Rekapitulasi suara pada Pemilu 2014 dilakukan berjenjang dari tempat pemungutan suara (TPS), kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. Pada Pilkada 2015 dan 2017 lalu, tahapan rekapitulasi suara di tingkat kelurahan dipotong. Hasil pemungutan suara dari TPS langsung direkap di kecamatan.
Untuk Pemilu 2019, Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu mewacanakan tahapan rekapitulasi di kelurahan dan kecamatan dipotong. Hasil pemungutan dan penghitungan suara di TPS langsung direkapitulasi di kabupaten/kota. Pansus beralasan rekapitulasi langsung ini dapat mengurangi potensi curang.
Hadar Nafis Gumay, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2012—2017, punya pandangan lain. Dari segi teknis penyelenggaraan, rekapitulasi langsung ke kabupaten/kota berpotensi acak-acakan.
Rumah Pemilu mencatat paparan pria yang juga pendiri Constitutional and Electoral Reform Center (Correct) ini tentang pengalaman teknis rekapitulasi suara. Dalam diskusi di kantor Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) (23/5) itu, ia menjabarkan bahwa rekapitulasi langsung di kabupaten/kota belum memungkinkan dilakukan. Rekapitulasi dinilai lebih pas di kecamatan. Berikut diskusi Rumah Pemilu dengan Hadar Nafis Gumay.
Bagaimana rekapitulasi yang dilakukan KPU selama ini?
Rekapitulasi yang dimaksud dilakukan dengan membuka kotak dan mengambil Formulir C1 berhologram dalam amplop bersegel, kemudian direkap hasilnya untuk semua C1 TPS per kelurahan/desa. Formulir C1 itu dibandingkan dengan Formulir C1 yang dimiliki saksi dan C1 plano yang harus dibuka juga saat rekap. Jika tidak ada masalah artinya tidak ada perbedaan dokumen tersebut, rekap selesai.
Namun, jika ditemukan sesuatu yang aneh, di sini harus diberikan penjelasan yang harus bisa diterima. Sebagai contoh, jumlah surat suara yang digunakan dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak suara nggak klop. Itu harus ada yang bisa menjelaskan dan kemudian dilakukan koreksi.
Jika rekapitulasi di PPK dalam pilkada misalnya, yang diharapkan bisa menjelaskan PPS-nya. Jika memang gawat betul tidak ditemukan penjelasan mengapa angka-angka hasil tidak klop, maka dapat menghadirkan KPPS. Jika juga mentok tidak bisa menjelaskan, maka diperlukan untuk dihitung ulang—dibuka kotak suara dan dihitung lagi.
Saat di tingkat Kecamatan, bagaimana teknis KPU melaksanakan rekapitulasi?
Saat rekapitulasi di kecamatan, pelaksanaan rekap hasil harus tetap dilakukan per kelurahan/desa dulu. Prosesnya seolah di tingkatan kelurahan atau desa masing-masing, tapi dilakukan di satu tempat yaitu di kecamatan. Penghitungan itu dilakukan per kelurahan. Jika penghitungan di satu kelurahan sudah selesai, baru bisa pindah ke kelurahan lain. Itu bisa dilakukan di kecamatan yang jika diperhitungkan dalam batas waktu yang disediakan proses rekapitulasi bisa selesai.
Jika di kecamatan tersebut terdiri atas banyak kelurahan dan TPS per kelurahan/desanya, rekapitulasi diperbolehkan dilakukan secara paralel hingga empat grup. Pada Pilkada lalu, di kecamatan yang jumlah TPS banyak dilakukan (paralel) itu.
Kerja ini merupakan tugas dan tanggung jawab PPK. Artinya, setiap keputusan pengesahan hasil rekapitulasi suara per kelurahan harus melalui satu pleno PPK. Dalam praktiknya semua kelompok PPS yang melakukan rekapitulasi paralel ini harus di bawah supervisi anggota PPK, dan saat pengetokan (pengambilan keputusan hasil rekapitulasi di kelurahan) harus bersama. Itu harus merupakan tanggung jawab pleno PPK.
Pansus RUU Pemilu mewacanakan rekapitulasi langsung di kabupaten/kota. Apakah itu memungkinkan? Bagaimana teknisnya?
Harus itu juga yang dilakukan. Rekapitulasi perlu dilakukan juga paralel per kelurahan/desa terlebih dahulu. Setelah rekapitulasi suara di setiap kelurahan/desa rampung, baru digabung menjadi hasil rekapitulasi per kecamatan. Rekapitulasi kecamatan kemudian barulah digabung dan akan didapat angka hasil rekapitulasi kabupaten/kota.
Harus semua paralel. Jika tidak, akan acak-acakan dan butuh waktu lama. Kalau tidak dibagi menghitungnya per klaster daerah administrasi per tingkatan—membereskan rekapitulasi kelurahan/desa, kecamatan, kemudian kabupaten/kota—nanti kalau mau detect kesalahannya kan susah.
Rekapitulasi langsung di kabupaten/kota dinilai lebih cepat…
Saya tidak yakin, karena dibutuhkan waktu memindahkan semua dokumen yang diperlukan. Semua dokumen itu termasuk kotak suara yang harus stand by kalau harus dibuka. Di daerah yang geografisnya luas dan sulit, dan tranportasi terjadwalnya jarang, untuk bisa sampai ke ibu kota kabupaten/kota saja butuh waktu lama. Pertanyaan bahwa itu bisa lebih cepat, sulit untuk menjamin itu.
