August 8, 2024

Wajah Pemilu dan Demokrasi 2020

Pada pertengahan 2020, The International Initiative Design Electoral Assistance (IDEA) menyerukan kepada masyarakat dunia untuk mempertahankan demokrasi dari ancaman kekuasaan negara yang cenderung otoritarian dalam pandemi Covid-19. Dalam menyikapi wabah, sejumlah pemerintahan negara menggunakan hukum dan kebijakan yang sewenang-wenang atas nama keamanan dan stabilitas. Para individu dan kelompok warga yang terlibat dalam rekomendasi dan protes mengalami pengabaian bahkan kriminalisasi. Hukum dan kebijakan dibuat penyelenggara negara bukan untuk melayani dan melindungi hak warga melainkan mempertahankan bahkan menguatkan kekuasaan.

Dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, Indonesia termasuk dalam kecenderungan otoritarian itu. Pertama, pemerintah Indonesia terus memaksakan penyelenggaraan pilkada pada 2020 tanpa revisi UU Pilkada untuk konteks pandemi. Kedua, pemerintah Indonesia mengedepankan hukum pidana dalam Perppu dan KUHP untuk mengatasi pandemi, termasuk untuk pilkada. Ketiga, pemerintah Indonesia mengabaikan aspirasi semua pihak dan lapisan masyarakat sipil untuk menunda pilkada dalam pandemi. Berdasar pertemuan 21 September 2020, Kementerian Dalam Negeri, DPR, dan penyelenggara pemilu mengedepankan sejumlah sikap yang tidak berdasar pada fungsi negara untuk melindungi dan melayani hak dalam penyelenggaraan pilkada.

Pemerintah mengabaikan wabah Covid-19 di Indonesia yang terus meningkat signifikan dengan pernyataan keadaan aman dan bisa dikendalikan. Padahal, Perppu Pilkada Pandemi yang menjadi UU Pilkada 6/2020 bertuliskan,pemungutan suara serentak pada bulan Desember 2O2O ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi Corona Virus Disease 2O19 (COVID- 19) belum berakhir. Pada 2020, Covid-19 bukan saja belum berakhir di Indonesia tapi juga makin tinggi dan sulit dikendalikan. Presiden dan DPR melanggar hukum yang dibuatnya sendiri.

Pemberitaan dan hasil survei menggambarkan mayoritas warga menginginkan pilkada ditunda pada 2021. Jajak Pendapat Kompas pada Juni 2020 saat kasus Covid-19 menembus 29.521: 66% menginginkan pilkada ditunda ke 2021; 67,7% mengkhawatirkan pilkada dalam pandemi; dan 28,1% tidak akan mencoblos jika pilkada tetap pada Desember 2020. Survei nasional INDIKATOR pada Juli 2020, ada 63,1 yang mengingkan pilkada ditunda ke 2021.

Masalah “sukses” Pilkada 2020

Selesai penyelenggaraan Pilkada 2020, Pemerintah lalu menyatakan pesta demokrasi 270 daerah sukses tanpa penyebaran Covid-19 klaster pilkada. Padahal, ada empat calon Pilkada 2020 yang meninggal karena Covid-19. Ada satu anggota KPU kabupaten/kota penyelenggara pilkada yang meninggal karena Covid-19. Puluhan anggota KPU dan Bawaslu penyelenggara pilkada positif Covid-19.

Lalu, kasus Covid-19 meningkat signifikan dari akhir November 2020 ke pertengahan Desember 2020. Pada 29 November 2020, kasus terinfeksi Covid-19 ada di angka 534.266 dengan kematian 16.815. Pada 19 November 2020 kasus terinfeksi Covid-19 menjadi 650.197 dengan kematian 19.514. Data dari covid19.go.id ini memang perlu dirincikan tiap daerah di 270 daerah yang berpilkada. Dan data ini pun merupakan hasil dari kemampuan tes Indonesia yang amat rendah, tidak representatif dengan jumlah penduduk yang amat banyak.

