Tulisan Ahmad Yani di Media Indonesia pada edisi 4 Juli 2013, harus diperdebatkan. Ada beberapa pendapat, yang substansinya disampaikan Yani secara tidak pas sesuai dengan UU No. 8/2012 yang mengatur penyelenggaraan pemilihan umum legislatif. Persoalan paling krusial adalah, mengatakan bahwa keterwakilan perempuan bukanlah salah satu syarat yang harus dipenuhi partai politik dalam daftar calon anggota legislatifnya. Jika argumentasi ini ditafsirkan secara a contrario, dapat dikatakan bahwa, jika partai politik tidak mengikutsertakan perempuan dalam daftar calon sementara anggota legislatifnya satu orang pun, ini sama sekali tidak ada persoalan.
Ini tentu mengherankan. Ahamad Yani yang juga merupakan mantan anggota Pansus UU Pemilu tersebut, semestinya memahami redaksi yang disebut dalam pasal-pasal yang mengharuskan adanya keterwakilan perempuan di dalam UU No. 8/2012. Pertama, bahasa undang-undang yang ada di dalam Pasal 55, tegas menyebutkan bahwa, Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikti 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Jika dibaca sederhana pun, ini akan dapat dimengerti, bahwa frasa “paling sedikit†di dalam pasal tersebut merupakan suatu keharusan dari partai politik untuk mengikutkan perempuan dalam daftar calon anggota legislatifnya.
Kedua, Pasal 56 ayat (2) menyebutkan, Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Kembali dapat dipahami secara terbuka, frasa “terdapat sekurang-kurangnya†satu orang perempuan dalam bakal calon, adalah bentuk dari keharusan amanat undang-undang, kalau keterwakilan perempuan adalah salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari keikutsertaan pemilu suatu partai politik.
Semangat Perempuan
Gagasan untuk untuk memberi ruang lebih kepada perempuan dalam politik praktis bukan lagi hal baru di Indonesia. Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai negara hukum yang demokratis semenjak terompet reformasi ditiup tahun 1999, mulai menjamin keterwakilan perempuan dalam partisipai politik pada pemilu 2004. Persis saat pemilu pertama pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Adanya jaminan kesamaan kesempatan bagi perempuan dan laki-laki dalam partisipasi politik, adalah konsekuensi logis dari alam demokrasi. Semangat kesamaan ini sudah diperjuangkan pada 1995 dalam sebuah konvensi perempuan di Beijing, China. Dalam sebuah penelitian ilmiah dikatakan bahwa, 180 negara yang menghadiri konvensi tersebut menyetujui harus adanya keseimbangan dan persamaan, antara perempuan dan laki-laki dalam menentukan rumusan suatu kebijakan. Prinsipnya adalah, dengan adanya kesamaan itu, diharapkan dapat memperkuat kehidupan berdemokrasi.
Indonesia sebagai negara yang boleh dikatakan telah melewati “masa remaja†dalam berdemokrasi, terus mendorong keterwakilan perempuan dalam partisipasi politik, bahkan melibatkan perempuan lebih jauh dalam suatu kehidupan politik praktis. Dalam tiga kali pelaksanaan pemilu semenjak reformasi, Indonesia telah mencantumkan angka minimal 30 persen keikutsertaan perempuan dalam daftar calon anggota legialatif suatu partai politik. Memasukkan angka matematis dalam perhitungan keterwakilan perempuan ini, tentu bertujuan memastikan adanya perempuan yang akan menghuni parlemen rakyat setelah dilaksanakannya proses pemilihan umum.
Kesadaran Berpolitik
Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang “harus†dipenuhinya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan oleh partai politik peserta pemilihan umum, semestinya bisa dimaknai sebagai “jaminan†partisipasi perempuan dalam kehidupan politik praktis. Jika dilihat dari sudut pandang kuantitatif, rasio perbandingan jumlah laki-laki dengan perempuan juga menyisakan disparitas di Indonesia. Dalam catatan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, dituliskan bahwa 50,37 persen penduduk Indonesia adalah laki-laki, dan 49,63 persen kaum perempuan.
Angka ini bisa menjadi salah satu indikator, bahwa memang perlu keterwakilan perempuan dalam porsi tertentu untuk menyeimbangkan jalannya demokrasi. Perempuan Indonesia harus segera bisa pro aktif dalam memperjuangkan “kebutuhan†kaumnya. Karena, meskipun prinsip keterwakilan tidak bisa secara penuh disandarkan pada pendekatan gender, namun jika hal itu diperjuangkan langsung oleh perempuan, tentu akan lebih menciptakan suasana kebatinan yang lebih positif.
Evaluasi Partai Politik
Bagi partai politik, ketentuan harus memenuhi keikutsertaan perempuan minimal 30 persen dalam daftar calon anggota legislatif, bukanlah “barang†baru. Sebagaimana sudah disampaikan diawal, pelibatan “kaum hawa†sudah diharuskan peraturan perundang-undangan semenjak pemilu 2004. Dengan fakta tersebut, pemenuhan keterwakilan perempuan, seharusnya bukanlah suatu masalah bagi partai politik di Indonesia. Rentang waktu dari 2004-2014, merupakan waktu yang panjang bagi partai politik untuk mendidik dan menyiapkan kader partainya, terutama kaum perempuan.
Partai politik semestinya sudah punya kader perempuan yang matang, siap terjun ke lapangan ketika pesta demokrasi itu datang. Namun sebaliknya, partai politik justru mengalami kesulitan, dan cendrung menjadikan keharusan 30 persen keterwakilan perempuan sebagai beban yang sulit untuk dipenuhi. Kondisi ini tentu memicu dugaan kuat, bahwa ada persoalan dalam pendidikan dan kaderisasi di tubuh partai politik di Indonesia. Hal tersebut tentu harus dievaluasi. Semestinya partai politik tidak lagi mempersoalkan ketegasan peraturan perundang-undangan, dalam mewajibkan keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif suatu partai politik. Karena kewajiban itu sudah ada semenjak pemilu pada tahun 2004.
Hal utama yang perlu dilakukan oleh partai politik adalah, memperbaiki beberapa titik penting yang seharusnya menjadi fondasi utama partai. Terutama tentu ketersedian kader perempuan yang tangguh, dan mampu memberi keseimbangan dalam desain konsep keterwakilan di lembaga legislatif Indonesia. []
FADLI RAMADHANIL
Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)