditengarai sudah muncul sebelum seseorang menduduki jabatan publik, yaitu sejak saat pemilihan umum. Untuk mengetahui hal-hal yang bisa dilakukan terkait pencegahan korupsi dalam proses pemilihan umum,  rumahpemilu.org mewawancarai Djayadi Hanan, dosen ilmu politik di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Paramadina melalui telepon (15/8). Berikut hasil wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Rizki Setiawan:

Dalam konteks pencegahan korupsi, apa yang harus dilakukan agar proses pemilu lebih efektif?

Untuk bisa membuat proses pemilu yang efektif dalam mencegah korupsi, kita harus tahu dulu untuk melihat sebab-sebab korupsi pemilu. Selain itu kita juga mesti mengkategorisasi bentuk korupsi dalam pemilu. Jika dilihat secara umum, dari hasil-hasil penelitian di berbagai tempat di mana pemilu dilaksanakan, kita bisa mengkategorisasi korupsi pemilu menjadi minimal tiga bentuk korupsi.

Pertama, manipulasi kerangka institusi. Ini meliputi peraturan, lembaga penyelenggara dan sebagainya.

Kedua, manipulasi dari pemilihnya sendiri. Money politics misalnya, lalu ada pemilih siluman, atau ada juga pemilih yang memilih lebih dari satu kali.

Ketiga, yang sering kita bicarakan adalah manipulasi suara, yang terdiri dari proses pengadministrasian dan perolehan suara, proses penghitungannya, sampai dengan penentuan siapa pemenang pemilu.

Dari berbagai penelitian juga, yang saya tahu, penyebab korupsi dalam pemilu itu pertama adalah kerangka institusi atau kerangka kelembagaannya yang bermasalah. Kerangka kelembagaan, yang utama adalah peraturannya lalu penyelenggaranya, dan  termasuk juga pesertanya.

Kerangka kelembagaan ini yang seringkali bermasalah. Banyak orang menilai dari segi pengaturan dana kampanye di Indonesia itu sudah ada, tetapi dari segi penegakannya tidak ada. Atau yang diatur cuma berapa yang keluar yang dilaporkan  tapi yang masuk tidak diatur, atau sebaliknya. Hal-hal semacam  itu yang seringkali menimbulkan korupsi.

Ada faktor atau penyebab lain?

Yang kedua, ini faktor yang sulit dikontrol, terkait dengan aspek-aspek konteks sosial masyarakat. Seperti masyarakat yang kaya, yang tingkat ekonominya baik, pembelian suara cenderung sulit terjadi.

Atau di masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup tinggi, yang budaya politik atau demokrasi sudah cukup baik, korupsi pemilu cenderung tidak mudah terjadi. Pada masyarakat yang pendidikan politik untuk pemilihnya baik, itu biasanya korupsi pemilu juga cenderung agak berkurang atau tidak mudah terjadi.

Satu lagi yang sulit dikelola adalah soal  kultur, budaya, kalau masyarakat menganggap, seperti yang terjadi di indonesia, kalau anda minta dipilih oleh saya, masyarakat bilang, “Anda mau bayar berapa? Uangnya mana?”, dan hal itu seolah-olah sudah menjadi budaya.

Beda dengan misalnya di Amerika. Ketika seorang kandidat ingin maju, maka kandidat bukannya memberi uang kepada masyarakat tapi Kandidat minta uang kepada masyarakat supaya dibiayai. Nah di kita budaya seperti itu tidak ada. Itu yang menjadi soal.

Selain juga, yang masuk dalam kerangka kelembagaan itu termasuk juga political financing. Bagaimana pembiayaan politik, darimana uang itu didapatkan untuk membiayai politik. Itu juga menjadi masalah.

Terakhir saya kira adalah seberapa transparan pemilu itu dilaksanakan, termasuk apakah lembaga-lembaga pemantau, baik lokal maupun internasional memiliki akses yang cukup terhadap transparansi proses pemilu. Terutama yang terkait dengan keuangan pemilu.

Kalau tiga hal ini semuanya buruk maka korupsi pemilu cenderung meningkat.

Bagaimana mencegah korupsi pemilu?

