November 15, 2024

Veri Junaidi: Pembatasan Keluarga Petahana di Pilkada Tetap Konstitusional

Pembatasan konflik kepentingan dengan petahana dalam UU No.8/2015 digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan yang membatasi hak keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati, dan walikota dianggap telah melanggar hak perlakuan sama di hadapan hukum dan tidak didiskriminasikan. Oleh karenanya, ketentuan ini dianggap inkonstitusional dan diminta untuk dibatalkan. Sehingga para pemohon bisa mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota.

Untuk mengetahui urgensi pembatasan atau pengaturan khusus politik dinasti dan calon petahana, berikut penjelasan ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi dalam diskusi “Gugatan MK dan Kepastian Pembatasan Politik Dinasti” dan rilis pernya di Cikini, Jakarta Pusat (14/4).

Para penggugat pengaturan politik dinasti menilai, pengaturan ini inkonstitusional. Benarkah?

Alasan pelanggaran konstitusional ini tidak sejalan dengan maksud dan tujuan pembatasan konflik kepentingan dengan petahana. Aturan ini sebenarnya muncul sebagai respon atas maraknya praktik politik dinasti di daerah. Kepala daerah dijabat secara turun temurun dari satu periode ke periode bergiliran.

Meskipun telah dibatasi hanya 2 periode, jabatan kepala daerah bisa berlangsung lebih panjang melalui estafet kepemimpinan kekerabatan. Setelah bapak, turun ke anak, turun kembali ke suami/istri (dari istri pertama ke istri kedua), turun lagi ke anak dan keluarga lainnya. Kekerabatan politik ini tidak hanya terjadi dalam satu jabatan dan tingkatan seperti gubernur. Bupati dan walikota dalam satu propinsi itu bisa diisi oleh kerabatnya yang lain lagi.

Jadi, pembatasan keluarga petahana di pilkada ini tetap konstitusional?

Ya. Konstitusional. Ini bukan menghilangkan hak politik seseorang. Ini soal momentum pembatasan waktu, tentang ruang penyetaraan antar kandidat. Pembatasan ini ingin menyetarakan hak konstitusi antar kandidat. Penegakkan hukum pemilu terkait politik dinasti tak bisa bertumpu pada satu ruang. Selain pemberian sanksi, baik administrasi maupun pidana, politik dinasti juga harus dibatasi melalui Peraturan KPU.

Apa dampaknya politik dinasti bagi partisipasi di pilkada?

Berdasarkan kondisi keadaan yang istimewa, nyatanya politik kekerabatan justru memunculkan kondisi tidak setara bagi setiap orang untuk diperlakukan sama. Seringkali politik kekerabatan memunculkan keberpihakan yang justru melanggengkan kekuasaan yang seolah-olah demokratis. Gubernur, bupati, dan walikota serta kerabatannya kembali berkuasa secara turun temurun dengan mengatasnamakan demokrasi. Padahal prasarat jujur dan adilnya proses tidak pernah terpenuhi.

Artinya, justru pembatasan politik dinasti ini untuk kesempatan yang lebih luas. Bukan mendiskriminasi?

Iya. Pembatasan politik dinasti ini justru dilahirkan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk berkompetisi secara adil dan berimbang. Berangkat pada posisi sama, untuk bertarung merebut hati rakyat dalam pemilu. Sebab bagaimana mungkin fairness akan muncul ketika sumberdaya yang dimiliki tidak sama, dimana alat kekuasaan digunakan untuk memuluskan kepentingan.

Bagi, individu yang ada dalam keluarga petahana, bukannya malah menghilangkan hak dipilih atau mencalonkan ya?

Tidak. Pembatasan ini tidak sama sekali menghapus dan mencabut hak-hak kerabat penguasa untuk memilih dan dipilih. Melalui undang-undang, hak itu hanya diatur waktunya sehingga tidak mengganggu hak-hak publik, masyarakat yang jauh lebih luas untuk menikmati pelaksanaan demokrasi secara jujur adil. Mereka yang berada di lingkaran petahana tetap bisa kembali menggunakan haknya untuk dipilih, namun satu periode setelah kerabatnya tidak lagi berkuasa. Ketika sama-sama kembali pada titik nol, bertarung untuk rakyat tanpa kekuasaan penyokongnya. Jadi mohon sabar menunggu giliran.

Apa pemaknaan petahana di sini? Yang masih menjabatkah? Atau yang periodenya belum selesai? Atau mau ditekankan tetap bisa mencalonkankan dengan melepas jabatan kepala daerahnya?

Pembatasan politik dinasti ini juga masih menyisakan persoalan yang memerlukan kepastian hukum. Misalnya, apakah keluarga gubernur, bupati, walikota yang mengundurkan diri beberapa bulan sebelum pelaksanaan pilkada akan tetap diperbolehkan mencalonkan diri? Atau mungkin juga kepala daerah yang telah meninggal setahun lalu, kerabatnya tetap dilarang untuk mencalonkan diri? Memang aspek ini perlu dituntaskan penjelasannya. []