November 15, 2024

Syamsuddin Haris: Dalam Mekanisme Presidensil Semuanya Tergantung Presiden

Masuknya Partai Amanat Nasional dan Partai Golongan Karya ke koalisi Pemerintah seiring reshuffle kabinet mengingatkan rencana Pemilu Serentak 2019. Penggabungan pemilu eksekutif dan legislatif dalam satu waktu pemilihan bertujuan menghasilkan pemerintahan terpilih yang efektif karena didukung partai mayoritas di parlemen sejak terpilih. Harapannya, koalisi partai pemerintah terjadi lebih dini dan relatif permanen. Kepada pakar ilmu politik, Syamsuddin Haris, rumahpemilu.org bertanya mengenai prospek efektivitas sistem presidensil Joko Widodo pasca-reshuffle dan perbandingannya dengan konsep pemilu serentak.  Berikut hasil wawancara yang dilakukan jurnalis rumahpemilu.org, Setiawan Wibowo melalui telepon (6/8).

Merujuk realita politik di Indonesia yang presidensil dan multipartai, lebih baikkah pemerintahan pasca-reshuffle?

Kita masih akan lihat. Sebab bagaimanapun pemerintahan hasil kabinet jilid 2 ini masih akan menyelesaikan masa 3 tahun kedepan. Yang jelas ada upaya dari Presiden Joko Widodo meningkatkan kinerja kabinet, meminimalkan kegaduhan, dan meningkatkan konsolidasi internal.

Presiden Jokowi mencoba menambah koalisi dengan memasukkan Golkar dan PAN. Ini bisa membuat pemerintah lebih efektif?

Presiden Jokowi tampaknya masih membutuhkan dukungan partai politik di parlemen supaya kebijakan pemerintahan tidak diganggu partai di parlemen. Memang ini konsekuensi dari reposisi PAN dan Golkar yang semula menjadi koalisi oposisi di parlemen sekarang bergabung menjadi partai pendukung pemerintah. Konsekuensi Presiden Jokowi harus mengakomodasi mereka di kabinet meskipun sebetulnya tidak harus demikian. Ini soal upaya membangun saling percaya antara partai dengan pemerintah.

Melihat koalisi partai yang sangat cair, apakah komitmen dari partai koalisi bisa diharapkan?

Koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK basisnya lemah. Sebab, lebih didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek. Di sisi lain tidak ada kesepakatan politik yang sifatnya mengikat antara Presiden jokowi dengan partai pendukung maupun pengusungnya di awal dulu. Konsekuensi dari situasi ini, tidak ada jaminan partai-partai politik pendukung dan pengusung akan konsisten betul-betul mendukung Jokowi-JK sampai 2019. Itu yang harus disadari Jokowi-JK. Tidak ada ikatan kesepakatan tertulis yang dibuat. Jika nanti ada kebijakan pemerintah yang dianggap atau dinilai tidak berpihak kepentingan publik atau yang tidak sesuai kepentingan partai pendukung, tidak mustahil itu akan digugat di parlemen.

Sistem presidensil yang kita anut berkonsekuensi kabinet berkarakter partai, bagaimana dengan menteri dari kalangan profesional?

Kita musti sepakati dulu istilah profesional itu sendiri. Sebab agak sulit memang “menghitamputihkan” yang profesional di satu pihak dan yang politisi di pihak lain. Bisa saja profesional itu berasal dari politisi atau diusulkan partai. Sebetulnya ada upaya dari Jokowi membentuk kabinet ahli atau kabinet profesional,tapi upaya itu memang harus diakui tidak maksimal dilakukan sehingga lagi-lagi hitungan politik menjadi cukup dominan. Masuklah PAN dan Golkar yang membuat sebagian besar partai di senayan atau DPR pusat sekarang menjadi partai pendukung Jokowi-JK. Tinggal PKS, Gerindra, dan Partai Demokrat saat ini yang berada di luar pemerintah.

Baru dua tahun pemerintahan, Presiden sudah dua kali melakukan reshuffle. Sebenarnya ada cara rekayasa sistem pemilu untuk menghindari hal ini?

