April 26, 2024
iden

Ambang Batas Tanpa Batas

“Praktek Penerapan Keberlakuan 3,5 Persen Ambang Batas Parlemen Secara Nasional  Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilu”[1]

Latar belakang

Sebagai salah satu instrumen teknis dalam sistem pemilu, ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold, ditemui dalam Negara-negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional.

Dibandingkan dengan Instrumen lain dalam sistem pemilu seperti; daerah pemilihan, formula perhitungan suara-kursi dan lain sebagainya, ambang batas perwakilan banyak menarik perhatian para elit partai politik. Hal ini tidak saja terjadi Indonesia, tetapi juga di banyak tempat pada saat pembahasan undang-undang pemilu.

Hal ini terjadi karena besaran ambang batas berpengaruh secara langsung terhadap pengurangan partai politik di parlemen, walaupun hal tersebut tidak identik dengan penyederhanaan sistem kepartaian.

Penyederhanaan sistem kepartaian – yang berdampak nyata terhadap efektivitas kerja parlemen – tidak ditentukan oleh jumlah riil partai di parlemen, tetapi oleh jumlah partai relevan,  yang dicerminkan oleh penguasaan kursi. Artinya, partai yang sedikit belum tentu menciptakan sistem kepartaian sederhana apabila penguasaan kursi parlemen merata. Sebaliknya, partai yang banyak bisa menciptakan sistem kepartaian sederhana apabila penguasaan kursi terkonsentrasi ke sedikit partai.

  1. 1.      Konsep dan Tujuan Ambang Batas Perwakilan

Threshold, electoral threshold, ataupun parliamentary threshold pada dasarnya sama, yakni ambang batas (syarat) yang harus dilampaui oleh partai politik, untuk dapat mengirimkan wakilnya ke lembaga perwakilan.[3] Biasanya dinyatakan dengan persentase perolehan suara sah atau di beberapa tempat bisa dinyatakan dalam bentuk perolehan minimal kursi.[4]

Adapun tujuan penerapan ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold adalah:[5]

(1) membatasi partai politik yang minim dukungan pemilih masuk parlemen, karena berkurangnya jumlah partai politik di parlemen diharapkan akan mengefektifkan kerja parlemen;

(2) menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya, karena banyaknya partai politik peserta pemilu, tidak hanya menimbulkan dana penyelenggaraan pemilu membengkak, tetapi juga membuat pemilih bingung dalam memberikan suara.

  1. 2.      Besaran Ambang Batas Perwakilan

Sebagai instrumen legal untuk mencegah partai politik yang tidak mendapatkan dukungan signifikan masuk parlemen, besaran ambang batas bervariasi pada banyak Negara. Mulai angka yang terendah sebesar 2 persen suara seperti di Israel, hingga 10 persen suara sah seperti di Turki. Besaran ambang batas perwakilan dibeberapa Negara pembanding beserta tahun pelaksanaan pemilunya, dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1

Besaran Ambang Batas Pemilu Nasional

Negara Tahun Pemilu Jumlah KursiParlemen Besaran AmbangBatas
Argentina 2005 127 3
Brasil 2006 513 3
Bulgaria 2009 240 4
Croatia 2007 153 5
Czech Republik 2010 200 5
Greece 2009 300 3
Indonesia 2009 560 2,5
Irak 2010 267
Israel 2009 120 2
Italy 2008 617 4
Montenegro 2009 81 3
Poland 2007 460 5
Portugal 2009 230
South Korea 2004 299 5
Turkey 2007 550 10
Ukraine 2007 450 3

Tabel dikutip dari buku Ambang Batas Perwakilan-Perludem, hal. 18

  1. 3.      Kriteria Penerapan Ambang Batas Perwakilan

Berdasarkan praktek penerapannya, Nohlen mengklasifikasi kriteria utama, antara lain;  besaran (persentase suara) dan lokasi penerapan (daerah pemilihan, lokal/nasional), juga terdapat dua kriteria lain; yakni penerapan pada tahapan penghitungan kursi dan penerapan terhadap jenis partai yang jadi obyek. Jika pada kriteria penerapan tahap penghitungan, bicara soal kapan ambang batas diterapkan, sedangkan pada kriteria penerapan terhadap obyek, bicara soal partai mana yang dikenai ambang batas. [6]

