November 15, 2024

Perludem: UU Pemilu Selesai Tanpa Perbaikan Berarti

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyimpulkan (21/7), undang-undang pemilu selesai tanpa perbaikan berarti. Ketentuan sistem kepemiluan yang disepakati lebih mengedepankan kepentingan jangka pendek kekuasaan Pemerintah dan partai politik. Hasil yang rentan digugat ke Mahkamah Konstitusi pun memperpanjang ketakpastian penyelenggaraan pemilu.

DPR dan Pemerintah memang akhirnya menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu menjadi undang-undang. Dini hari Jumat (21/7), DPR dan Pemerintah mendapatkan kesepakatan bersama, untuk menyetujui UU Pemilu.

Pengambilan keputusan akhir UU Pemilu diwarnai aksi walkout empat fraksi partai politik. Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Fraksi Partai Demokrat tak setuju dengan tren Paripurna yang memilih Paket A.

Paket A merupakan pilihan lima isu krusial mengenai ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden dan variabel sistem pemilu DPR dan DPRD. Rinciannya: 1) ambang batas pencalonan presiden 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara pemilu DPR-DPRD sebelumnya; 2) ambang batas parlemen 4%; 3) sistem pemilu DPR-DPRD proporsional terbuka; 4) besaran daerah pemilihan 3-10 kursi; dan 5) metode konversi suara menjadi kursi saint lague.

Melalui rilis persnya (21/7), Perludem menyatakan beberapa catatan sebagai berikut:

Pertama, UU Pemilu yang baru disahkan tidak memberikan perbaikan terhadap bangunan sistem politik dan dasar hukum penyelenggaraan pemilu kedepan. Perdebatan panjang hanya berkisar kepada kepentingan jangka pendek partai politik saja.

Perdebatan lima isu krusial yang disepakati Paripurna memilih Paket A berdasar kepentingan jangka pendek. Tiga isu krusial yaitu dari Paket A yaitu, ambang batas pencalonan presiden 20 atau 25%, ambang batas parlemen 4%, dan besaran daerah pemilihan (dapil) 3-10 kursi, sulit dibantah hanya berorientasi kepentingan Pemilu 2019.

Kedua, UU Pemilu sama sekali tak menyentuh dan memperbaiki peningkatan intergritas penyelenggaraan pemilu. Salah satunya adalah, jumlah minimal sumbangan dari perseorangan dan koorporasi dalam kampanye meningkat dua kali, sementara tidak diikuti dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Ketiga, UU Pemilu mencabut kewenangan KPU dalam membentuk dapil DPRD Provinsi dan lagi-lagi dapil DPR RI masih menjadi lampiran dalam Undang-Undang. Padahal sejatinya pembentukan dapil menjadi kewenangan KPU dalam rangka menciptakan kesetaraan dan keadilan kontestasi peserta pemilu.

Keempat, UU Pemilu belum disertai dengan lampiran yang memuat dapil. Tingkat dapil di nasional dan provinsi tanpa penggambaran dan penyesuain jumlah penyelenggara pemilu.

Keenam, UU Pemilu yang baru disahkan mengamanatkan kepada penyelenggara pemilu untuk memulai tahapan pemilu 20 bulan sebelum hari pemungutan suara (Pasal 167 ayat (3)). 20 bulan sebelum pemilu artinya adalah Agustus 2017 (hal ini berdasarkan kesepakatan pembahasan RUU Pemilu yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 adalah pada bulan April 2019).

Melihat jadwal itu hampir dipastikan penyelenggara pemilu tidak akan dapat memenuhi waktu tersebut. UU Pemilu belum dapat langsung digunakan karena masih menunggu penomoran. Sejumlah hal pun masih belum tuntas seperti lampiran undang-undang yang belum siap.

Dari lima isu krusial yang disepakati melalui Paket A ada satu perbaikan. Metode konversi suara yang dipilih tak lagi kuota Hare melainkan Sainte Lague. Metode Sainte Lague akan lebih menghasilkan konversi suara ke kursi yang lebih adil.

Di Pemilu DPR-DPRD 2014, kuota Hare menjadi satu sebab tak proporsionalnya hasil pemilu. Metode Sainte Lague lebih baik karena lebih mungkin menghindari bias antara perolehan suara dengan perolehan kursi. []