Pusat Kajian Konstitusi Universitas Andalas, Sumatera Barat melakukan kajian jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada dua kesimpulan penting. Pertama, penambahan kursi tak berbanding lurus dengan kualitas kinerja fungsi DPR. Kedua, penambahan kursi DPR malah akan melemahkan presidensial Indonesia.
Kesimpulan kedua itu berarti menggambarkan paradoksal dengan tren rekayasa kepemiluan Indonesia. Pasalnya, undang-undang pemilu selalu mengandung semangat penguatan sistem pemerintahan presidensial. Paradoksal ini bertambah dengan konteks Pemilu 2019 dan seterusnya yang menerapkan pemilu serentak. Berikut penjelasan direktur eksekutif Pusako, Feri Amsari kepada rumahpemilu.org (6/6).
Kemungkinan besar kursi DPR bertambah dari 560 ke 575, komentarnya?
Saya menyayangkan ini. Tren kinerja anggota DPR makin buruk. Padahal dari pergantian periode lalu sampai sekarang, jumlah kursi selalu meningkat. DPR pun tak konsisten dasar penambahan kursi itu apa. Awalnya berdasarkan jumlah penduduk. Lalu berubah karena ada provinsi baru.
Jumlah penduduk yang bertambah bisa diterimakah untuk kemudian DPR menyesuaikan dengan penambahan kursi?
Tidak juga. Amerika Serikat dari dulu hingga sekarang jumlah kursi dewan perwakilannya tetap bahkan tertulis di konstitusi. India, penduduknya satu miliar lebih tapi kursi DPR-nya 552, lebih kecil dari Indonesia.
Seharusnya?
Seharusnya DPR menyikapi UU pemilu ini dengan melakukan alokasi ulang 560 kursi yang ada. Bukan menambahnya. Karena persoalan utama kursi DPR adalah tidak proporsional dengan jumlah penduduk tiap provinsi. Sulawesi Selatan berlebih. Kepulauan Riau kurang kursi.
Upaya apa yang mungkin untuk membatalkan penambahan kursi ini?
Dari perspektif ketatanegaraan seharusnya Joko Widodo seharusnya lebih peduli. Penambahan kursi DPR melemahkan presidensial Indonesia. Fragmentasi partai di DPR sekarang sangat tinggi dan presiden tak ditopang koalisi partai yang solid. Semakin banyak kursi DPR semakin mungkin Presiden dimakzulkan di tengah periode jabatannya. Padahal pemberhentian presiden oleh MPR ini terus dihindari berdasar ketatanegaraan melalui penguatan presidensialisme.
Teknisnya, Presiden harus melalukan apa saat UU Pemilu dari Pansus menuju pengesahan di Paripurna?
Presiden harus hati-hati. Unsur pemerintah yaitu Kemendagri, Kemenkum-HAM, dan Kementrian Keuangan hadir sebagai wakil Presiden terus mengikuti rapat pembahasan undang-undang pemilu saat ini dimaknai sebagai penerimaan Presiden terhadap seluruh hasil pembahasan. Presiden bisa melakukan Pidato Presiden yang secara tak langsung mengklarifikasi penerimaan tiga kementerian terhadap hasil pembahasan undang-undang pemilu.
Segenting itu kah?
Ini demi sistem presidensial Indonesia. Dalam RUU Pemilu, Kursi DPD dikurangi jadi 2 per provinsi sehingga total anggota DPD se-Indonesia 68 orang. Anggota MPR menjadi 643 orang yang didominasi DPR sebagai wakil partai. Sesuai dengan konstitusi, putusan akhir memakzulkan presiden di Indonesia bergantung keputusan rapat paripurna MPR. Dengan jumlah itu, sidang pemakzulan tersebut cukup dihadiri oleh 482 orang. Sedangkan untuk memutus penerimaan pemakzulan, cukup disetujui oleh 361 orang.