November 15, 2024

Ida Budhiati: Konsultasi Mengikat, KPU Pasti Ajukan Judicial Review ke MK

Pasal 9 huruf (a) Undang-undang Pilkada hasil revisi kedua mengatakan tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Istilah “mengikat” dianggap mengancam kemandirian KPU dan memberikan peluang besar bagi DPR mengintervensi kebijakan KPU. Berikut wawancara jurnalis rumahpemilu.org, Debora Blandina, dengan anggota KPU RI, Ida Budhiati (7/6).

Bagaimana kajian KPU terhadap Pasal 9 (a) Undang-undang Pilkada hasil revisi kedua? 

Revisi Undang-undang Pilkada yang disetujui DPR berpotensi meruntuhkan independensi KPU. Dalam sistem ketatanegaraan kita, KPU disebut secara eksplisit dalam Undang-undang Dasar sebagai lembaga nasional, tetap, dan mandiri. KPU mandiri dalam mengambil keputusan, KPU tidak boleh dalam pengaruh, tidak boleh dibawah tekanan, dan tidak boleh diintervensi.

Dalam mengambil keputusan, KPU memang mendengarkan banyak pihak, terlebih pemangku kepentingan dalam pemilu. Namun pengambilan keputusan berada di wilayah internal yang tidak boleh diintervensi banyak pihak. Tidak bisa dipaksa mengikuti orang perorangan atau kelompok tertentu.

Apakah ada lembaga negara setingkat KPU yang diwajibkan konsultasi?

Lembaga-lembaga negara yang setara dengan KPU yang disebut dalam Undang-undang Dasar seperti Bank Indonesia, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, mereka tidak dipersyaratkan konsultasi pada DPR dan pemerintah.

Lebih dari itu, sistem hukum dan sistem pemerintahan presidensil kita memberikan KPU otoritas untuk menyusun peraturan dibawah undang-undang. Kalau aturan KPU itu dipandang tidak sesuai dengan udang-undang, ada mekanisme hukum untuk mengukur akuntabilitas lembaga negara. Ada caranya, yaitu dengan mengajukan judicial review kepada MA untuk menguji dan menilai apakah aturan KPU bertentangan dengan aturan hukum.

Selama ada kata “mengikat” dalam UU Pilkada, apakah KPU bisa mengabaikan hasil konsultasi?

Kalau bunyi undang-undangnya begitu ya tidak bisa diabaikan. KPU bisa mendapat konsekuensi hukum. Misalnya diadukanlah ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena melanggar undang-undang. Maka norma itu yang harus diuji ke Mahkamah Konstitusi.

Apakah KPU sudah mempertimbangkan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi?

Kami sudah mendiskusikannya dalam forum rapat KPU. Setelah diundangkan, KPU akan mengajukan judicial review ke MK.

KPU akan mengajak Bawaslu dan DKPP atau sendiri saja?

Ya tentu kami akan bangun komunikasi dengan Bawaslu, tapi tentu kami tidak terikat.

Beberapa pernyataan dari Bawaslu mengatakan supaya KPU tidak latah dengan judicial review karena KPU sifatnya pelaksana undang-undang?

Kami menyadari kami melaksanakan undang-undang. Ini tidak dalam posisi KPU men-judicial review norma-norma lain, tapi Pasal 9 (a) itu terkait pelaksanaan tugas dan wewenang KPU sebagai lembaga yang dituntut secara independen menyelenggarakan pemilu yang demokratis. Inilah sebetulnya sebuah ijtihad untuk meneguhkan independensi penyelenggara.

Seandainya ditolak oleh MK, apakah KPU akan mengikuti ketentuan DPR?

Kita gak bisa bicara itu dulu, kita lihat nanti. Ini juga sudah pernah diajukan kawan-kawan masyarakat sipil, tapi legal standing nya tidak ada kerugian secara konstitusi. []