November 15, 2024

Khoirunnisa Nur Agustyati: Tiga Isu Krusial UU Pemilu Berdasar Kepentingan Jangka Pendek

DPR dan Pemerintah akhirnya menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu menjadi undang-undang. Dini hari Jumat (21/7), DPR dan Pemerintah mendapatkan kesepakatan bersama, untuk menyetujui UU Pemilu.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyimpulkan (21/7), undang-undang pemilu selesai tanpa perbaikan berarti. Ketentuan sistem kepemiluan yang disepakati lebih mengedepankan kepentingan jangka pendek kekuasaan Pemerintah dan partai politik. Hasil yang rentan digugat ke Mahkamah Konstitusi pun memperpanjang ketakpastian penyelenggaraan pemilu.

Berikut penjelasan deputi Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyti kepada rumahpemilu.org (23/7):

DPR dan Pemerintah menyepakati UU Pemilu di Paripurna. Tanggapan terhadap hasil ini?

Seperti yang kita ketahui. Paripurna lebih fokus pada pilihan lima paket mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden dan empat variabel sistem pemilu DPR-DPRD. Sayangnya, Paket A yang dipilih. Di dalam paket ini, tiga isu krusial UU Pemilu berdasar kepentingan jangka pendek.

Apa saja itu?

Pertama, soal ambang batas pencalonan presiden. Di pilihan ini, yang disepekati adalah ambang batas pencalonan presiden 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara pemilu DPR-DPRD sebelumnya. Jelas ini lebih untuk mengamankan Pemerintahan saat ini menyertakan partai politik koalisi Pemerintah.

Dua isu krusial lain?

Ambang batas parlemen 3,5% malah dinaikan jadi 4% lalu besaran daerah pemilihan 3-10 kursi dipertahankan. Di Pemilu 2014 dengan ambang batas parlemen 3,5% sudah menghasilkan disproporsinalitas yang tinggi dan banyaknya suara terbuang akibat dua partai politik peserta pemilu yang tak masuk parlemen. Dengan besaran dapil 3-10 kursi DPR yang tercipta tetap tinggi fragmentasi partai karena partai parlemen saat ini tak mau terpental keluar parlemen dari hasil Pemilu 2019.

Di luar isu krusial, ada kah hal yang kemudian juga berkepentingan jangka pendek sehingga disimpulkan bukan bentuk dari perbaikan?

UU Pemilu sama sekali tak menyentuh dan memperbaiki peningkatan intergritas penyelenggaraan pemilu. Salah satunya adalah, jumlah minimal sumbangan dari perseorangan dan koorporasi dalam kampanye meningkat dua kali, sementara tidak diikuti dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Selain itu?

UU Pemilu pun mencabut kewenangan KPU dalam membentuk dapil DPRD Provinsi. Dan, lagi-lagi dapil DPR RI masih menjadi lampiran dalam Undang-Undang yang ditentukan DPR. Padahal sejatinya pembentukan dapil menjadi kewenangan KPU dalam rangka menciptakan kesetaraan dan keadilan kontestasi peserta pemilu.

Hingga tahapan Pemilu 2019 nanti dimulai, akan seperti apa dinamika pasca-Paripurna?

UU Pemilu mengamanatkan penyelenggara pemilu memulai tahapan pemilu 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. 20 bulan sebelum pemungutan suara Pemilu 2019 artinya Agustus 2017. Melihat jadwal ini hampir dipastikan penyelenggara pemilu tak dapat memenuhi waktu tersebut. UU Pemilu belum dapat langsung digunakan karena masih menunggu penomoran. Sejumlah hal pun masih belum tuntas seperti lampiran undang-undang yang belum siap. []