Menjalin Gerakan Demokrasi di Platform Nyata dan Digital

Gerakan demokrasi hari ini tak bisa berjalan mulus tanpa ikut bergerak di platform digital. Sebaliknya, demokrasi digital akan mandek tanpa bergerak di dunia nyata.

September 2014, UU Pilkada melalui DPRD disahkan DPR. Banyak gerakan masyarakat yang muncul menentang pengesahan undang-undang ini. Jalan panjang gerakan masyarakat ini kemudian berhasil mengembalikan pemilihan kepala daerah langsung.

Rapat Paripurna DPR RI 20 Januari 2015 secara resmi memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu No. 1 Tahun 2014) untuk disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan tersebut menegaskan berlakunya kembali pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat

Kembalinya pemilihan kepala daerah tidak langsung menjadi langsung memberi pelajaran bahwa keterjalinan di platform digital dan nyata mampu membuktikan keberhasilan gerakan—mengubah undang-undang secara penuh.

Di platform digital

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menginisiasi petisi Dukung Pilkada Langsung melalui change.org. Sejak petisi digagas dan disebarkan melalui media sosial Facebook dan Twitter, mulai banyak dukungan yang disampaikan oleh masyarakat Indonesia melalui situs petisi online ini.

“Media sosial menjadi basis dukungan yang paling efektif untuk menyebarkan kepada khalayak mengenai isu pilkada langsung ini,” kata Lia Wulandari, penggagas petisi online ini, saat dihubungi (25/4).

Petisi melalui change.org telah menghimpun 118.992 penandatangan. Petisi ini menjadi petisi yang paling banyak pendukung dalam isu politik di change.org. Berbarengan dengan terus meningkatnya penandatangan, tanda pagar atau hashtag di media sosial munculmenyatakan dukungan terhadap pilkada langsung. Sebagai contoh, tagar #ShameOnYouSBY menjadi trending topics di Twitter. Walau sempat lenyap, tagar bernada serupa berulang muncul pada media sosial.

Gerakan ini dinilai tak akan berdaya tanpa gerakan di darat. Penandatanganan petisi atau riuh di media sosial sudah semestinya berjalan beriringan dengan gerakan di dunia nyata.

“Gerakan demokrasi digital tidak bersifat maya—tampaknya ada tetapi nyatanya tidak ada. Gerakan ini ada audience-nya. Dibuktikan dengan wujud audiensi dengan perancang kebijakan dan demonstrasi di jalan,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat diskusi “Strategi Digital dalam Perubahan,” di Jogja National Museum (21/4).

Di platform non-digital

Gerakan di dunia nyata, menurut Titi, bisa ditempuh melalui dua cara. Pertama, membawa riuh perbincangan di media sosial ke dunia nyata dengan aksi dan demonstrasi. Kedua, mendukung upaya-upaya melalui jalur penyampaian aspirasi yang telah tersedia: lembaga legislatif dan eksekutif sebagai hasil pemilu.

Ia merinci, koalisi masyarakat sipil yang turun ke jalan telah menular ke provinsi-provinsi lain di Indonesia. Mahasiswa, kelompok buruh dan tani, kelompok perempuan, akademisi, serta masyarakat umum turut terlibat dalam aksi turun ke jalan.

Tak hanya itu, pada 17 September 2014, Koalisi Kawal RUU Pilkada memberikan petisi dan surat terbuka #DukungPilkadaLangsung kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhyono (SBY) di Istana Negara.

Audiensi juga dilakukan dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). Para kepala daerah tersebut berkumpul di Jakarta untuk merumuskan sejumlah rekomendasi untuk presiden dan DPR dan menyatakan menolak tegas pilkada oleh DPRD.

Ke parlemen, dialog juga terus diintensifkan. Peran strategis legislator sebagai perancang kebijakan tentu tak bisa ditinggalkan.

Jalinan digital dan non-digital

Lia Toriana, Manajer Youth Department Transparency International Indonesia, sempat mencemaskan ketakterhubungan gerakan demokrasi di digital dan nondigital (21/3). “Dulu kita punya masalah menghubungkan yang online dengan yang offline. Sekarang bertambah dengan tak terhubungnya aktivisme kultural demokrasi dengan yang di tataran struktur,” kata Lia.

Ia menyinggung soal gerakan di isu antikorupsi. Gerakan di platform digital melalui tagar #SaveKPK yang lebih bersifat kultural tak terhubung dengan gerakan yang struktural. Gerakan struktural, menurutnya, adalah melalui jalur pemilu dan hasil pemilu. “Kita lupa korupsi bisa diatasi signifikan dengan perbaikan partai dan kepemiluan,” kata Lia.

Titi Anggraini menegaskan bahwa platform digital sebaiknya diposisikan sebagai metode lain dari upaya perbaikan besar dan demokratisasi yang dilakukan. Senada dengan itu, Arief Aziz, Direktur Change.org Indonesia, menganggap bahwa gerakan di dunia digital adalah metode lain dari advokasi besar yang tak bisa dihindarkan pada era siber sekarang ini. “Petisi dibuat untuk melengkapi advokasi besar yang dijalankan. Online petition hanya metode kampanye yang lain saja. Ide dikontestasikan di dunia maya. Mana yang lebih didukung banyak orang. Tapi belum tentu petisi yang banyak berhasil dan yang sedikit itu gak berhasil,” kata Arief.

Arief menegaskan, keberhasilan itu ditentukan oleh gerakan di dunia nyata melalui jalur kultural dan struktural. Gerakan di dunia digital terlalu cair. Karakternya yang cepat membuat konsistensi orang terhadap satu isu mudah teralihkan.

Karakter inilah yang kemudian memunculkan istilah yang kini disebut sebagai slacktivism atau armchair activism. Dengan satu klik, orang merasa cukup terlibat dalam membantu sebuah gerakan. Yohanes Widodo, dosen Universitas Atmajaya Yogyakarta, pada diskusi “Perebutan Media Baru untuk Demokrasi” mengatakan bahwa keadaan ini berimplikasi justru memperlemah gerakan.

Gerakan demokrasi digital hadir seperti pisau bermata dua. Di satu sisi platform ini menyuguhkan kemudahan menyebarkan ide, mengorganisasi, dan memobilisasi masa. Di sisi lain, demokrasi digital—tanpa didukung demokrasi di dunia nyata—justru berpotensi melemahkan gerakan.

Mengandalkan demokrasi di dunia digital tanpa mendukung dan malah mengeksklusi upaya demokratisasi dengan reformasi elektoral dan hasil elektoral (partai) hanya akan membuat gerakan berhenti pada kemandekan. “Intinya, kerja mesti berbarengan,” ungkap Titi.

MAHARDDHIKA