November 15, 2024

Hasyim Asy’ari: Perlu Kajian Soal Penetapan Dapil dan Alokasi Kursi

Pemilihan umum 2014, baik pemilihan legislator maupun pemilihan presiden, dinilai sukses dalam penyelenggaraannya. Meski demikian, masih ada hal yang perlu diperbaiki demi terciptanya pemilu ke depan yang lebih baik.

Hasyim Asy’ari, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah periode 2003—2008, memberikan pandangannya soal evaluasi pemilu 2014. Menurutnya, evaluasi pemilu tidak bisa lepas dari penilaian terhadap tiga hal: sistem pemilu, proses pemilu, dan tata kelola pemilu. Berikut evaluasi Hasyim atas pemilu 2014 dalam wawancara rumahpemilu.org dengannya (25/11).

Secara umum, apa yang perlu dievaluasi dari Pemilu 2014?

Ada tiga hal: sistem pemilu, proses pemilu, dan manajemen atau tata kelola pemilu. Evaluasi soal sistem pemilu tak bisa terlalu dalam karena ini panjang dan levelnya mengevaluasi undang-undang. Saya akan fokus dalam proses dan tata kelola pemilu saja.

Sebelum ke proses dan tata kelola, ada catatan penting untuk evaluasi sistem pemilu?

Sistem pemilu itu setidak-tidaknya ada empat unsur penting atau strategis: alokasi kursi, mekanisme pencalonan, metode pemberian suara, dan formula pemilihan. Catatan evaluasi saya berkaitan dengan penetapan daerah pemilihan dan alokasi kursi.

Yang dilakukan oleh KPU ketika menetapkan dapil untuk DPRD provinsi maupun kabupaten/kota sudah baik karena ada rumus-rumus yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga persoalan keterwakilan itu bisa diukur. Yang sama sekali tak bisa diukur, rumusnya tidak ketahuan, itu adalah alokasi kursi untuk DPR RI dalam UU. Tidak ada rumusnya itu. Boleh dikatakan tidak masuk akal. Banyak yang tidak masuk akal.

Dalam konteks penetapan dapil dan alokasi kursi, ada aspek teknis yang kemudian jadi persoalan. Hal itu adalah data penduduk yang sangat beragam. Ada sensus BPS dan ada data agregat kependudukan di kecamatan oleh Kemendagri. Menyusun dapil itu menggunakan data jumlah penduduk dari Kemendagri. Sementara asumsi-asumsi pembangunan yang dibuat oleh Bappeda, Bappenas, menggunakan data jumlah penduduk dari BPS.

Ini yang menurut saya perlu dipikirkan serius. Pasti ada persoalan mengenai keterwakilan dengan jumlah penduduk yang diwakili. Ini penting ke depan menjadi bahan kajian: data mana yang akan digunakan untuk itu.

Soal proses pemilu, evaluasi apa yang didapat dari proses pendaftaran peserta pemilu?

Menurut saya, ke depan, partai tak perlu mendaftar ke Kementerian Hukum dan HAM. Syaratnya ‘kan sama, partai menjadi peserta pemilu. Kalau ada partai berbadan hukum tidak menjadi peserta pemilu, apakah bermakna? Tidak ada maknanya. Dari pada partai susah-susah menempuh dua jalur, lebih baik langsung mendaftar ke KPU saja sebagai peserta pemilu.

DKPP dan Bawaslu memberi rekomendasi soal verifikasi partai peserta pemilu. Bagaimana Anda menilai ini?

Ada 18 partai tak lolos dari 34 partai yang mendaftar ke KPU. Partai-partai itu mengajukan gugatan ke DKPP. DKPP memerintahkan kepada KPU untuk semuanya verifikasi aktual, artinya semua partai dianggap lolos administrasi.

Bagi saya, ini menjadi persoalan. Wewenang DKPP itu hanya memutus apakah penyelenggara pemilu itu melanggar kode etik atau tidak. Itu saja. Tidak ada yang pernah mengingatkan DKPP soal putusan itu. Jadi kalau ada dosa ini dosa berjamaah semua orang yang tidak pernah mengingatkan DKPP.

Kemudian, dari 34 partai itu, setelah diverifikasi faktual ternyata yang lolos oleh KPU itu hanya 10 partai. Dua dari 24 partai yang tidak lolos mengajukan gugatan ke Bawaslu—PBB dan PKPI. Bawaslu meloloskan keduanya. Itu artinya sama dengan menganggap kerja-kerja KPU tidak beres. KPU tidak terima itu dengan mengabaikan rekomendasi dari Bawaslu. Dua partai tersebut mengajukan banding ke PTUN. Begitu PTUN memenangkan PBB dan PKPI, baru kemudian KPU mengakomodasi kedua partai itu menjadi peserta pemilu.