Menurut saya kalau kita mau cepat, terlebih lagi untuk daerah yang TPS nya sangat banyak, maka harus banyak sekali juga rekap paralelnya. Bahwa ada daerah yang dokumen cepat datang dan digunakan ya, tapi kalau paralelnya tidak banyak, akan lama juga proses rekap harus berlangsung.
Di Pilkada, KPU menguji coba sistem seven segment dalam pengisian formulir C1 sehingga lebih mudah dipindai dan langsung masuk pada teknologi rekapitulasi elektronik (SITUNG). Apakah itu memungkinkan diimplementasikan pada Pemilu 2019?
Seven segment yang KPU kembangkan dan lakukan itu untuk pemilu yang sederhana, seperti Pilkada. Bukan seperti pileg yang banyak sekali angka hasil penghitungan yang harus dimasukan. Perlu waktu lagi untuk memastikan SITUNG ini, semua pihak dan perangkatnya siap untuk melayani Pemilu 2019 yang rumit karena mencakup lima pemilihan sekaligus.
Apa saja yang perlu disiapkan untuk menuju rekapitulasi elektronik itu?
Pertama, harus kita pastikan dulu apakah kita mau mengimplementasikan sistem ini untuk pilpres atau pileg atau keduanya. Kalau kita mau menggunakan untuk semua jenis pemilu, maka kita harus putuskan juga angka mana saja yang diperlukan untuk di rekap. Kalau mau semua angka dimasukkan, banyak sekali itu. Pemilu DPR dan DPRD itu ada partai, ada calon. Partai berapa partainya, calon berapa calonnya. Kemudian itu kita bicara per dapil. Begitu juga DPRD kabupaten/kota. Ada juga angka hasil pemilihan Anggota DPD. Untuk angka hasil perolehan sura sendiri sudah banyak sekali. Belum lagi angka angka pemilih, suara sah, dan sebagainya.
Kedua, kita harus pastikan petugas kita siap menulis dengan format seven segment itu. Klo gak, ya tentu harus ada koreksinya juga. Seven segment itu kan harus ditulis dengan benar juga supaya hasil kerja teknologi ini akurat. Kalau nggak bener nulis, salah juga ngitungnya. Harus ada sistem pengecekan dan koreksi.
Kemudian ketiga, perlu dipastikan kerangka hukum penggunaan sistem teknologi rekapitulasi sudah komprehensif, sudah ada pengaturan audit dan sengketa hasilnya.
Yang keempat, dan ini paling penting, kita harus memastikan semua pemangku kepentingan termasuk peserta pemilu, percaya dan menerima sistem ini.
Berapa lama lagi untuk menyatakan rekapitulasi elektronik itu siap diimplementasikan?
Tidak cukup dua tahun ini. Untuk bisa memastikan teknologi itu bisa diterapkan haruslah sudah bisa dicoba cukup luas dan komprehensif. Di Filipina, disyaratkan penggunaan teknologi PCOS (Precinct Count Optical Scan) yang pertama kali secara nasional pada Pemilu 2010, melalui proses uji coba skala besar dua kali, yaitu pada Pemilu ARMM (Autonomous Region in Muslim Mindanau) tahun 1996 dan pemilihan beberapa daerah di wilayah selatan tahun 1998. Padahal kebijakan untuk melakukan persiapan penggunaan teknologi dalam pemungutan dan penghitungan suara di sana sudah dimulai sejak tahun 1992.
Di Indonesia, dengan wilayah kepulauan yang sangat luas dan beragam, perkiraan saya setelah diuji cobakan di 60 persen wilayah dalam dua kali pemilu misalnya barulah bisa disimpulkan bahwa teknologi itu bisa diterapkan secara nasional. Semua pihak juga harus terus mengikuti perkembangan teknologi ini sehingga mereka tahu persis apa yang sedang dipersiapkan. Kerangka hukum yang lengkap untuk penarapan teknologi ini diperlukan. Bahkan harus ada kerangka hukum yang mengatur jika ada sengketa, dokumen elektronik seperti apa yang bisa menjadi dasar.
Banyak yang harus dipersiapkan. Butuh waktu panjang untuk ini.
Bahwa KPU saat ini menggunakan teknologi scan manual entry yang hasilnya dapat dilihat dengan cepat dan on line tetapi sebagai hasil awal yang bukan menjadi hasil final ya tidak apa-apa. Itu bagus. Itu bagian dari uji coba.
Jadi untuk saat ini, bagaimana teknis rekapitulasi yang ideal?
Rekapitulasi lebih pas di kecamatan. Kalau mau di-skip, itu di Kelurahannya saja. Ini pun harus kita pastikan dalam mengalokasikan waktunya dalam tahapan haruslah cukup untuk daerah yang punya banyak Kelurahan/ Desa dan TPS.
Dengan rekapitulasi di kecamatan, petugas TPS juga dapat dengan lebih mudah hadir jika dibutuhkan untuk menjelaskan Formulir C1. Ini masih memungkinkan. Kalau ke kabupaten/kota berat sekali. Terlalu banyak dan jauh.