August 8, 2024

Syamsuddin Haris: Pasca-Reformasi Perubahan Sistem Politik Tak Jelas

20 tahun Reformasi Indonesia belum menghasilkan sistem politik yang mapan. Pergantian sistem politik menyertakan sistem pemilu lebih banyak bersifat coba-coba dibanding penataan perbaikan untuk kemapanan sistem. Hingga di pemilu nasional kelima pasca-Reformasi nanti pada 2019, Indonesia pertama kalinya akan menerapkan sistem presidensial yang pemilunya menggunakan desain pemilu serentak.

Bagi para aktor yang terlibat merancang pemilu serentak, rekomendasi sistem politik Indonesia adalah penguatan sistem pemerintahan presidensial. Tapi, bagaimana pilihan ini dalam pertimbangan sistem politik lain, seperti parlementer misalnya? Berikut penjelasan Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bidang politik, Syamsuddin Haris dalam diskusi di Jakarta (6/5):

Pilihan penguatan presidensial untuk pemerintahan efektif sering dikemukakan dalam rekomendasi pemilu serentak. Apakah kita sudah menutup kemungkinan untuk menerapkan sistem parlementer?

Iya. Saya orang yang ragu Indonesia bisa kembali ke parlementer. Sehingga pilihan yang mungkin adalah memperbaiki sistem politik dengan memperkuat sistem presidensial.

Mengapa?

Banyak dari kita menstigma sistem parlementer itu buruk. Stigma ini dibentuk pengalaman masa lalu. Dibilang, sistem parlementer kabinetnya terlalu sering jatuh bangun sehingga pemerintahan tak jelas.

Ada upaya dari kalangan akademisi untuk mengklarifikasi stigma buruk terhadap sistem parlementer?

Dalam sejumlah disertasi yang menjelaskan proses amandemen konstitusi, tak ada yang menjelaskan mengapa Indonesia tak memilih sistem parlementer dengan perbaikan. Tak ada juga perdebatan mengapa kita memilih presidensial. Para pihak yang menyarankan untuk memilih presidensial karena alasan mekanisme check and balances yang traumatik terhadap parlementer pasca-Pemilu 1955 dan otoritarian Orde Baru.

Keadaan sistem politik sekarang tepatnya seperti apa?

Bisa dibilang, sejak pasca-Reformasi perubahan sistem politik tak jelas. Obsesinya presidensial. Tapi, tingkah lakunya parlementer. Presidensial cita rasa parlementer.

Lalu bagaimana?

Kalau ada kesempatan amandemen konstitusi, saya pikir selain penguatan presidensial, pilihan lainnya semipresidensial. Jadi, presiden tetap dipilih rakyat secara langsung, tapi sebatas simbol. Jalannya pemerintahan, ditangani perdana menteri yang dipilih anggota parlemen hasil pemilu legislatif.