Apakah Anda melihat intervensi Bawaslu dan DKPP dalam proses yang lain?

Terkait pencalonan. Ada proses pencalonan di mana KPU diintervensi oleh lembaga penyelenggara lain. Dalam hal ini lagi-lagi DKPP.

Contoh yang paling menonjol itu adalah caleg Gerindra dari NTB. Caleg itu, dinyatakan oleh KPU, surat keterangan kesehatannya tidak benar. Yang bersangkutan sudah mengajukan ke Bawaslu dan Bawaslu mengamini apa yang dikatakan KP. Yang bersangkutan tidak terima, mengajukan ke PTUN, dan apa kata PTUN? Kerja KPU benar. Tetap tidak puas, kasus ini dibawa ke DKPP. DKPP ngomong kerja KPU tidak benar dan memerintahkan kepada KPU untuk menerima yang bersangkutan sebagai caleg.

Tidak ada yang pernah mengingatkan itu. Kode etik hanya bisa ditegakkan untuk KPU dan Bawaslu tanpa menyentuh DKPP. Padahal, peraturan itu peraturan bersama antara KPU, Bawaslu, dan DKPP. Ini menjadi tidak benar.

Pascapencoblosan, ditemukan jumlah suara tidak sah yang cukup tinggi. Bagaimana Anda melihat ini?

Saya kira penting untuk diteliti pertanyaan-pertanyaan ini, ya. Mengapa suara tidak sah tinggi? Persebarannya di mana saja yang tinggi itu? Kemudian bagaimana menghitung jumlah suara tidak sah, bila dibandingkan DPT saja, atau dibandingkan antara DPT, DPK, dan DPKTb? Atau pembandingnya adalah jumlah pemilih yang hadir?

Penting bagi KPU melakukan penelitian khusus tentang ini karena pertanyaan kita adalah, apa modus suara tidak sah? Dicoblos semua atau tidak dicoblos semua atau bagaimana? Dan karena surat suara ada di kotak, yang punya wewenang membuka kotak itu adalah KPU, peneliti mana pun enggak bisa. Itu semua nanti akan menjadi strategi bagi KPU, bagaimana strategi untuk memahami suara tidak sah.

Apakah masalah buruknya kualitas penyelenggara di lapangan berkaitan dengan  rekrutmen penyelenggara?

Saya kira kita semua tahu bahwa untuk menjadi anggota PPS, satu-satunya pintu yang bisa mengusulkan adalah Lurah dan Kepala Desa. Itu pun diminta rembukan dengan BPD atau Dewan Kelurahan. Tapi banyak kasus, Kepala Desa atau Lurah itu mengajukan sendiri sehingga kemudian modusnya para caleg kalau mau memborong suara itu enggak perlu beli KPPS, beli Lurahnya saja, karena sudah tahu bahwa KPPS ini adalah orang-orangnya pak lurah atau kepala desa. Tapi tidak semua.

Lalu dimana masalahnya? Kurang persiapan?

Ini perlu diteliti lebih lanjut oleh KPU. Saya kira, hampir di semua tahapan, KPU telah membuat regulasi dan SOP, tapi masih sering terjadi, penyelenggara di tingkat bawah itu tak bekerja sesuai dengan regulasi dan SOP, atau tidak standar. Pertanyaannya adalah, mengapa tidak standar? Ini perlu diteliti.

Misalnya soal pelatihan. Apakah ada problem pelatihan? Berapa orang yang perlu dilatih? Kapan pelatihannya? Berapa orang yang dilatih? Kapan pelatihannya? Apa ada problem komunikasi dalam pengorganisasian pemilu? Ini perlu diteliti.

Dari klasifikasi tata kelola pemilu yang disebutkan di awal, apa evaluasi pentingnya?

Terkait manajemen waktu pemilu. Dari tiga periode ada masalah di situ. Di 2013 kemarin, setidaknya ada 12 provinsi yang menyelenggarakan pemilihan Gubernur. Itu belum di kabupaten/kotanya. Padahal sudah dimulai tahapan untuk tahapan-tahapan awal Pemilu 2014, sehingga kemudian konsentrasi penyelenggara pemilu bertumpuk.