Singkatnya, menurut Nohlen terdapat empat kriteria ambang batas. Pertama, persentase suara; besaran persentase ambang batas yang paling umum antara 3% (Spanyol) hingga 5% (Jerman), terendah Belanda 0,67%, Israel dan yang tertinggi Turki 10%. Kedua, lokasi penerapan; ketentuan ambang batas diterapkan pada daerah pemilihan (Spanyol), dan diterapkan di tingkat nasional (Jerman), atau pada kedua tingkat (daerah pemilihan dan nasional) sekaligus (Swedia). Ketiga, tahap penerapan; ambang batas kebanyakan dilakukan pada tahap awal sebelum penghitungan perolehan kursi, tetapi juga ada yang dilakukan di antara tahapan-tahapan penghitungan perolehan kursi berikutnya (Denmark). Keempat, obyek ambang batas; ambang biasa dikenakan pada setiap partai, tetapi ada juga yang dikenakan kepada koalisi partai (Polandia). Tabel 1.2 di bawah, menggambarkan kriteria penerapan ambang batas perwakilan dipraktekkan.

Tabel 1.2

Kriteria Penerapan Ambang Batas Perwakilan

Negara Ambang Batas Perwakilan
Tingkat Nasional Tingkat Daerah Pemilihan
Jerman 5%  suara nasional, atau 3 kursi daerah pemilihan
Polandia 5% setiap partai dan 8% koalisi partai
Spanyol   3% suara daerah pemilihan atau provinsi
Denmark   1 kursi dari 17 daerah pemilihan
  Memiliki rasio suara/rasio kursi di dua dari tiga wilayah regional utama
2% suara nasional  
Swedia 4% suara nasional 12% suara daerah pemilihan
Yugoslavia   5% suara daerah pemilihan
Argentina 3% suara nasional 8% suara daerah pemilihan

Tabel dikutip dari buku Ambang Batas Perwakilan-Perludem, hal.20

  1. 4.      Dampak Ambang Batas Terhadap Proporsionalitas Hasil Pemilu

Meski dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem kepartaian melalui pengurangan jumlah partai secara riil di lembaga perwakilan, namun para ahli pemilu mengingatkan dampak buruk penerapan ambang batas. Dampak tersebut yaitu; peningkatan jumlah suara terbuang. Jumlah suara terbuang yang besar dalam sistem pemilu proporsional, selanjutnya berdampak pada terjadinya disproporsinalitas hasil pemilu.

Proporsionalitas pemilu dicerminkan melalui perbandingan hasil yang seimbang antara persentase suara partai dengan persentase perolehan kursinya. Semakin kecil perbedaan kesenjangan antara persentase suara partai dibandingkan persentase perolehan kursi partai politik, maka hasil pemilu makin mendekati tujuan yang telah ditetapkan oleh sistem pemilu, yaitu proporsionalitas dengan derajat keterwakilan lebih tinggi. Jika yang terjadi justru sebaliknya, maka disproporsionalitas yang terjadi.

Pada tiga kali pelaksanaan pemilu legislatif sejak 1999, 2004, dan 2009, disproporsionalitas hasil pemilu Indonesia justru semakin besar, dimana sumbangan terbesar diakibatkan dari tingginya jumlah suara terbuang akibat ambang batas perwakilan. Jumlah suara sah yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi perwakilan pada pemilu 1999 sebesar 3,55 persen. Sedangkan pada pemilu 2004 naik menjadi sebesar 4,60 persen. Angka ini melonjak menjadi 18,31 persen atau setara dengan 19 juta suara pada pemilu 2009 lalu.

Tingkat disproporsionalitas pemilu legislatif Indonesia pada pemilu 1999 menghasilkan indeks 3,50, sedangkan pada pemilu 2004 indeks disproporsionalitas sebesar 4,59. Sedangkan indeks disproporsionalitas hasil pemilu pada tahun 2009 sebesar 6,16.[7]

Pada banyak kasus dan tempat, besaran ambang batas perwakilan merupakan produk dari rejim politik pembuat undang-undang. Sehingga menjadi keniscayaan jika besaran persentase ambang batas merupakan hasil konsensus ataupun kompromi dari para pembuatnya. Meski para sarjana pemilu juga mencoba merumuskan formula ambang batas optimum, yang tidak jarang turut dipertimbangkan dalam penyusunan sebuah undang-undang.[8]

  1. 5.      Keberlakuan Ambang Batas Perwakilan Secara Nasional

Mengenai ketentuan pasal 208 tentang besaran ambang batas perwakilan 3,5 persen dan keberlakuannya secara nasional seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012. Khususnya mengenai keberlakuannya secara nasional, dapat dinyatakan sebagai suatu praktek yang tidak lazim dan tidak diketemukan preseden penerapannya di tempat-tempat lain.

