August 8, 2024

Khoirunnisa Nur Agustyati: Prasyarat Proporsional Daftar Terbuka Tak Terpenuhi

Sistem pemilu proporsional daftar terbuka sudah diterapkan di tiga pemilu, 2004, 2009, dan 2014. 2004 diterapkan setengah terbuka, 2009 dan 2014 terbuka utuh. Semakin tingginya persentase pemilih dan suara sah menggambarkan semakin baiknya sistem ini dipahami, baik bagi peserta pemilu (partai dan caleg) maupun bagi pemilih. Tapi di sisi lain, semakin masifnya kecurangan dan politik uang serta menurunnya kualitas caleg terpilih menjadi bagian kritik sistem ini. Di tengah menguatnya wacana kembali ke sistem proporsional tertutup, rumahpemilu.org meminta penjelasan kepada peneliti Perkumpuluan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati di Kantor Perludem Gandaria Tengah III, Jakarta Selatan (30/4).

Sistem proporsional daftar terbuka banyak dikritik. Kenapa sistem ini tak berjalan baik?

Setiap sistem ada kelebihannya dan ada kekurangannya. Menggunakan sistem apapun harus disadari kebutuhannya. Dan dalam penerapannya, ada prasyarat yang harus dipenuhi agar sistem berjalan baik. Prasyarat proporsional daftar terbuka tak terpenuhi.

Prasyarat apa yang tak terpenuhi?

Salah satunya daftar caleg yang seharusnya berdasarkan abjad nama. Selama ini daftar caleg berdasarkan nomor urut. Dari 1, 2, dan 3 merupakan representasi oligarki partai. Padahal oligarki merupakan permasalahan yang mau dipangkas melalui proporsional daftar terbuka. Tujuan memangkas oligarki tak tercapai karena pemilih cenderung memilih nomor 1. Ada anggapan nomor 1 dinilai hebat.

Ditambah rekrutmen pencalonan legislator partai yang tak terbuka. Jadinya, garbage in garbage out. Kalau calon yang ditawarkan partai tidak ada yang baik mau ga mau yang terpilih juga bukan orang baik.

Selain itu adalah syarat pengaturan dana kampanye yang tidak diatur secara tegas. Orang menganggap kontestasi di proporsional daftar terbuka sebagai persaingan bebas. Yang punya uang banyak bisa jor-joran tebar uang ke dapil. Kesannya sistem ini malah melegalkan politik uang semakin masif. Padahal kan tidak seperti itu.

Apa latar belakang/alasan dipilih dan dipertahankannya proporsional daftar terbuka ?

Awalnya tahun 2004 kan pakai sistem “semi open list”. Pemilih bisa langsung memilih caleg, tapi keterpilihan caleg masih ditentukan nomor urut. Hanya caleg yang bisa mencapai 100 persen BPP yang langsung terpilih, tapi kalau tak mencapai itu ya tetap dengan nomor urut. Tahun 2009 syarat mencapai 100 persen BPP itu diturunkan menjadi 30 persen. Jika ada lebih dari satu calon yang mendapatkan 30 persen BPP maka nomor urut yang lebih kecil yang terpillih. Nah, klausul ini dibawa ke MK. Sama MK dibatalkan, karena dianggap tidak adil. Misal, jika ada dua caleg dapet 30 persen, yang terpilih yang nomor urutnya lebih besar. akhirnya MK putuskan pakai suara terbanyak. Sehingga 2009 pakai proporsional terbuka dengan suara terbanyak.

Masuk ke Pemilu 2014, pada saat revisi undang-undang Pemilu ada usulan untuk kembali ke proporsioal tertutup. Alasan yang paling kenceng adalah untuk meredakan politik uang. Pengusulnya PDIP, PKB, sama PKS. Tapi pas detik-detik terakhir berubah karena adanya loby dari partai lain. Karena tertutup dikatakan ada ologarki partai. jadi 2014 tetep pake proporsional terbuka.

Apa hal positif yang tetap berlangsung dari proporsional daftar terbuka?

Hal positifnya, pemilih bisa memilih langsung caleg, bukan partai. Caleg yang terpilih ditentukan oleh pemilih, bukan partai. Karena itu sebelum memilih pemilih bisa cek profil, latar belakang, dan jejak rekam caleg. Setelah caleg tersebut terpilih pun pemilih juga bisa mengawal kinerja. Pemilih bisa mengetahui caleg yang dipilih. Pemilih pun bisa mengetahui caleg yang dipilihnya terpilih atau tidak.

Tapi dari pemilih ada keluhan, surat suara mejadi rumit. Bagaimana menanggapi ini?

Setiap sistem ada kelemahan dan kelebihannya. Itu kelemahan daftar terbuka. Tapi kebutuhan kita kan sebelumnya ingin memilih caleg langsung. Tak mau memilih kucing dalam karung.

Persentase pemilih di Pemilu Legislatif 2014 meningkat dari 70 menjadi 75 persen. Ini lebih karena kerja penyelenggara atau karena caleg yang lebih memahami pentingnya keaktifan tiap personal caleg bisa menarik partisipasi pemilih?

Di 2009, kita juga memakai sistem proporsional daftar terbuka. Tapi, partisipasinya menurun dibandingkan Pemilu 2004 yang menggunakan sistem proporsional setengah terbuka. Jika persentase pemilih bertambah dari Pemilu 2009 ke 2014, bisa dibilang, kita sudah mulai terbiasa atau membiasakan diri dengan sistem proporsional daftar terbuka.

Ada caleg yang saya kenal mau untuk lebih dekat dengan pemilih. Ia gunakan media sosial dan tim yang terlibat langsung dengan pemilih. Saya rasa para caleg yang lain sadar bahwa mereka harus aktif turun ke lapangan kalau mau terpilih.

Selain itu, KPU di Pemilu 2014 juga lebih terbuka. Salah satunya dengan membuka CV caleg secara online. Ini gambaran penyelenggara makin siap dengan sistem proporsional daftar terbuka. Menyertakan layanan cek daftar pemilih, keterbukaan KPU berdampak dengan bertambahnya informasi pemilu dan peserta pemilu di masyarakat yang mendorong untuk menggunakan hak pilih. Perludem membuat aplikasi memilih caleg yang baik juga tindak lanjut keterbukaan KPU. []