November 15, 2024

Syamsuddin Haris: Pemilu Nasional dan Lokal Menjanjikan Pemerintahan Efektif

Konstitusi mengamanatkan bentuk sistem pemerintahan presidensial. Sistem ini tetap bertahan di tengah tantangan berupa betapa sulitnya membangun koalisi dalam sistem kepartaian multipartai yang melahirkan persoalan berupa tak efektifnya pemerintahan.

Konsekuensi dari hal tersebut adalah pemilu yang mestinya didesain untuk kebutuhan skema presidensial yang tercantum dalam konstitusi itu. Sejumlah ahli pemilu mendorong penataan menyeluruh terhadap desain sistem pemilu serta skema penyelenggara pemilu menuju terciptanya pemerintahan presidensial yang efektif.

Syamsuddin Haris adalah salah satu yang getol mengotak-atik pemilu untuk menguatkan presidensial efektif. Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu menjadi editor Buku Pemilu Nasional Serentak 2019 sebagai sebuah kajian yang disusun Electoral Research Institute. Berikut adalah wawancara Rumah Pemilu dengan Syamsuddin Haris (27/4) mengenai desain pemilu yang ideal untuk mendukung skema presidensial efektif yang diamanatkan konstitusi.

Apakah pemilu kita sudah mendukung skema presidensial yang diamanatkan konstitusi?

Belum. Skema penyelenggaraan pemilu yang selalu dimulai oleh pileg itu suatu anomali dalam bangunan sistem pemerintahan presidensial kita. Di satu pihak, obsesinya memperkuat presidensial, tapi pemilunya dimulai dengan pileg. Dampaknya, pilpres didikte hasil pileg. Eksekutif dan legislatif dalam presidensial terpisah satu sama lain. Dua-duanya dipilih langsung dan punya legitimasi masing-masing. Pilpres harusnya tidak didikte pileg.

Untuk kebutuhan membangun skema presidensial skema pemilu kita ini harus diubah?

Secara aktual, hasil pemilu kita tidak kunjung membuahkan pemerintahan hasil pemilu yang efektif (eksekutif didukung mayoritas legislatif) dan sinergis antara pemerintahan pusat dan daerah. Hasil pemilu legislatif menghasilkan fragmentasi yang luar biasa sehingga efektivitasnya tidak optimal. Pejabat publik hasil pemilu tidak kunjung akuntabel. Begitu pula partai politiknya. Ini meniscayakan kita berpikir ulang soal skema pemilu kita.

Pemilu seperti apa yang pas dengan amanat konstitusi?

Kalau kita mengacu pada negara lain dengan skema presidensial, khususnya Amerika Selatan, skema pemilu yang umum dilaksanakan adalah pemiluconcurrent—pemilu serentak—yaitu pileg dan pilpres itu diserentakkan pada waktu yang sama

Kenapa perlu pemilu serentak?

Kebutuhan peningkatan efektivitas presidensial. Pemilu eksekutif yang concurrent dengan legislatif menimbulkan coat tail effect. Diasumsikan bahwa partai-partai yang dipilih dalam pilpres itu cenderung dipilih dalam pileg apabila diserentakkan. Ada kemungkinan pemenang pemilu legislatif adalah partai politik yang memenangkan presiden. Dengan demikian, gap antara peta kekuatan di eksekutif dan legislatif itu bisa diminimalisir. Ini asumsi.

Begitupun di pemilu lokal. Keberhasilan partai di nasional akan diikuti di tingkat lokal. Dengan persyaratan ada jeda waktu yang memadai di antaranya.

Bukankah desain pemilu ini makin membuat eksekutif kian dominan?

Sepanjang itu hasil pemilu ya tidak masalah. Kita membutuhkan pemerintah yang didukung mayoritas kalau mau pemerintahan efektif. Skema pemilu nasional dan lokal itu menjanjikan. Skema ini juga sekaligus penyederhanaan sistem kepartaian apalagi dibarengi dengan pengecilan dapil.Poinnya, ini menjanjikan sistem kepartaian yang sederhana atau moderat. Sistem kepartaian yang pluralis moderat. Masalah kita selama ini sebagai dampak fragmentasi itu ya tidak ada mayoritas di lokal maupun nasional.

Bagaimana desain jeda waktu pemilu serentak nasional-lokal yang ideal?

Soal jeda waktu saya juga masih gamang. Sebab yang pokok itu, selain keserentakkan yang berasumsi menghasilkan pemerintahan kongruen, tentu adalah momen evaluasi. Pemilu lokal nantinya jadi evaluasi hasil pemilu nasional. Begitu sebaliknya. Dengan demikian, poin yang tak kalah penting adalah mandat politik pejabat publik hasil pemilu tidak lima tahun. Itu bisa dianggap setengahnya.

Apakah Anda optimis pemilu kita bisa didesain seideal itu?

Saya belum optimis karena pembentuk undang-undang belum merespon. Belum ke arah situ. MK pada awal 2014 mengeluarkan putusan pemilu serentak 2019. Memang jika melihat skema pilkada kita (yang merupakan bagian dari pemilu lokal), pemilu lokal itu belum bisa dilaksanakan pada tahun 2022. Itungan pilkada, keserentakan nasional baru bisa dicapai 2027.

Saya kuat menangkap kesan bahwa di 2019 kita hanya bisa melaksanakan pemilu serentak dengan skema yang diputus MK. Semua digabung kecuali pilkada. []