Daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) di Pemilu 2014 menjadi pembahasan dalam Sidang Perselisihan Hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Dinilai sebagai masalah karena penerapan DPKTb ada yang tak sesuai dengan dasar hukum yang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Di balik penerapan DPKTb yang tak sesuai aturan, ada hak konstitusi yang tersalurkan.
Memahami substansi persoalan itu, rumahpemilu.org mewawancara peneliti Correct (Constitutional and Electoral Reform Centre), Maheswara. Di 2009 ia bersama pengamat hukum pemilu, Refly Harun mengajukan permohonan di MK mengenai warga berhak pilih untuk tetap bisa memilih meskipun tak tercantum di dafftar pemilih tetap. MK mengabulkan permohonan yang terkait dengan 30 juta pemilih di luar DPT Pemilu 2009. Berikut hasil wawancara dengan Maheswara melalui telepon (13/8).
Latar belakang gugatan ke MK di Pemilu 2009 mengenai warga berhak pilih tapi tak masuk ke daftar pemilih tetap (DPT)?
Tahun 2009 kami bersama Refly melihat ada 30 juta suara rakyat Indonesia yang tak masuk daftar pemilih tetap (DPT). Kesalahan dan masalah DPT belum selesai ditangani. Artinya hak pilih rakyat Indonesia tak tercover dalam DPT. Kami coba untuk mewakili dengan mengajukan judicial review ke MK. Intinya, hak konstitusional warga Indonesia harus diwadahi. Jangan sampai kesalahan penyelenggara pemilu ditanggung rakyat Indonesia yang memilki hak pilih.
Ditemukan komisioner kabupaten/kota yang membolehkan formulir A5 diberikan melebihi batas waktu, bahkan sampai H-1. Apakah ini bisa dibenarkan atas dasar hak konstitusional?
Dari perspektif saya tindakan komisioner tersebut tepat. Kalau kita belajar dari gugatan pilpres Prabowo-Hatta di MK banyak masalah DPKTb dan sebagainya. Yang terpenting adalah mewadahi hak konstitusional masyarakat untuk memilih. Jadi kalau ada kesalahan administrasi yang dilakukan penyelenggara pemilu maka hal itu tidak boleh mengurangi hak konstitusional masyarakat.
Pemilih dalam pemilu hak pilihnya terkait konstitusi dan daftar pemilih, apakah syarat terdaftar di daftar pemilih mengurangi hakikat hak konstitusi pemilih?
Betul sekali. Sekarang ini ada macam-macam peraturan mengenai daftar pemilih. Prakteknya banyak masyarakat Indonesia berhak pilih tidak bisa menggunakan haknya karena mereka tidak membawa A5, mereka tidak ada di DPTb. Penyelenggara pemilu khawatir terjadi kekurangan surat suara. Namun itu tidak boleh dijadikan alasan sama sekali. Lalu di tempat yang lain, kesadaran hak politik semakin tinggi. Mereka sungguh ingin memilih tapi karena peraturan hak pilih hilang begitu saja.
Berarti, bisa dibenarkan komisioner atau petugas lapangan berinisiatif melanggar aturan DPKTb dan A5 atas dasar melayani hak konstitusi?
Betul. Jauh lebih penting melayani hak konstitusional warga Indonesia daripada sekedar mengurusi kekurangan adminsitrasi yang merupakan kesalahan dari penyelenggara pemilu.
Apakah bisa kita simpulkan komisioner atau petugas lapangan itu melanggar kode etik pemilu atau tak profesional?
DKPP bisa menilai sebagai pelanggaran kode etik. Namun bisa dipertanggungjawabkan para pihak karena hak konstitusional. Sejauh terdapat hak mendasar bagi masyarakat untuk memilih itu tak boleh dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik
Secara umum, hal ini lebih disebabkan kesengajaan berdasar perlindungan hak konstitusi, atau lebih disebabkan tak utuh mengerti?
Apapun itu sepanjang mereka memperbolehkan pemilih yang memiliki hak untuk menggunakan hak pilihnya, saya membenarkan. Meskipun untuk saat ini itu belum diatur. Namun ada argumentasi konstitusional jika hal ini dihubungkan dengan permohonan saya dan Refly tahun 2009. Jadi, segala macam alasan yang diberikan penyelenggara pemilu tidak boleh mengurangi hak konstitusional warga Indonesia untuk memilih. Semangatnya seperti itu.
Baiknya bagaimana dengan warga di luar daerah KTP-nya? Bagaimana agar warga ini bisa tetap memilih tapi juga aman kemungkinan pelanggaran?
Perlu ada peraturan yang lebih sistematis dan longgar dari KPU yang intinya mewadahi dua hal. Pertama, meminimalisir kecurangan orang memilih lebih dari satu kali. Kedua, tak membatasi hak warga negara Indonesia untuk memilih. Seperti penggunaan A5 atau DPKTb tadi. Perlu ada lagi ketentuan tambahan, di mana saja sepanjang warga negara Indonesia dalam wilayah hukum Indonesia, sekedar mereka bisa menunjukkan kartu identitas diri, maka mereka punya hak memilih. Ini sangat mungkin tidak ada yang boleh diistilahkan mengacaukan administrasi kepemiluan.
Itu yang menjadi semangat kami dalam pengajuan ke MK tahun 2009. Sehingga ada 30 juta suara rakyat Indonesia yang terselamatkan dengan memakai KTP dan pasport saja atau kartu identitas diri lainnya mereka bisa memilih. Itu yang idenya sudah kami sampaiakan sejak tahun 2009. []