Perubahan radikal pascareformasi terhadap sistem pemerintahan, dari parlementer ke presidensial, dinilai tanpa didasari argumen mendalam. Akibatnya, konstitusi tidak seimbang mengatur sistem pemilu yang berkaitan dengan sistem pemerintahan. Pemilihan presiden didesain, sementara pemilu legislatif bak diberi cek kosong.
Saldi Isra, pakar hukum tata negara Universitas Andalas, menilai perlu pendalaman sistem pemilu dan kaitannya dengan sistem pemerintahan dalam konstitusi. Ini penting untuk mengatasi masalah bawaan sistem presidensial—pemerintahan cenderung tak didukung kekuatan parlemen. Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan Saldi Isra usai seminar “Memperkuat Presidensialiseme Multipartai di Indonesia†di Kampus FISIP UI, Depok (12/2).
Bagaimana perdebatan perancang konstitusi dalam proses mengubah sistem pemerintahan?
Yang terjadi ketika itu, tidak ada debat yang mendalam soal yang terkait dengan pilihan atas sistem pemerintahan. Hampir tidak ada basis argumentasi yang muncul dari pengubah konstitusi mengapa kita mempertahankan sistem presidensial dan menolak parlementer. Saya berani bilang begitu karena saya baca detail risalah pembentukan konstitusi itu.
Lalu apa landasannya?
Alasan yang muncul hanya menyatakan bahwa dulu sistem parlementer pernah gagal tahun 50-an. Ketika itu, para ahli ilmu politik tidak menjelaskan, parlementer gagal di tahun 50-an karena dibangun tidak dengan pemilu. Pemilu tahun 1955 setelah parlementer itu porak poranda hampir sepuluh tahun. Jadi tidak mungkin kita bisa menghakimi praktik parlementer 1946-1959 itu dengan melihat praktik yang terjadi itu.
Apa masalah bawaan presidensial multipartai yang luput diatur konstitusi?
Dual mandat, dual legitimasi, sebetulnya jadi problem akut dalam sistem presidensial. Klaim mandat itu selalu dipertarungkan. Sebetulnya dalam praktik, yang terjadi adalah siapa yang paling efektif mengelola mandat itu. Desain konstitusi harus pas mengatur ini.
Pengalaman selama ini?
Dengan sistem presidensial yang selalu ada ketegangan eksekutif-legislatif, memperbanyak ruang pertemuan itu juga masalah. Coba bayangkan saban waktu menteri harus hadir di parlemen. Desain konstitusi kita begitu.
DPR juga mengikuti dengan cara tidak jujur. Pasal 20 soal legislasi mengatakan bahwa tiap rancangan UU itu dibahas oleh presiden dan DPR. Tapi yang terjadi dalam praktik, dibahas oleh presiden tapi kemudian pemerintah harus berhadapan dengan fraksi-fraksi.
Kalau konteks pasal 20, mestinya DPR melakukan pembahasan internal terlebih dahulu. Jadi kalau ada RUU dari pemerintah yang mau dibahas, secara internal mereka harus bahas dulu sehingga yang muncul adalah DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) DPR, bukan seperti hari ini yang muncul adalah DIM fraksi-fraksi. Akhirnya yang terjadi presiden atau pemerintah berhadapan dengan 9 atau 10 RUU dari fraksi-fraksi.
Tapi bukankah posisi presiden kuat dan bisa menolak rancangan undang-undang?
Dalam sistem presidensial kita, dalam menjalankan fungsi legislasi itu, presiden kita memang posisinya lebih kuat. Secara konstitusi ada lima tahap mulai dari pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan pengundangan. Dan ini hanya presiden yang punya. DPR hanya punya tiga: mengajukan, membahas, menyetujui, yang dua lagi tak akan pernah dimiliki DPR. Tapi, dalam praktik, presiden lemah.
Belajar dari Brasil, Presiden Lula mengeluarkan lebih dari 2000 dekrit…
Itu secara teoritis disebut salah satu upaya presiden dalam mengatasi kebuntuan hubungan dengan partai. Presiden akan mengeluarkan dekrit. Tidak ada jalan lain. Dalam sistem kita aneh. Ada dekrit itu, tapi harus persetujuan DPR. Sama dengan tidak.
Lalu bagaimana seharusnya konstitusi mengatur hubungan eksekutif-legislatif ini?
Ini poin yang harus dikaji: efektif mana legislasi Indonesia dibanding veto seperti Amerika yang presiden menunggu di ujung saja. Kalau anda tidak memperhitungkan kepentingan eksekutif, anda harus siap UU tidak disetujui presiden. Desain konstitusi kita harus ada bahasan komprehensif dengan segala konsekuensi pilihan.
Perlukah menyematkan sistem pemilu dalam konstitusi untuk mengatasi hubungan eksekutif-legislatif ini?
Kita perlu membuat aturan pemilu yang lebih seimbang. Soal pilpres diatur konstitusi, pileg yang minimal juga harus diatur konstitusi. Kalau misalnya konstitusi mendesain pilpres, mestinya dalam konteks konstitusi juga harus mendesain model pemilu legislatif. Konstitusi tidak melakukan itu. Cek kosong untuk pileg.
Kalau kita tetap mau mempertahankan presidensial, itu harus ada kajian yang komprehensif: desain bagaimana yang harus dipertahankan, desain yang bagaimana yang harus dibentuk. Sehingga, itu harus terakomodasi di dalam perumusan konstitusi.
Bicara sistem pemerintahan, harus secara adil membicarakan relasi antara eksekutif dan legislatif. Kalau tidak, jumpalitan politisi itu akan diatur dalam UU. Itu sangat bergantung pada kepentingan mereka. Yang terjadi hari ini seperti itu.
Jika perlu, kalau gagasan itu dimunculkan, kita siapkan UU yang mengikuti pengaturan konstitusi. Jangan sampai berbeda yang diamanahkan di konstitusi. Saya kira memerlukan lima sampai delapan pemilu itu tidak perlu. Kita bisa berenang dalam sistem yang hari ini agak sulit memindahkan ke parlementer. []