Dalam konteks indonesia sekarang ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi korupsi pemilu. Pertama, memperbaiki kerangka kelembagaan, baik peraturan maupun penyelenggara pemilu dalam kinerja maupun kerangka kelembagaannya. Bagaimana mengatur supaya peluang korupsi diminimalisir.

Penyelenggara pemilu menyelenggarakan pemilu dengan baik. Selain itu perlu pengawas pemilu yang bisa memastikan peraturan dijalankan dengan baik.

Di Amerika pengawas pemilu itu tidak seperti kita, ada pengawas pemilu khusus. Pengawas pemilu Itu maksudnya penegakan hukum. Pengadilan atau auditor bisa dengan efektif melihat di mana persoalan-persoalan pemilu itu terjadi, sehingga bisa dikurangi korupsinya.

Faktor yang kedua, yang saya sebut tadi soal konteks sosial ekonomi. Kalau soal budaya mungkin itu jangka panjang, karena agak sulit kita kontrol. Tapi dari segi pendidikan pemilihnya yang sangat memadai, yang baik, itu bisa mengurangi korupsi pemilu. Meskipun tidak banyak yang bisa dikurangi, tapi dalam konteks Indoensia itulah yang bisa dilakukan.

Lalu yang ketiga saya kira adalah transparansi pemilu. Terutama transparansi pendanaan baik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu.

Transparansi pendanaan ini yang saya lihat masih sulit. Coba saja misalnya kita meminta, kalau sebuah Lembaga pemantau atau LSM keuangan yang ingin melihat transparansi keuangan pemilu dari sebuah partai misalnya, biasanya akan sangat sulit sekali didapatkan.

ICW kemarin meminta laporan keuangan beberapa partai, namun beberapa partai besar tidak mau memberikan gambaran keuangan mereka. Soal transparansi itu yang masih sulit.

Memang di pemilu-pemilu yang lalu itu ada laporan keuangan dari Kampanye partai. Tapi saya kira itu jadi rahasia umum bahwa laporan itu tidak sesuai dengan pengeluaran yang terjadi.

Misalnya pengeluaran sebuah partai iklannya sangat banyak di TV, prime time. Menurut hitung-hitungan logis jumlahnya ratusan milyar, tapi yang dilaporkan cuma puluhan miliar. Bagaimana kita mendapatkan itu? Itu yang masih sulit di Indonesia.

ICW merilis 36 nama calon yang tidak pro pemberantasan korupsi, namun hingga sekarang ini 36 calon tersebut masih tercantum dalam DCS, bagaimana pendapat anda?

Memang kalau dari yang dibuat ICW belum menjadi fakta hukum, tidak ada proses hukumnya, saya kira disitu kelemahannya. Jadi KPU sulit untuk melakukan tindakan, di samping apakah memang KPU memiliki wewenang untuk melakukannya.

Saya kira yang dilakukan ICW kemarin lebih kepada upaya untuk mengedukasi masyarakat bahwa ada calon-calon menurut indikator yang dibuat ICW. Bahwa ada caleg yang tidak pro pemberantasan korupsi. Mereka tidak mengatakan mereka korup, tapi tidak pro pemberantasan korupsi.

Jadi saya kira tujuan ICW lebih kesitu, bahwa kalau publik ingin mendapatkan calon-calon yang bersih maka contoh dari 36 orang itu mestinya jangan dipilih.

Tapi memang tidak ada konsekuensi hukum dari laporan atau rilis ICW tersebut. Konsekuensinya lebih banyak politik, yaitu citra calon-calon ini menjadi kurang baik di mata masyarakat dan kemudian menjadi tidak memilih calon tersebut.

Masalahnya kemudian adalah, apakah masyarakat kita sudah memiliki akses sebaik ICW dalam melihat calon-calon ini? Masyarakat tidak memiliki cukup waktu dan informasi untuk menilai calon-calon itu, jadi memang seharusnya yang lebih berperan adalah yang pertama peraturan pemilihan umum yang lebih ketat, dan yang kedua, penyelenggara pemilunya yang lebih proaktif dan lebih tegas dalam melihat kemungkinan-kemungkinan akan munculnya korupsi. []