Selesai penyelenggaraan Pilkada 2020, Pemerintah lalu menyatakan pesta demokrasi 270 daerah sukses dengan persentase pengguna hak pilih yang tinggi (rataan 76,13%). Padahal, jika angka ini dikritisi akan menguak permasalahan pemilu dan demokrasi Indonesia.

Angka itu ternyata punya selisih lebih kecil jika hanya merujuk Pilkada Kota 2020. Dari 37 daerah yang menyelenggarakan pemilihan walikota-wakil wali kota, rataan persentase pengguna hak pilihnya ada di angka 69,6% atau selisih 6,5% lebih sedikit dari rataan nasional. Pilkada Kota Medan jadi kota terendah pengguna pilihnya di angka 47,6%.

Persentase pengguna hak pilih yang rendah di Pilkada Kota 2020 bisa jadi pertanda kritik pemaksaan pemerintah yang tetap menyelenggarakan pilkada. Warga kota bisa jadi tak banyak memilih karena relarif lebih sadar risiko Covid-19. Bisa jadi persentase pengguna hak pilih akan lebih tinggi jika layanan memilih yang melindungi sehat/nyawa dipenuhi (melalui e-voting, pos, email, drive true, early voting, dll).

Bisa jadi rendahnya persentase pengguna hak pilih itu tanda masalah laten demokrasi Indonesia. Kualitas peserta kurang menarik karena syarat pencalonan jalur partai dan perseorangan yang amat membatasi menyerta kualitas partai yang tak membaik. Juga bisa saja ada kebosanan pemilu di setiap tahun (dari 2017, 2018, 2019 & 2020) dengan hasil pemerintahan yang kurang berdampak baik.

Rataan nasional 76,13% pun ternyata ditopang dari daerah-daerah yang petahananya mencalonkan lagi di Pilkada 2020. Lebih spesifik, dari 29 daerah yang petahananya pecah kongsi dalam kepesertaan pilkada, rataan pengguna hak pilihnya ada di angka 80,9% atau selisih 4,8% lebih banyak dari rataan nasional. Angka ini hadirkan pertanyaan mengenai permasalahan tentang korupsi politik, politisasi Bansos daerah dan bantuan bencana pandemi, juga mobilisasi ASN, yang jadi masalah laten pemilu Indonesia ditambah makin lemahnya pemantauan pada konteks Covid-19.

Klaim “sukses” Pilkada 2020 tanpa klaster pilkada dan persentase pengguna hak pilih tinggi ini menarik jika kita bandingkan dengan negara sukses berpemilu pada konteks Covid-19. Korea Selatan dan Amerika Serikat misalnya, punya faktor-faktor sukses penyelenggaraan pemilu dalam pandemi. Di antaranya: 1. Antusiasme politik; 2. Perubahan UU Pemilu untuk konteks pandemi (perlindungan hak, kampanye, penegakan hukum, dll); 3. Perbanyak cara pemungutan suara; 4. Perpanjang waktu pemungutan suara; dan 5. Optimalisasi internet dalam kampanye, sosialisasi, dan pemantauan.

Semua faktor-faktor sukses pemilu Korsel dan AS tersebut, tidak ada di Indonesia. Tapi, negara kepulauan yang terus mengalami penurunan indeks demokrasi dunia ini tetap memaksakan pilkada dengan klaim kesuksesan.

Pemaksaan penyelenggaraan Pilkada 2020 dan klaim suksesnya, mengingatkan wajah pemerintahan Orde Baru. Kita tahu, pemerintahan Orde Baru dibentuk berdasar hukum yang memaksa penyelenggaraan pemilu dengan klaim sukses pengguna hak pilih yang dimobilisasi. Pemilu tetap ada, persentase pengguna hak pilih tinggi, dan pemerintahan terus berjalan, tapi semuanya, semu. []

USEP HASAN SADIKIN