December 9, 2024

Pipit Kartawidjaja: Daftar Terbuka Tak Cocok dengan Pemilu Serentak

Pengamat pemilu, Pipit Kartawidjaja merupakan satu dari sedikit orang Indonesia yang di fase awal Reformasi sudah berperhatian dengan sistem pemilu. Lelaki yang berdomisili Jerman ini masih memperhatikan pemilu Indonesia salah satunyanya dengan analisa matematika pemilu. Kolomnya soal hitung-hitungan syarat dukungan calon perseorangan mengisi di salah satu media online.

Kedatangan Pipit ke Indonesia dimanfaatkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) untuk berdiskusi perihal aktual pemilu Indonesia. Berikut sebagian yang dicatat rumahpemilu.org dalam tanya jawab diskusi yang berlangsung di Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu, Jakarta Selatan (8/4).

Pemilu serentak apa memang disain yang harus kita pilih? Tak adakah pilihan lain yang memang murni pengalaman Indonesia?

Ya harus serentak. Indonesia ini sudah pilih pemilu presiden langsung. Pilihannya harus dengan pemilu serentak. Kalau tak serentak, akan gaduh terus. Diserentakan agar kegaduhan bisa lebih dikelola. Serentak ini maksudnya, menggabungkan pemilu eksekutif dengan pemilu legislatif. Penggabungan ini sangat mungkin menciptakan hasil pemilu yang partai pemenang pengusung presiden terpilih merupakan partai mayoritas di parlemen. Pemerintahan presidensial yang kuat membutuhkan keadaan hasil pemilu ini.

Tujuan pemilu serentak hanya itu?

Menyerentakan juga berarti bisa menghasilkan fase koreksi bagi pemerintahan presidensial. Kelebihan sistem pemerintahan presidensial adalah adanya periode jabatan presiden yang pasti. Biasanya empat atau lima tahun. Indonesia lima tahun. Tapi periode yang pasti ini juga kelemahan presidensial. Kalau presidennya ngawur ya harus tunggu sampai jabatannya habis. Tak bisa diturunkan, kecuali melanggar hukum.

Nah, di tengah periode jabatan presiden itu baiknya diselenggarakan pemilu serentak lokal. Warga jadi punya hak mengoreksi presiden tanpa harus menunggu lima tahun. Jika tak memuaskan, presiden dan partai pengusungnya bisa dihukum di pemilu serentak lokal, dengan memilih calon dan partai lain di semua tingkat daerah. Tapi jika kinerja presiden memuaskan, pemilu serentak daerah akan memperkuat relasi pusat dan daerah.

Fase serentak nasional dan lokal pun menjaga nyawa demokrasi. Partisipasi elite politik dan warga jadi bersiklus sehingga baik untuk menentukan, kapan jor-joran dan kapan konsolidasi. Kalau setiap tahun atau setiap bulan ada pemilu kan capek dan warga jadi bosan. Demokrasi dengan pemilunya bisa tak disukai, bisa kehilangan nyawa.

Bagaimana dengan sistem pemilunya?

Nah, di situ kita bisa otak-atik. Tapi saya berpendapat, daftar tebuka tak cocok dengan pemilu serentak. Dulu, sebelum pemilu serentak, saat pertama kali Indonesia sudah pilih presiden langsung 2004, saya sudah tulis, daftar terbuka untuk Indonesia bikin pemilunya semrawut. Ya kalau pemilu serentak juga kita pakai sistem daftar terbuka, ya tambah semrawut kayak di Brasil.

Dengan mengecilkan dapil dari 3-10 jadi 3-6, tetap semrawut?

Dapilnya 3-6, emang partainya mau dikurangi berapa? Partainya tetap banyak. Partainya 10. Tiap partai calegnya ada enam. Surat suaranya tetap besar, kayak handuk—maksudnya bisa menutupi tubuh. Pemilih tetap pusing. Lah ini di pemilu serentak tambah surat suara pemilu presiden.

Selain soal teknis itu, apa dasar lain untuk tak memakai sistem pemilu daftar terbuka pada pemilu serentak?

Tujuan pemilu serentak untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang didukung partai mayoritas di parlemen. Kalau kita pakai sistem daftar terbuka, tujuan pemilu serentak lebih mungkin tak tercapai. Sebab, pemilih bisa memilih calon dari partai A. Tapi presiden yang dia pilih dari partai B.

Kesemrawutan sistem daftar terbuka pun lebih sulit dalam penanganan politik uang. Di Brasil politik uang dihambat sebegitu rincinya oleh undang-undang. Akhirnya, yang muncul politik viagra dan kondom. Caleg bagi-bagi viagra dan kondom karena tak ada larangan di undang-undang. Nanti kita tak tahu, politik bagi-bagi apa lagi.

Tujuan sistem daftar terbuka untuk mendekatkan calon kepada rakyat sebagai pemilih, meningkatkan akuntabilitas dewan. Bukan kah itu bagus?

Calon DPR RI terpilih itu jumlah suaranya bisa ratusan ribu. Mau dekat ke rakyat kayak apa? Ngurus dapil diminta benerin jembatan. Bagusin aspal jalan. Urusannya apa? Tak nyambung. Tugas DPR RI ya legislasi. Bikin undang-undang yang bagus.

Tak ada argumentasi yang bisa diterima untuk daftar terbuka di pemilu serentak?

Kalau tujuannya mendekatkan dewan/caleg kepada rakyat, ya bangun partai dari bawah. Saya dari dulu setuju dan terus berpendapat soal partai lokal. Mulailah partai bertarung dari pemilu lokal. Dari kabupaten/kota. Di pemilu lokal bisa kita coba daftar terbuka. Di pemilu lokal pemilih bisa mungkin dekat dengan caleg/dewan terpilih. Bisa dicoba dulu di satu atau beberapa daerah.

Di Indonesia ini ngawurnya apa-apa dicoba langsung senasional. Sistem daftar terbuka yang semrawut itu, langsung dicoba senasional padahal Brasil udah jadi contoh buruk dan terus berusaha untuk pakai daftar tertutup. Ini soal sistem. Soal lain ada e-voting. Pengennya langsung dicoba senasional lagi. Padahal banyak negara udah meninggalkan e-voting. Waduh, semrawut! []