August 8, 2024

Nico Harjanto: Sistem Mayoritarian Pemilu Legislatif Tak Cocok untuk Indonesia

Sistem pemilu mayoritarian atau yang biasa awam sebut sistem distrik kembali sering disebut dalam evaluasi Pemilu 2014. Tujuan meningkatkan derajat keterwakilan di sistem proporsional terbuka di Pemilu 2009 dan 2014 tak tercapai. Relevankah keaktualan ini menjadi pertimbangan untuk mengadopsi sistem mayoritarian? Berikut wawancara rumahpemilu.org dengan Direktur Populi Center, Nico Harjanto selepas perayaan Ulang Tahun Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta (16/6).

Tepatkah sistem mayoritarian diterapkan di Indonesia?

Di Pilkada 2015 ini Indonesia sudah menerapkan sistem pemilu mayoritarian. Cuma ada satu putaran pemilihan, the winner catch all. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak, berapa pun persentasenya, dia yang menang. Tak perlu lagi putaran kedua.

Bagaimana jika sistem mayoritarian untuk pemilu legislatif?

Sangat sulit ya untuk diterapkan. Konteks Indonesia ini kan sangat plural. Sedangkan sifat mayoritarian yang mengambil semua suara beragam untuk satu pemenang relatif mengesampingkan pluralitas yang ada di masyarakat.

Itu pertama. Yang kedua, pembuat kebijakan yang di parlemen kan terdiri dari banyak partai. Partai-partai ini, terutama partai menengah dan kecil tak menginginkan sistem mayoritarian.

Kalau ditimbang, ini lebih karena konteks Indonesia yang tak cocok, atau karena pembuat kebijakan yang tak mau?

Saya pikir keduanya mempengaruhi. Batasan daerah di Indonesia dengan banyak pulaunya di dalamnya banyak terdapat perbedaan di masyarakat.  Di pembuat kebijakan, meski partai kita makin pragmatis, mau tak mau partai-partai yang ada di parlemen ini ada keterkaitannya dengan banyak ideologi di masyarakat.

Amerika Serikat juga plural, tapi kenapa bisa dinilai cocok memakai sistem mayoritarian?

Amerika Serikat yang bukan negara kepulauan merupakan gabungan dari negara-negara bagian dengan sistem federal. Dalam satu negara bagian, sampai unit daerah terkecil seperti distrik relatif bisa dipastikan pilihan politiknya. Ini berbeda dengan Indonesia yang negara bhineka yang formatnya kesatuan.

Kalau pun kita menerapkan sistem mayoritarian di Indonesia, perbedaannya akan mengerucut ke ideologi konservatif dan non-konservatif. Yang di Indonesia bisa jadi bentuknya agama dan nasionalis.

Jika kita melihat konstitusi Indonesia, apakah sistem mayoritarian memungkinkan diterapkan?

Tak bisa. Di konstitusi kita kan peserta pemilu adalah partai politik. Kalau mau menilai mungkin, ini tergantung dengan penafsiran. Sistem mayoritarian terbuka dengan calon perseorangan untuk maju di pemilu legislatif. Prinsipnya, siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dia yang terpilih.