Dengan diterapkannya keberlakuan ambang batas secara nasional, maka tolak ukur yang merupakan syarat bagi partai politik untuk dapat mengirimkan wakilnya, baik DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditentukan oleh perolehan suara atau surat suara DPR RI. Padahal preferensi pemilih bisa saja berbeda, bergantung bergantung tempat dan pengenalan pemilih terhadap partai politik yang hadir di suatu wilayah.

Sebagai perbandingan, berdasarkan data perolehan suara partai politik pemilu legislatif 2009 untuk DPRD Provinsi (sebagaimana tersaji pada tabel 1.3 di bawah), memperlihatkan bahwa, jika ketentuan pasal 208 diberlakukan akan berdampak pada sedikitnya 8 partai politik yang tersebar pada 16 Provinsi dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia.

Tabel 1.3 Perolehan Suara Pemilu Legislatif 2009 Tingkat DPRD Provinsi

No DPRD Provinsi Partai Politik Porsi Suara
1 Sumatera Barat PBB 3,97%
2 Riau PBR 3,65%
3 Bangka Belitung PBB 7, 12%
4 Bengkulu PKPI 4,43%
5 DKI Jakarta PDS 3,54%
6 Jawa Timur PKNU 5,36%
7 Nusa Tenggara Barat PBB 7,28%
8 Kalimantan Selatan PBR

PBB

6,16%

4,11%

9 Kalimantan Timur Partai Patriot 3,96%
10 Sulawesi Utara PDS 6,29%
11 Sulawesi Tengah PKPB 3,70%
12 Sulawesi Selatan PDK 3,89%
13 Sulawesi Tenggara PNBKI

PBB

4,06%

3,83%

14 Maluku Utara PBB

PDS

5,74%

3,88%

15 Papua Partai Patriot 4,26%
16 Papua Barat PDK 4,78%

Tabel diolah dari hasil pemilu legislatif 2009 untuk suara DPRD Provinsi

Berdasarkan data di atas, jika ketentuan ini tetap diberlakukan, maka ada potensi menyangkal hak pemilih untuk memberikan suaranya terhadap partai politik. Sebagaimana diketahui, para pemilih mendapatkan tiga surat suara yang peruntukkannya berbeda, yaitu; surat suara untuk DPR, surat suara untuk DPRD Provinsi, dan surat suara untuk DPRD Kabupaten/Kota.

  1. 6.      Ambang Batas Perwakilan dan Penyederhanaan Sistem Kepartaian

Pada bagian akhir dari paper ini ingin menunjukkan, apakah ambang batas perwakilan memang berdampak secara positif terhadap terbentuknya sistem kepartaian yang sederhana atau tidak.  Jawabannya adalah tidak.

Yang terjadi selama ini adalah kesalahan persepsi tentang penyederhanaan sistem kepartaian. Kekeliruan tersebut dikarenakan oleh pemahaman bahwa, sederhana tidaknya sistem kepartaian semata didasarkan pada jumlah riil partai politik, baik yang ikut pemilu ataupun yang hadir di lembaga perwakilan.

Sederhana tidaknya sistem kepartaian, bergantung pada porsi penguasaan kursi partai politik yang ada di DPR. Jika perolehan suara-kursi partai poltik terkonsentrasi pada beberapa partai utama, maka sistem kepartaian yang terbentuk disebut sederhana. Sedangkan jika perolehan suara-kursi partai poltik tersebar secara merata pada banyak partai, maka sistem kepartaian dikatakan tidak sederhana.

