Laporan dana kampanye peserta pemilu jadi praktek sebatas pengguguran kewajiban. Regulasi mengharuskan dana kampanye dilaporkan tapi tak menyertakan validasi akuntansi dan sanksi jika tak sesuai. Ketaksesuaian laporan dana kampanye dengan jumlah belanja sebenarnya jadi salah satu paradoks pemilu berprinsip jujur dan adil (Jurdil).
Tak terjaminnya kesesuaian laporan dana kampanye di Pilkada 2015 setidaknya berdampak dua keburukan. Pertama, tak sesuai dengan tujuan efisiensi biaya pilkada. Kedua, berkontribusi korupsi oleh pemerintahan terpilih. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corroption Watch (ICW), Donal Fariz menggambarkan permasalahan dan menawarkan cara penyelelesaiannya (1/10).
Dari perspektif antikorupsi, apa kaitannya antara ketaksesuaian laporan dana kampanye dengan pemerintahan terpilih yang korup?
Korupsi pemilu dimulai dari manipulasi dana kampanye itu sendiri. Sarah Birch dari Essex University menegaskan, korupsi pemilu mendorong korupsi sektor-sektor lain. Teori ini sangat relevan jika kita mengaitkan korupsi kepala daerah. Kecurangan pendanaan pemilu melahirkan praktik lancung perizinan, permainan pengadaan, dan lain-lain.
Undang-undang pemilu terus baru bahkan ada yang beberapa kali direvisi. Kenapa, masih ada permasalahan validitas laporan dana kampanye?
Perubahan pengaturan dana kampanye selama ini belum masuk ke jantung persoalan. Termasuk laporan dana kampanye. Entah sengaja atau tidak, tetapi itulah realitasnya. Semisal ada pengaturan pembatasan belanja kampanye kandidat tapi tanpa instrumen mengukur kesungguhan kandidat. Alhasil, laporan dana kampanye selalu palsu.
Seperti apa yang menyentuh jantung persoalan?
Pembenahan tak dapat semata melalui jalur subsidi kepada kandidat. Tak juga hanya membatasi uang masuk-keluar. Tugas penyelenggara harus bergeser untuk memastikan pasangan calon tidak menerima dan mengeluarkan pendanaan ilegal.
Konkretnya?
Pembenahan pertama, jadikan rekening khusus dana kampanye (RKDK) pasangan calon sebagai satu-satunya akses penerimaan dan pengeluaran kampanye. Rekening khusus sudah dan selalu jadi syarat administratif kandidiat saat mendaftar ke KPUD.
Tapi, selama ini tidak ada kewajiban bagi kandidat menggunakan rekening khusus sebagai satu-satunya pintu transaksi kandidat. Akibatnya, kandidat sering menggunakan berbagai macam pintu transaksi, seperti melalui anggota keluarga, tim sukses, atau bahkan cukong politik.
Selain itu?
Melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam rezim pemilu. Ini langkah terakhir mengawasi dana kampanye. Jika arus kas sudah tertib melalui satu pintu rekening dan semua transaksi dilakukan secara perbankan, melibatkan PPATK menjadi keniscayaan.
Selama ini yang terjadi di kelembagaan pemilu seperti apa?
Salah satu kelemahan audit dana kampanye adalah ketiadaan kelembagaan yang kuat dalam monitoring uang kandidat. Baik KPU atau Bawaslu, tidak punya infrastruktur untuk melakukan hal tersebut. Akuntan publik pun sebatas melihat aspek kepatuhan laporan dana kampanye yang disampaikan kandidat. Tidak melihat transaksi riil dan tidak dibuka ruang luas melalukan verifikasi faktual.
Prospek dari solusi anda itu bagaimana?
Butuh kemauan politik yang kuat. Baik pemerintah dan DPR harus kuat berkeinginan membenahi aspek pengawasan pendanaan kandidat dalam pemilu. []Â