Dalam mekanisme presidensil semuanya tergantung presiden. Hal ini juga sesuai sistem konstitusi kita. Yang ingin saya katakan adalah mestinya presiden membatasi koalisi pendukung pemerintahan seminimal mungkin, bukan semaksimal mungkin. Lebih pada bagaimana supaya basis kabinet presidensil bukanlah multipartai ekstrim. Sebab asumsinya makin sedikit partai politik di pemerintahan potensi transaksionalnya makin minim. Nah untuk menghasilkan kabinet dengan multi partai yang moderat semacam itu dibutuhkan sistem pemilu yang menyederhanakan partai pula.

Dengan pengaturan tertentu pada  pemilu serentak  2019, apakah ada kemungkinan mengkondisikan koalisi lebih awal dan relatif lebih permanen?

Secara teori bisa. Sebab pemilu legislatif nasional dan pemilu presiden itu kan dilakukan bersamaan. Konsekuensi dari keserentakan pemilu presiden dan pileg itu bahwa koalisi itu dijajaki di awal jauh sebelum pemilu presiden dan pemilu legislatif dilakukan. Secara teori penjajakan itu  mestinya didasarkan pada kesamaan visi atau platfrorm politik. Namun kita tidak tahu apakah nanti dalam kenyataan bisa demikian. Tapi mau tidak mau dengan keserentakan itu partai dipaksa berkoalisi bahkan sebelum hasil pileg diketahui masing-masing pihak.

Sekretariat Kodifikasi menyarankan setiap partai bisa mencalonkan presiden, tapi bukannya hal seperti itu mengurangi kemungkinan koalisi sejak dini?

Sebetulnnya tidak juga sebab penjajakan koalisi itu tidak semata-mata dalam konteks pencalonan presiden. Tapi juga dalam konteks koalisi yang sungguh-sungguh bersifat permanen. Itu artinya tetap terbuka peluang terbentuknya koalisi di antara partai-partai walaupun semua partai berpeluang untuk mengajukan calon presiden. Kenapa demikian? Sebab setiap partai tahu tanpa berkoalisi dia tidak mungkin menguasai mayoritas di parlemen. Tanpa berkoalisi partai sudah tahu tidak mungkin membentuk kabinet yang bisa memiliki basis politik yang luas di parlemen.

Dengan sistem pemilu presiden kita yang dua putaran apa tidak ada kemungkinan pada putaran pertama partai politik akan coba-coba untuk mengajukan calonnya?

Iya, tidak ada masalah. Saya pikir dengan mekanisme dua putaran yang dianut konstitusi kita pada tahap atau putaran pertama sangat mungkin cukup banyak pasangan calon yang maju pada pemilu presiden. Bagi saya tidak masalah karena ini akan memberikan kesempatan pada publik memiliki lebih banyak pilihan ketimbang katakanlah hanya ada dua atau tiga pasangan calon sejak awal. Jadi tidak ada masalah.

Dalam sistem presidensil koalisi dan susunan kabinet sangat bergantung kepada sosok presiden. Bagaimana evaluasi terhadap Presiden SBY dan Presiden Jokowi yang sama-sama melakukan reshuffle?

Koalisi politik Presiden SBY jauh lebih luas dibanding koalisi Presiden Jokowi. Sayangnya, SBY tak mengkapitalisasi dukungan politiknya. Koalisinya jumbo tetapi pemerintahan biasa-biasa saja, tidak begitu efektif. Dibanding Presiden Jokowi sebetulnya tuntutan terhadap kapitalisasi dukungan politik koalisi parta pendukung Jokowi tidak setinggi tuntutan pada masa SBY. Sebab, pada masa Jokowi sekali lagi tidak ada kesepakatan politik yang mendasari ikatan koalisi. Hanya saling percaya saja, semacam gentlement agreement di antara partai-partai dengan Jokowi-JK. Ini ada untungnya tapi ada ruginya juga. Untungnya, tidak ada kewajiban bagi Jokowi mengkompensasi dukungan. Ruginya, sewaktu-waktu para pendukung bisa meninggalkan Jokowi-JK, tidak ada sanksinya. []