Berdasarkan perhitungan indeks sistem kepartaian, dengan 48 partai politik yang ikut berkompetisi pada pemilu 1999, terdapat 21 partai politik yang masuk ke DPR RI. Sedangkan sistem kepartaian yang terbentuk adalah 5 sistem kepartaian. Pada pemilu 2004, dengan 24 partai politik yang berkompetisi, menghasilkan 16 partai masuk di DPR, dengan indeks sistem 7 sistem kepartaian. Sedangkan pada pemilu 2009 lalu, dengan 38 partai politik sebagai peserta, menghasilkan 9 partai politik di DPR. Adapun indeks sistem kepartaian yang terbentuk 6 sistem kepartaian.[9]

Bedasarkan fakta di atas, meskipun pada pemilu 2009 lalu jumlah partai politik yang berkompetisi dalam pemilu lebih sedikit dibanding peserta pemilu tahun 1999, dan dengan menerapkan ambang batas perwakilan 2,5 persen. Namun sistem kepartaian yang dihasilkan tidak lebih sederhana dibandingkan dengan sistem kepartaian yang terbentuk paska pemilu 1999.[10]

Kesimpulan

  • Penerapan ambang batas yang berlaku secara nasional seperti yang diatur dalam pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu, merupakan satu kasus yang tidak lazim dan tidak memiliki preseden di Negara-negara lain di dunia yang juga menerapkan sistem pemilu, khususnya sistem pemilu proporsional. 
  • Penerapan keberlakuan secara nasional ambang batas perwakilan, justru berpotensi menyangkal hak suara dari pemilih yang bebas dalam menentukan pilihan politiknya. 
  • Sederhana atau tidaknya sistem kepartaian yang terbentuk, tidak dipengaruhi oleh penerapan besaran ambang batas perwakilan. Namun bergantung sepenuhnya pada konsentrasi perolehan suara-kursi partai politik yang mencerminkan porsi kekuatannya di DPR. 
  • Oleh karena itu, ketentuan keberlakuan nasional ambang batas perwakilan, hendaknya dipertimbangkan sebagai suatu praktek yang tidak memiliki legitimasi yang memadai untuk diterapkan pada pemilu 2014. 
  • Sebagai satu alternative, pemberlakukan ambang batas perwakilan dapat diterapkan secara berjenjang sesuai dengan tingkatan lembaga perwakilan (DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota).  []
AUGUST MELLAZ
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)


[1] Disampaikan sebagai bahan kesaksian ahli di Mahkamah Konstitusi untuk perkara 51/PUU-X/2012

[2] Peneliti pemilu pada Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

[3] Healy, Margareth, “An Electoral Threshold for Senate:, Politics and Administration Grup”, Research Note 19, 1998, hal. 99

[4] Farrel, M. David, “Comparing Electoral Systems”, London: Macmillan, 1998 http://janda.org/c24/Readings/Farrell/Farrell1.htm

[5] Lihat, Supriyanto, Didik dan August Mellaz, dalam “Ambang Batas Perwakilan: Pengaruh Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu”, Perludem-Kemitraan, November 2011, hal. 17

[6] Lihat, Gianfranco Baldini and Adriano Pappalardo, Elections, Electoral Systems and Volatile Voters, New York: Palgrave Macmillan, 2008, hlm. 32-33.

[7] Indeks disproporsionalitas dihitung berdasarkan formula Lsq (Least square index) atau dikenal dengan indeks Gallagher. Hasil perhitungan diambil dari indeks disproporsional ini diambil dari Op.cit Supriyanto, Didik dan August Mellaz, hal. 24 dan 61

[8] Pada kasus pemilu Indonesia, dengan menggunakan formula ambang batas optimum yang dirumuskan oleh Rein Taagepera, ambang batas perwakilan optimum untuk DPR RI diperoleh angka sebesar 1,03 persen. Perhitungan ini diperoleh dengan melibatkan tiga variabel; ukuran parlemen (560), jumlah daerah pemilihan (77), dan rata-rata besaran kursi daerah pemilihan (3-10 kursi). Lihat ibid, hal. 63

[9] Perhitungan sistem kepartaian menggunakan formula ENPP (effective number of parliamentary parties) yang dirumuskan oleh Markku Laakso dan Rein Taagepera. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Op. Cit Supriyanto, Didik dan August Mellaz, hal. 49

[10] Sistem kepartaian berdasarkan definisi Giovani Sartori dinyatakan sebagai berikut; sistem partai tunggal (dimana terdiri dari satu partai dominan), sistem dua partai, sistem  multipartai sederhana (dimana terdapat 3-5 partai dominan), dan sistem multi partai ekstrim (dimana terdapat lebih dari 6 partai yang hadir di parlemen). Namun harus diingat, jumlah partai yang dimaksudkan oleh Sartori adalah jumlah efektif partai berdasarkan indeks ENPP, dan bukan berdasarkan jumlah riil partai politik yang hadir di parlemen. Lihat Sartori, Giovanni, Parties and Praty system: A Frameworks of Analysis, New York: Cambridge University Press, 1976.