Di tengah-tengah penyelenggaraan juga ada penggantian anggota penyelenggara pemilu, bukan karena yang bersangkutan melanggar, melainkan karena periodesasinya sebagai penyelenggara telah berakhir. Ini satu-satunya hanya di Indonesia. Ini kan menunjukkan adanya ketidakberesan dalam manajemen waktu penyelenggaraan pemilu.

Apa rekomendasi Anda untuk memperbaiki manajemen waktu pemilu?

Saya kira akan menjadi relevan berkaitan dengan penataan jadwal pemilu menjadi pemilu serentak, entah polanya bagaimana. Karena nanti kalau tidak, ini catatan, ya, kalau perppu ini kurang lebih materinya sama akan jadi undang-undang, setelah Pilkada 2015, baru ada pilkada lagi itu 2018, yang notabene tahun itu sama dengan tahun 2013 kemarin, yaitu tahun di bagian-bagian awal Pemilu 2014. Itu sesuatu yang kemudian akan jadi masalah kalau manajemen pemilu tak tertata. Pada tingkat ini saya kira tidak hanya KPU, tapi menjadi rumusan di UU yang harus disepakati di situ.

Apa evaluasi anda soal tata kelola logistik pemilu?

Menurut saya ada dua jenis logistik utama pemilu; surat suara dan formulir pemungutan dan penghitungan suara. Yang sering terjadi adalah persoalan distribusi yang salah. Kalau kita lihat, hampir semua kasus tersebar di 29 provinsi, terdapat surat suara tertukar. Tapi semua kasus surat suara tertukar adalah surat suara DPRD kabupaten/kota.

Ternyata ada banyak hal yang tidak semuanya bisa terkontrol. Ini juga berkaitan dengan sejumlah kesalahan pengisian data informasi dalam formulir penghitungan suara oleh penyelenggara pemilu di semua tingkatan.

Soal waktu pemungutan dan penghitungan suara, efektif kah dilakukan di hari yang sama?

UU yang menyatakan bahwa hari pemungutan dan penghitungan suara dilakukan pada hari yang sama di TPS perlu diperhitungkan. Masalahnya adalah ini berkaitan dengan kelayakan atau kewajaran orang bekerja, kalau menurut aturan, orang bekerja delapan jam dalam sehari. Mari kita hitung, KPPS mulai membuka TPS sampai dengan penghitungan selesai, itu lebih dari dua belas jam. Kalau dari segi perburuhan atau tenaga kerja, KPU melanggar UU tenaga kerja, bahkan melanggar HAM. Dan kalau hitungan pekerja, lebih dari delapan jam kan harus dihitung lembur. Apakah ada honor lembur untuk KPPS? Tidak ada.

Ke depan, bisa jadi dibuat dua hari. Hari pertama pemungutan suara, hari kedua penghitungan suara. Atau, bisa jadi hari pertama pemungutan suara ditambah penghitungan suara tapi yang dihitung pada hari pertama itu bukan perolehan suaranya, tapi berapa surat suara diterima, dipakai, rusak, sah, dan seterusnya, belum ke perolehan suara. Itu untuk mengunci, nanti pada hari berikutnya kalau kita mau menghitung suara itu sudah ada data awalnya, sehingga tidak bisa diutak-atik lagi kalau ada niat mau memanipulasi.

Nias Selatan, Madura, dan beberapa daerah di Papua dinilai langganan bermasalah dalam penyelenggaraan pemilu. Pendapat Anda?

Nias Selatan, Madura, Papua, Halmahera di Maluku Utara, Sumatera Selatan, itu polanya itu-itu saja, tapi mengapa setiap pemilu itu terjadi? pertanyaannya kan, apakah tidak pernah ada antisipasi terhadap persoalan-persoalan yang sering terjadi di daerah itu? ini perlu diteliti. Apakah karakter masyarakatnya, atau karena ada apa? Sehingga ke depan bisa diatasi.

Banyak apresiasi soal sistem daftar pemilih. Anda termasuk yang mengapresiasi?

KPU memang sudah menggunakan sistem daftar pemilih berkelanjutan. Tapi, pertanyaannya, apakah sistem ini tetap akan dipakai oleh KPU untuk pemilu berikutnya? Karena kalau kita melihat Perppu No. 1 Tahun 2014, tetap saja data awalnya bukan data pemilu terakhir, tapi data dari pemerintah. Sesungguhnya Pemilu 2014 kemarin itu pemilihnya berapa, sih? Saya yakin KPU belum memeriksa ulang, yang ada di DPKTb dengan yang ada di DPTb, sehingga bisa jadi jumlah yang terakumulasi dalam rekap nasional itu lebih dari pemilih sesungguhnya.