Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) jangan membatasi hak pasangan calon di pilkada mencari keadilan hasil pilkada. Ada kecenderungan MK menjadikan syarat selisih suara maksimal 2 persen yang bergantung dengan jumlah penduduk daerah berpilkada sebagai dasar menerima proses gugatan. Syarat itu hendaknya dijadikan dasar MK untuk mengeluarkan putusan, bukan membatasi penerimaan permohonan.
Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan peneliti bidang hukum Perludem, Fadli Ramadhanil di kantor Perludem, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (3/1).
Apa dasar aktual Perludem berperhatian serius mengawasi penyelesaian perselisihan hasil Pilkada 2015?
Perselisihan hasil pilkada merupakan bagian utama tahapan pelaksanaan pilkada. Jika merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 2 Tahun 2015 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota maka perselisihan hasil merupakan tahapan ke-10 yang termasuk dari 13 tahapan pelaksanaan pilkada. Prinsip jujur dan adil sudah seharusnya ditegakan hingga akhir tahapan, termasuk perselisihan hasil.
Ada gelagat dari MK membatasi hak keadilan calon. Ketua MK, Arief Hidayat mengucapkan pernyataan, MK hanya menerima permohonan yang selisih suaranya sesuai batasan maksimal di undang-undang.
Bukan kah sangat mungkin ada/banyak paslon yang tak menggugat hasil karena menyadari selisih suara jauh meski mengetahui ada pelanggaran calon terpilih yang prinsipil?
Sangat mungkin. Pertama itu soal hak paslon. Hak pilihan apakah mau menggugat atau tidak.
Bukan kah MK bisa beralasan bersikap berdasar kepastian hukum dengan menekankan pada syarat selisih suara maksimal 2 persen tergantung jumlah penduduk sesuai dengan yang ada di undang-undang?
Kami tak mempermasalahkan dasar kepastian hukum MK merujuk undang-undang. Yang kami permasalahkan kenapa dasar selisih suara sudah dipakai MK diawal penerimaan gugatan.
Jadi pernyataan Ketua MK, Arif Hidayat yang menekankan dasar selisih suara dalam penerimaan gugatan, adalah hal yang bisa diperdebatkan?
Iya. UU 8/2015 mensyaratkan selisih suara tidak boleh lebih dari 2% dari hasil yang ditetapkan oleh KPU. Syarat ini jika dilihat dari maksud dan tujuan kehadirannya, ingin menyampaikan pesan, agar MK tidak menjadi “tong sampah†sengketa pilkada.
Sekarang di hasil Pilkada 2015, keadaannya permohonan perselisihan hasil jumlahnya sangat sedikit. Ini di jauh lebih sedikit dari prediksi pengamat pemilu. Perludem memprediksi dari 264 daerah yang menyelenggarakan pilkada, setidaknya akan ada 264 pemohon dari paslon pemenang kedua. Tapi ternyata jumlahnya hampir setengah dari prediksi Perludem.
Cuma 147 daerah yang paslonnya mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada. Kalau MK memakai dasar selisih suara digunakan dalam tahap awal penerimaan berkas permohonan, berarti cuma 23 daerah saja.
Itu bukan penegasan upaya kepastian hukum dari MK?
Bisa dibilang, itu lebih kepada pembatasan hak keadilan paslon. Terima saja semua permohonan berjumlah 147 itu. MK sebaiknya gunakan syarat selisih suara dalam mengeluarkan putusan.
Jika MK menerima semua permohonan itu, bukan kah waktu yang dibutuhkan MK dalam menangani perselisihan hasil pilkada ini menjadi jauh lebih panjang ya?
Bisa jadi. Tapi titik tekannya, pertama, MK jangan membatasi hak keadilan calon. Kedua, jumlah permohonan sekarang jauh lebih sedikit dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya.
Perludem hanya mempermasalah pembatasan selisih suara di penerimaan permohonan? Bagaimana syarat selisih suara maksimal 2 persen (berdasarkan jumlah penduduk) yang ada di undang-undang, Perludem setuju?
Tidak. Perludem sejak UU No.1/2015 yang sebelumnya berupa Perppu No. 1/2014 lalu direvisi menjadi UU No. 8/2015 disahkan dan berlaku, menolak syarat maksimal selisih suara untuk gugatan hasil pilkada. Kenapa harus dibatasi.
Kita tahu faktanya sering terjadi ada paslon terpilih yang selesih suara sangat jauh dengan paslon bersuara kedua terbanyak, tapi melakukan pelanggaran yang prinsipil. Belum lagi ada daerah seperti Papua dan Papua Barat yang sebagian daerah masih menggunakan cara ikat noken dalam pemungutan dan penghitungan suara.