Hasil Riset Keterwakilan Politik Perempuan Tingkat Lokal dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia di 2012 menemukan kontradiksi isu perempuan antara kuantitas dan kualitas. Puskapol UI mengambil daerah penilitian yang jumlah legislator perempuannya di atas rata-rata DPRD se-Indonesia (16%). Banten 23% (22/94), Jawa Barat 25% (25/100) dan Jakarta 18% (16/85). Tapi permasalahan perempuan di tiga daerah tersebut malah relatif lebih banyak dibanding daerah lain yang keterwakilan perempuannya lebih sedikit.
Kita bisa cepat menyimpulkan, permasalahan perempuan ternyata tak cukup dijawab dengan mendorong tubuh bervagina duduk di parlemen. Tapi ini bukan berarti kita menilai perempuan tak layak menjadi legislator. Faktanya, dewan perwakilan rakyat yang elitis, korup, miskin ideologi dan rendah empatik pada rakyat itu selalu dikuasai tubuh berotak penis dan otot sejak demokrasi ditetapkan Bapak Bangsa.
Pemilu dan feminisme
Rose Putnam Tong dalam “Feminist Thought†memberitahukan, pertama kali feminisme terlibat di pemilu sejak abad ke-19 di Amerika Serikat. Paham kesetaraan relasi tubuh manusia ini, memperjuangkan hak perempuan di ruang publik dalam bentuk hak pilih di pemilu. Sebelumnya, perempuan tak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan pemerintahan berkala.
Fakta ini bisa sebagai gambaran, “demokrasi†(saja) dalam praktek pemilu, tak lepas diskriminatif. Sistem pemerintahan dari-oleh-untuk rakyat ternyata membutuhkan perspektif keadilan yang luas untuk bisa utuh mengakomodir pluralitas rakyat, khususnya perempuan.
Penekanan perempuan berpartisipasi di politik formal dikenal sebagai perspektif feminisme liberal. Bentuknya bisa pembelaan hak dasar perempuan di undang-undang, memilih di pemilu hingga keterwakilan perempuan di parlemen.
Di perjalanan, perjuangan tersebut dilengkapi perspektif feminisme radikal. Gerakan perempuan menyadari, ketakadilan politik formal lebih disebabkan budaya patriarki yang ada dalam masyarakat. Dominasi lelaki terhadap perempuan dalam dinamika masyarakat telah membentuk dan melanggengkan penetapkan ruang publik sebagai milik lelaki sedangkan ruang domestik sebagai tempat perempuan beraktivitas. Artinya, jika budaya patriarki masih kuat, suplai aspirasi dan keterwakilan dari masyarakat, baik perempuan atau lelaki, tak akan signifikan menciptakan pemerintahan adil, termasuk di parlemen.
Dari radikalisasi itu, feminisme menjadi perspektif seksualitas. Kebertubuhan jenis kelamin di tengah budaya patriarki merekam ilmu pengetahuan berdasar pengalaman sebagai korban. Kesadaran terhadap praktek dominasi relasi memproyeksikan keadilan yang hanya bisa dicapai dari kesetaraan.
Radikalisasi itu pun melahirkan kesadaran tak kedapnya sekat privat dan publik yang sebelumnya dipelihara perspektif hak asasi manusia. Ternyata, pejabat publik yang lama dibesarkan asuhan domestik patriarki akan melahirkan kebijakan yang melarang vagina keluar rumah sebagai penyelesaian masalah perkosaan. Kita pun sadar adanya pendapat keliru yang berbunyi, perempuan tak perlu datang ke bilik suara atau duduk di parlemen karena toh perannya lebih penting dengan menyusui anak atau bersiap layani penis yang lelah berpolitik.
Produk undang-undang pun selama ini tak sadar, jika hasil pajak diperuntukan alutsista perang maka pelayanan kesehatan yang buruk akan sebabkan ASI kering. Jika aturan publik menghambat perempuan berekspresi dan beraspirasi maka berdampak pada proses didik hipokrit dan fasis. Saat negara tak menjamin akses keadilan relasi pasangan dan keluarga, maka kekerasan dalam relasi dan rumah tangga marak terjadi. Pemerintahan yang minim seksualitas perempuan selamanya merendahkan perempuan yang terus menjadi korban.
Perempuan dan 30 persen
Di pemilu Indonesia, keberpihakan politik formal berbentuk syarat kepengurusan partai dan pencalegan minimal 30 persen perempuan terus diperkuat seiring advokasi aktivis hak perempuan. Karena baru sebatas itu, upaya pembentukan perspektif feminisme terhadap bakal caleg harus melalui cara kultural. Konsepsi pemikiran feminisme berasal dari keadaan penindasan pihak dominan terhadap pihak subordinat. Sehingga perjuangannya ditempuh melalui solidaritas sosial. Komune solidaritas perempuan (sisterhood) dari aktivis feminis harus dikuatkan dan diperluas dengan jejaring dan ajakan perlibatan.
Selama budaya di masyarakat masih patriarki, kita yang mengimpikan pemerintah beserta undang-undang adil relasi hanya berhenti di bangun pagi. Urgensi suplai kesetaraan di parleman adalah perspektif seksualitas bernama feminisme.
Idealnya, seleksi calon legislator pemenuhan kuota minimal 30 persen perempuan di parlemen harus menyertai alur pembentukan perspektif feminisme terhadap bakal caleg secara personal. Apakah bakal caleg sudah melalui alur pembentukan perspektif feminisme dalam solidaritas perempuan? Pernahkah mengalami kekerasan? Sadarkah sebagai korban relasi? Beranikah menuturkan? Sudah dapatkah aksi saling berbagi pengalaman dan penguatan sebagai bentuk ilmu pengetahuan feminisme? Lalu apa proyeksi keadilannya dan bagaimana?
Atas dasar itu, penguatan 30 persen perempuan berarti memprioritaskan langkah perubahan dari-oleh-untuk perempuan. Ini semacam dispensasi berdasar asumsi, komunitas vagina sangat sulit mendapatkan akses publik dibandingkan gerombolan bahkan ketunggalan penis. Dominasi dalam patriarki terlalu lama membatasi perempuan di ranah domestik.
Kita pun jadi bisa menilai tak ada perspektif feminis di tubuh semua partai, bahkan partai yang mencitrakan diri partai perempuan dan partai yang banyak beranggota perempuan. Ada partai paternalistik yang bangga berkampanye dengan latar belakang tokoh pelaku poligami.
Pemilu untuk menghasilkan pemerintahan yang memproduksi undang-undang kesetaraan berkeadilan hanya bisa dicapai utuh dengan menghantarkan tubuh-tubuh korban relasi yang berkesadaran feminis. Seks yang berpolitik di parlemen hanya bisa adil dengan menghubungkan pemerintahan sebagai ranah publik kepada solidaritas perempuan menyertai pengalaman dan aspirasi dari personalitas privat setiap tubuh bervagina. []
USEP HASAN SADIKIN