October 3, 2024
Print

Mengubah Mental di Rupiahkrasi

Ketua Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP) Prof. Jimly Asshiddiqie dalam pelatihan tahapan pemilu Presiden tahun 2014 di kantor KPU (22/5) memaparkan, sudah ada 1.333 laporan yang diregisrasi, dari laporan tersebut mayoritas terkait ketidaknetralan anggota panitia pemungutan suara (PPS),  Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten/Kota. Dan ada juga Panitia pengawas pemilu, namun jumlahnya relatif sedikit.

Dari sekian banyak laporan tersebut, DKPP telah memberhentikan 17 penyelenggara pemilu. Mereka dianggap terbukti melakukan pelanggaran pemilu yaitu pelanggaran administrasi, kode etik, dan pelanggaran tindak pidana pemilu.

Banyaknya penyelenggara yang tidak netral adalah salah satu potret buram pemilu legislatif (Pileg) 2014 kali ini. Pemilu yang sewajibnya langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil telah dinodai oleh para penyelengara Pemilu yang tidak becus melaksanakan tugasnya.

Adalah Politik uang (money politics) menjadi salah satu ‘tokoh’ sentral dalam Pileg kali ini untuk meraih kemenangan secara kotor agar mendapatkan kursi/kekuasaan, mengingat sistem proposional terbuka lebih menekankan suara terbanyak tiap caleg. Oleh karenanya, cara kotor (money politics) adalah cara yang paling ampuh dalam mendulang suara rakyat yang mudah dibeli.

Di sisi lain, para pendamba demokrasi masih percaya jika polularitas, figur, kualitas, dan integritas seseorang akan berjalan linier dengan elektabilitas. Meskipun tanpa rupiah. Namun faktanya, caleg yang memiliki hal tersebut tetap tersingkir dari pertarungan politik,sebab koleganya menyebar rupiah pada pemilih dan penyelenggara pemilu. Astagfirullahhal’azim

Tumbangnya para Caleg idaman seperti antara lain Nurul Arifin (Golkar), Eva Kusuma Sundari (PDIP) dan Ahmad Fadli HS (PKB) tak lain lebih dikarenakan persaingan yang tidak sehat (satu partai). Menurut Tomas Hobbes (1588-1679) para politikus menjadi serigala yang memakan temannya sendiri (homo homoni lupus).

Sistem proposional terbuka membuat rupiah dan pemilu tidak bisa dipisahkan bagaikan dua sisi mata uang berlawanan, namun selalu bersama-sama. John Nichols dan Robert W McChesney mengkritisi demokrasi yang saat ini sudah berubah menjadi dollarocracy. Pasalnya pada pemilu 2012 lalu di Amerika Serikat (AS) menjadi pemilu paling mahal dalam sejarah negeri yang berjuluk paman sam tersebut.Barack Obama menghabiskan biaya sekitar kurang lebih Rp. 12 terliun. Sedangkan lawannya Mitt Romney menghabiskan biaya sekitar kurang lebih Rp. 13 terliun.

Sama halnya dengan Indonesia, Pileg 2014 yang diikuti oleh 12 parpol nasional tercatat dalam laporan awal dana kampanye diperkirakan telah menghabiskan dana sekitar Rp. 1,93 triliun. Bedanya jika di Amerika Serikat dana tersebut banyak dihabiskan untuk kampanye di media-media baik cetak atau elektronik. Di Indonesia dana tersebut justru banyak dipakai untuk membeli dan memanipulasi suara.

Perselingkuhan antara pemilu dan rupiah sesungguhnya sangat merugikan rakyat banyak. Kenapa? Karena, hal tersebut mengakibatkan para anggota dewan yang terpilih akan berfikir bagaimana cara mengembalikan uangnya yang telah disebarkan pada saat pemilihan umum. Salah satu cara yang cepat untuk mengembalikan uangnya adalah korupsi atau bermain proyek.

Meminjam kata John Nichols dan Robert W McChesney, demokrasi di negeri ini mungkin telah menjadi “rupiah krasi” ketika tidak adanya pertumbuhan yang efektif, sehingga korupsi, kolusi dan nepotisme terus tumbuh subur. Padahal kata senator Robert LaFollette (1855-1925) demokrasi adalah sebuah kehidupan yang menuntut perjuangan terus-menerus tanpa lelah. Demokrasi haruslah dirawat dan dijaga.

