Pemilu serentak (concurrent elections) bertujuan memperbaiki sistem pemerintahan presidensial. Tapi, sistem kepemiluan yang dituang dalam UU No.7/2017 menjadi paradoks. Keinginan agar pencalonan presiden atau keterpilihan presiden mutlak menjadi milik rakyat sebagai pemilih menjadi jauh panggang dari api.
Secara teknis, pemilu serentak berfungsi mengoptimalkan efek menarik kerah (coattail effect). Jika pemilih diberikan pilihan presiden dan partai secara bersamaan, daya tarik presiden akan berefek terhadap pemilih untuk juga memilih partai pengusung presiden. Sehingga, semakin menyatu teknis kepemiluannya, pemilu serentak akan menghasilkan pemerintahan presidensial yang menyatu dengan dukungan parlemen.
Tapi, UU No.7/2017 malah tak mengoptimalkan fungsi coattail effect itu. Karena, sebelum dan sesudah dicalonkan, variabel sistem kepemiluan membuat parpol parlemen begitu kuat berwenang menentukan siapa yang mencalonkan dan siapa yang mungkin terpilih. Menjadi tak seperti sistem presidensial dengan pemilu presiden langsung. Menjadi seperti pemerintahan parlementer saat apa-apa ditentukan oleh parpol di parlemen.
Ambang batas pencalonan presiden
Ambang batas pencalonan presiden menjadi paradoks pertama presidensialisme Indonesia dalam UU No.7/2017. Mempertahankan syarat kepemilikan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara Pemilu DPR sebelumnya berarti terus mempertahankan terputusnya hubungan langsung calon presiden dan (nantinya) presiden terpilih kepada rakyat. Artinya, elektabilitas parpol yang menentukan pencalonan dan elektabilitas calon presiden.
Padahal seharusnya dalam sistem presidensial yang memang menyediakan pemilu presiden secara langsung, elektabilitas presiden yang menentukan elektabilitas parpol. Efek tarikan mantel (coattail effect ) adalah milik calon presiden, bukan milik parpol. Jokowi effect menarik elektabilitas PDIP, bukan sebaliknya, dan tak PDIP effect terhadap Jokowi. Prabowo effect menarik elektabilitas Gerindra, bukan sebaliknya, dan taka da Gerindra effect terhadap Prabowo.
Syarat kepemilikan 20 persen kursi atau 25 persen suara mengesampingkan aspirasi rakyat terhadap sosok pemimpin. Elektabilitas sosok berkecenderungan diabaikan jika parpol tak menyukai sosok tersebut lalu menutup jalur pencalonan melalui parpol. Akhirnya, jangankan pemilih bisa punya pemimpin idaman yang terpilih, menjadi calon saja tak bisa karena harus melalui parpol.
Selama masih ada ambang batas pencalonan presiden, selamanya presiden terpilih punya hutang budi terhadap parpol yang mengusung nya sebagai calon. Keterhubungan dan tanggungjawab presiden kepada rakyat sebagia pemilih menjadi tak langsung. Padahal presiden dipilih langsung rakyat bukan melalui anggota fraksi parpol dalam parlemen.
Besaran dapil 3-10
Paradoks kedua adalah besaran daerah pemilihan (dapil) yang masih besar. UU No.7/2017 mempertahankan besaran dapil pada UU No.8/2012. Padahal, kursi 3-10 per dapil menghasilkan fragmentasi tinggi di DPR. Pemilu akan kembali menghasilkan 10 parpol di DPR dengan fragmentasi parlemen yang juga tinggi.
Hasilnya, Pemilu 2014 mirip dengan Pemilu Brasil 2014. PDIP sebagai partai pengusung presiden Joko Widodo hanya punya 109/560 (19%) kursi. 81% kursi DPR lainnya dimiliki 9 partai selain PDIP. Fragmentasi parlemen bernilai ENPP 8,2 merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah seiring makin lemahnya pengakaran ideologi partai (party-ID).
Banyak kursi tiap dapil memelihara kutukan presidensial multipartai, meski pemilu sudah serentak. Yang terjadi di Brasil dan Indonesia melanjutkan pembuktian pendapat Scott Mainwaring (1992) bahwa negara-negara presidensial multipartai tak akan berjalan baik (immobilism) karena pemerintahan sangat sulit berkebijakan dengan keadaan parlemen tak kondusif. Eric C.C. Chang dan Miriam A. Golden (2005) menguatkan, terlalu banyak kursi tiap dapil menghasilkan pemerintahan buruk karena rentan korupsi.
Memilih caleg, bukan partai
Paradoks ketiga adalah UU No.7/2017 menerapkan kembali sistem pemilu proporsional daftar calon (candidate-list/open-list proportional representation). Sistem proporsional daftar terbuka ini tak efektif mengoptimalkan efek menarik kerah pemilu serentak.
Gambarannya begini: jika pemilih disodorkan pilihan presiden dan pilihan partai menyertakan daftar caleg, maka ada kecenderungan pilihan presiden tak sesuai dengan pilihan partai yang mencalonkan presiden karena pemilih memilih caleg berdasarkan kualitas caleg bukan kualitas partai/presiden. Kecenderungan ini tetap terjadi meski pemilu diserentakan.
Itu terjadi dengan Joko Widodo yang diusung PDIP. Efek Jokowi tak optimal bukan hanya karena pemilu presiden dan partai dipisah tapi juga karena di pemilu partai pemilih ditawarkan pilihan caleg. Efek Joko Widodo dalam survei prapemilu memang menarik elektabilitas PDIP 30-an% tapi angka ini berdasar pada pertanyaan “pilih partai apa di pemilu (bukan pilih caleg siapa)?”.
Kenyataannya, PDIP hanya meriah suara 18%. Jika 2014 pemilu serentak, Jokowi efek tetap tak optimal jika menggunakan pemilu proporsional daftar terbuka. Karena pemilih besar kemungkinan memilih di Pemilu DPR berdasar sosok caleg, bukan sosok presiden atau visi-misi parpol.
Variabel sistem pemilu yang dipilih Indonesia mirip dengan yang diterapkan Brasil dalam pemilu serentaknya. Keterbelahan pemerintahan melancarkan upaya pemakzulan Dilma. Padahal, Brasil menggunakan presidensial yang tujuannya menciptakan periode jabatan presiden yang tetap.
Sayangnya, tragedi presidensial Brasil tak jadi pelajaran pemangku kepentingan regulasi pemilu serentak Indonesia. Indonesia mengulang kesalahan Brasil merancang pemilu serentak sehingga pemilu cuma berubah menjadi serentak dan lebih kompleks, tak lebih. []
USEP HASAN SADIKIN