November 15, 2024

Demokratisasi Afirmasi Perempuan

Rancangan Undang-undang Pemilu (per April 2020) hasil kerja Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat sudah ada, lengkap dengan naskah akademik dan lampiran. Tak ada perubahan bentuk afirmasi perempuan dalam RUU prioritas 2020 ini. Tak bertambah, juga tak berkurang. Afirmasi perempuan dalam RUU Pemilu masih diberlakukan pada empat K: kepesertaan partai, kuota pencalonan, kepanitiaan seleksi penyelenggara pemilu, dan keanggotaan penyelenggara pemilu.

Yang paling menarik, biasanya, adalah afirmasi perempuan pada kuota pencalonan karena terkait dengan target peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. RUU Pemilu per April 2020 ini tetap memberlakukan kuota pencalonan perempuan minimal 30 persen dengan zipper 3:1 dalam sistem pemilu proporsional terbuka.

Tiga kali diterapkan pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019, afirmasi perempuan tersebut mengalami tren peningkatan. Dari 17,86 persen (101/560), 17,32 persen (101/560), hingga 20,34 persen (117/575). Memang belum mencapai 30 persen sebagai kuantitas minimal. Tapi, persentase hasil Pemilu 2019 merupakan capaian terbanyak sepanjang sejarah Indonesia.

Dari capaian tersebut, apakah perlu ada penambahan bentuk afirmasi perempuan dalam UU Pemilu? Sebagian perempuan politisi punya keinginan menambah afirmasi dalam bentuk kuota parlemen (reserved seat). Sebagian yang lain berkeinginan, mewajibkan parpol mencalonkan perempuan pada nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan jika masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Lalu, perempuan politisi lain berharap, penerapan zipper system 2:1 untuk keterpilihan jika menggunakan sistem proporsional tertutup.

Tak berbanding lurus

Jika kita bandingkan peningkatan keterwakilan dengan capaian kebijakan yang mengafirmasi perempuan, ternyata tak berbanding lurus. Hasil Pemilu 1999 dan 2004, dengan 9 persen dan 11,8 persen, perempuan dewan malah banyak menghasilkan kebijakan dan pengupayaan agenda yang afirmatif terhadap perempuan.

Legislator perempuan pada 1999 sampai 2009 yang kuat berpihak pada keadilan gender ternyata relatif bisa mengatasi kekurangan jumlah. Perempuan yang lebih banyak berlatar belakang aktivis dan sayap perempuan organisasi kemasyarakatan ini, bukan hanya menyolidkan perempuan dewan tapi juga bisa memengaruhi lelaki dewan. Maka lahir UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (antitrafiking), pembelaan buruh migran, perlindungan saksi/korban, juga status kewarganegaraan perempuan dan anak.

Justru, makin tinggi persentase perempuan di parlemen hasil afirmasi, daya politik perempuan makin lemah. Yang menguat malah politik patriarkis dalam wujud politik dinasti.

Sejak hasil Pemilu 2009, Ani Soetjipto dalam “Politik Harapan” menjelaskan paradoks representasi itu. Lalu Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), berdasar hasil Pemilu 2014 dan 2019 menjelaskan fakta menguatnya paradoks representasi dalam wujud politik dinasti. Evaluasi dan segala rekomendasi sudah dilakukan untuk menghindari bahkan menghilangkan keterwakilan perempuan yang bertepuk sebelah tangan ini.

Kelembagaan dan kepesertaan parpol

Kuantitas dan kualitas keterwakilan perempuan tak berbanding lurus karena advokasi kesetaraan tak banyak diupayakan kepada parpol. Kesetaraan adalah kata ganti dari demokrasi sehingga membedakannya dengan sistem politik lain. Sedangkan parpol, merupakan lembaga utama demokrasi yang juga membedakannya dengan sistem politik lain. Kita sibuk mengafirmasi perempuan melalui redaksi pasal/ayat yang menyimpang dari positivistik equality before the law tapi terkesan membiarkan parpol makin diskriminatif. Bagaimana mungkin cita kesetaraan dalam afirmasi perempuan bisa dicapai jika para perempuan disuplai dari parpol yang tak demokratis?

Demokratisasi UU Pemilu sejak Reformasi hingga kini luput menjaga kelembagaan dan ekosistem parpol yang demokratis. Reformasi menghasilkan banyak kelembagaan negara lebih demokratis tapi kelembagaan utama demokrasi, yaitu parpol malah dilupakan.

Sejak Reformasi 1998-2011, undang-undang parpol sudah direvisi empat kali. Sayangnya, makin lama direvisi, syarat pembentukan parpol di Indonesia makin mengesampingkan hak asasi manusia dalam berserikat dan berkumpul. Mulai sebatas keanggotaan 50 orang (UU 2/1999), lalu signifikan memberat jadi kepemilikan kantor dan kepengurusan seluruh provinsi:kabupaten/kota:kecamatan, 50:50:25 (UU 31/2002), berubah syarat jadi 60:50:25 (UU 2/2008), lalu berubah teramat berat jadi 100:75;50 (UU 2/2011). 100:75:50 ini lalu di-copy paste ke UU Pemilu sebagai syarat kepesertaan parpol di pemilu.

100:75:50 sebagai syarat pembentukan parpol dan kepesertaannya di pemilu dengan keharusan struktur nasional, berkonsekuensi pada amat tingginya modal finansial pembentukan dan pembiayaan operasional parpol. Yang mendirikan dan yang bergabung harus mempunyai uang amat banyak. Padahal, hak berserikat berkumpul merupakan hak asasi yang dijamin konstitusi. Padahal, parpol satu-satunya jalan syah berkuasa untuk menghasilkan undang-undang dan mengagregasi kepentingan warga dalam demokrasi.

RUU Pemilu naskah April 2020 mengakomodir sejumlah masukan dari LSM pemilu dan demokrasi. Sayangnya, syarat kepesertaan pemilu DPR/DPRD masih copy paste dengan undang-undang pemilu sebelumnya, senasib dengan ragam bentuk afirmasi perempuan.

Kita perlu bandingkan persentase keterwakilan perempuan dengan kualitas demokrasi (Freedom dan The Economist). Ternyata, semua ini merupakan hal berbeda yang capaiannya pun tak berbanding lurus. Tinggi persentase perempuan tak berarti tinggi kualitas demokrasi. Selain itu, tak semua negara pencapai keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen menggunakan afirmasi perempuan, dan tak semua negara pengguna afirmasi perempuan mencapai keterwakilan perempuan 30 persen. Yang pasti, negara-negara dengan kelembagaan parpol demokratis bukan hanya mencapai kualitas demokrasi yang baik tapi juga mencapai keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen. []

USEP HASAN SADIKIN