Bagi-bagi “kue”

Dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, komisi pemilihan umum (KPU) telah menetapkan partai politik yang masuk parlementary treshold yaitu pertama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 18,95 persen, keduaGolkar 14,75 persen, ketiga Gerindra 11,81 persen, keempat Demokrat 10,19 persen, kelima PKB 9,04 persen, PAN 7,59 persen, PKS 6,79 persen, Nasdem 6,72 persen, PPP 6,53 persen, dan terakhir Hanura 5,26 persen.

Melihat hasil perolehan suara masing-masing partai politik sudah bisa dipastikan tidak ada satu parpol pun yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presidennya sendirian. Sebab, ketentuan UU nomor 42 tahun  2008 pasal 9 tentang pemilu presiden dan wakil presiden mengatakan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden.

Oleh karena itu, untuk mengusung Capres dan Cawapres, partai politik harus berkoalisi dengan partai lain demi memenuhi presidential threshold. Sayangnya koalisi yang dibentuk salah satu Capres dan Cawapres bukanlah koalisi dari rakyat, demi rakyat dan untuk rakyat. Namun, koalisi yang dibentuk hanyalah berdasarkan bagi-bagi “kue” saja.

Mengubah mental

Memang tidaklah mudah merubah kesadaran, cara berfikir, dan berani berbuat untuk sebuah negara dari sesuatu yang negatif menuju positif.  Namun, jika mengingat bahwa kegagalan demi kegagalan telah dialami oleh negeri ini selalu dimulai dengan mentalitas rakyat yang kerap menadahkan tangannya untuk meminta-minta serta akan “marah” jika tidak diberi.

Mentalitas tersebut yang membuat bangsa ini tidak akan mendapatkan pemimpin yang diidam-idamkan oleh rakyat. Sebab, sistem proposional terbuka memerlukan suara terbanyak, dan salah satu cara praktis untuk mendapatkan suara rakyat yaitu memberi rupiah agar dipilih. Sehingga maraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak telah mempengaruhi kualitas dan integritas para wakil rakyat yang kini sudah terpilih.

KPU telah memutuskan tahapan pemungutan suara presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014 (PKPUnomor 4 tahun 2014 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden). Pemilihan presiden (Pilpres) menurut penulis menjadi salah satu faktor penting dalam mengawali langkah sebuah perubahan di negeri ini. Sebab, jika kita mendapatkan pemimpin yang berkualitas, jujur dan adil maka kesejahteraan bisa tercapai, namun akan terbalik jika yang terjadi malah sebaliknya.

Oleh karenanya, perilaku buruk seperti meminta upeti kepada kandidat, rupiah menjadi faktor dalam menentukan pilihan, merubah dan memanipulasi surat suara, pada saat pemilihan anggota legislatif pada 9 April 2014 lalu haruslah dihindari jauh-jauh karena selain merusak demokrasi itu sendiri perilaku tersebut juga akan mengakibatkan pemimpin yang jujur dan amanah sulit untuk terpilih.

Dalam situasi saat ini, diperlukan perubahan mental yang radikal di negeri ini. Rakyat harus disadarkan bahwa pemberian rupiah dalam pemilu sangat menyengsarakan kelak, pasalnya bangsa ini tidak akan maju jika watak ”mencari selamat sendiri-sendiri” yang pernah dikatakan oleh Romo Mangun (1999) menjadi dasar dalam menentukan pilihan.

Kita harus berani meninggalkan pemilu yang mengandalkan politik uang pada setiap pemilu. Jangan mengorbankan kesejahteraan dan keadilan untuk memilih pemimpin yang busuk, yang hanya bisa menyebarkan uang untuk kesenangan rakyat sesaat.

Allah subhanahuwata’ala telah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka ” (surat Ar-Ra’dayat 11).

Oleh karena itu, sekarang pilihannya ada ditangan kita, rakyat Indonesia semuanya: Apakah lebih memilih pemilu tanpa rupiah, atau cara-cara kotor (menggunakan politik uang) masih diperlukan dalam setiap pemilihan umum. Semoga kita menjatuhkan pilihan bukan berdasarkan rupiah, akan tetapi berdasarkan jejak rekam (track record) dan keterampilan. []

AHMAD HALIM
PKC PMII DKI Jakarta, Bekerja di Bawaslu Provinsi DKI Jakarta