Hasil rapat konsultasi antara Panitia Kerja Pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) disikapi dengan mempertahankan Peraturan KPU. Sikap KPU ini bertolak belakang dengan rekomendasi Panja Pilkada. KPU meminta agar dua kelompok dalam partai mengambil jalan damai (islah). Batas waktu yang diberikan, baik inkracht atau islah, adalah sampai masa tahapan pencalonan, yaitu 26-28 Juli 2015. Untuk menilai dan mendapat penjelasan terhadap keputusan KPU dalam kerangka etika penyelenggara, rumahpemilu.org menyatukan pernyataan ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie saat diminta pendapatnya oleh wartawan (7/5).
KPU sudah menyikapi keadaan partai bersengketa di konteks pencalonan pilkada. Bagaimana pendapat mengenai ini?
Keputusan yang diambil KPU sudah tepat. Sebelum mengambil keputusan tersebut, sudah ada dua opsi yang bisa saja dijadikan dasar oleh KPU. Pertama, opsi dari pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menurut Kemenkumham, parpol yang berhak ikut Pilkada adalah yang memiliki Surat Keputusan Menkumham. Akan tetapi, KPU memilih sikap lain karena SK Menkumham terhadap Golkar dan PPP saat ini sedang digugat di pengadilan.
Bagaimana dengan keputusan KPU, yang tak mengakomodir opsi ketiga yang diajukan oleh DPR, yaitu menggunakan putusan pengadilan terakhir sebagai dasar legalitas kepengurusan partai yang sedang bersengketa?
PKPU ini merupakan kewenangan KPU untuk mengatur. Pemerintah maupun DPR tidak bisa mengintervensi atau mendiktekan kemauannya.
Apakah rekomendasi DPR tidak bersifat mengikat?
Memang, mekanisme penyusunan PKPU itu harus dikonsultasikan ke pemerintah dan DPR. Masukan-masukannya wajib didengarkan. Tetapi untuk menetapkan substansi peraturan, tetap ada di tangan KPU sendiri.
Apakah SK Menkumham, yang kemudian disengketakan, bisa dibilang sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk meloloskan kelompok tertentu dalam pendaftaran pilkada mendatang?
Dalam persoalan ini, antara eksekutif dan legislatif telah terjadi perbedaan pendapat. Posisi KPU berada di dua pendapat itu. Dengan keluarnya PKPU, KPU telah berhasil keluar dari keharusan terperangkap dalam dualisme pendapat tersebut.
Sebagai pelaksana undang-undang, apakah tidak ada kewajiban bagi KPU untuk mengikuti saran DPR?
Di sinilah saya melihat KPU telah menunjukkan independensinya. Soal independensi adalah soal etika. Justru kalau KPU tidak independen, bisa masalah, dia. KPU wajib bersikap independen, bersikap netral walaupun dikasak-kusuk oleh pemerintah maupun DPR. Tidak boleh tunduk, karena itu akan melanggar konstitusi dan undang-undang, dan akan berhadapan dengan DKPP.
Apa sanksinya?
Kalau ada yang melaporkan, bisa berat itu. Kalau dia tidak independen, bisa dipecat. Ketua KPU maupun ketua Bawaslu dapat kami berhentikan kalau tidak independen, termasuk dalam membuat peraturan. Jadi jangan main-main! []